Kehilangan sesuatu merupakan bagian ujian yang tergolong sangat berat. Semakin banyak memori yang terbangun dan semakin banyak emosi (perasaan) yang mengalir dengan sesuatu atau seseorang yang hilang itu, maka luka yang ditimbulkan semakin perih.
Perihnya menusuk nusuk hati dan pikiran kita. Tak mudah menerima kenyataan sesuatu atau seseorang yang telah kita jaga, kita perjuangkan dan kita rawat sebaik mungkin itu terlepas dari kita untuk selamanya.
Yang membuat pikiran kita terguncang keras hingga sebagian orang harus pingsan dan shock berat, karena saat sesuatu dan seseorang itu hilang terjadi begitu saja. Hitungan detik sudah tiada, bahkan untuk selamanya.
Sayangnya, episode kehilangan ini akan menimpa setiap orang. Mau tidak mau, setiap orang akan merasakan pahit dan menderitanya kehilangan sesuatu dan seseorang yang dicintainya.
Lagi-lagi, ini juga tentang validasi keimanan kita terhadap Allah. Siapa yang maha berkehendak atas hidup kita? Siapa yang sanggup mengambil apa yang ada dalam genggaman kita? Hanya Allah.
Kehilangan rumah yang selama ini susah payah dibangun dengan pengorbanan kerjakeras. Kehilangan pasangan hidup. Kehilangan anak yang kita cintai. Kehilangan ayah ibu yang tak sanggup kita membalasi semua kebaikan mereka. Kehilangan kepercayaan dan nama baiknya hancur hancuran gak karuan. Kehilangan pekerjaan di saat keluarga membutuhkan peran kita. Kehilangan aset dan kekayaan yang selama ini kadang menyita waktu dan pikiran kita. Kehilangan kesehatan dan fungsi tubuh. Semua itu adalah fakta yang amat menyakitkan.
Tapi ketauhilah, bahwasanya saat seorang hamba mampu menerima setiap takdir yang menimpanya meski harus kehilangan segalanya. Meski harus menelan kenyataan paling pahit di hatinya. Meski tertatih-tatih menerima semua itu. Keridhoan kita menerima itu semua sebagai bentuk nyata penghambaan dan keimanan kepada Allah semata.
Kita meyakini bahwa Allah sedang merencanakan hal terbaik di masa mendatang. Kita meyakini bahwa dengan kepahitan akibat kehilangan tersebut, dengannya Allah membersihkan dosa-dosa kita. Allah mengkondisikan kita untuk bisa khusyu berdoa kepada-Nya.
Mahasuci Allah dari segala ketetapan yang menurut kita salah. Pengetahuan kita terbatas, Allah yang mahatau apa yang terbaik untuk diri kita.
Kesadaran yang mesti kita bangun saat berada di posisi seperti ini adalah menyadari bahwa segala yang kita miliki, segala yang melekat dan kita punyai semuanya adalah milik Allah.
Saat kita ridho Allah mengambilnya, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Tak berarti diganti dengan hal yang serupa, namun bisa jadi dalam bentuk yang berbeda.
Istri yang kehilangan suami, suami yang kehilangan istrinya, orangtua yang kehilangan anaknya, dan anak yang kehilangan orangtuanya. Jika mereka harus pergi karena berbeda prinsip aqidah, biarlah pergi. Kehilangan mereka tentunya menjadi beban berat. Namun saat semua beban itu diniatkan sebagai penghambaan diri terhadap Allah, maka Allah akan menghadirkan pengganti yang lebih baik.
Istri yang lebih sholehah, suami yang sholeh, anak yang sholeh dan berbakti, dan orangtua yang lebih penyayang.
Terima saja, resapi saja perihnya kehilangan itu. Menangis saja kepada Allah Rabb semesta alam. Menghiba saja hanya kepada-Nya. Maafkanlah kesalahan mereka yang telah pergi dan hilang begitu saja.
Satu hal yang tak boleh luput dari kesadaran kita, bahwa Allah senantiasa memperhatikan diri kita. Hanya Allah saja yang benar-benar peduli tentang hidupmu. Sampai ke ruang terkecil di hatimu, Allah memperhatikannya. Hingga pada akhirnya kehilangan itu membawa keberkahan bagi hidup kita di dunia dan akhirat.
***
Penulis: Taufik Ginanjar (Konsultan Psikologi Remaja dan Keluarga)