HARI GURU NASIONAL: SEBUAH CATATAN KAKI
Oleh: Ade Chairil Anwar, M.Pd.I.
(Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Sekretaris Divisi Pendidikan Dewan Tafkir PP PERSIS)
Tulisan tentang peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab Guru, dan apa pun yang berkaitan dengan Guru sudah banyak dilakukan, baik untuk kepentingan penelitian, bahan diskusi, ataupun rekomendasi kebijakan pemerintah, sudah tak terhitung jumlahnya, tentu sudah banyak anggaran yang dikeluarkan untuk itu, hasilnya regulasi pemerintah yang sekarang dinikmati para Guru.
Tulisan ini sekedar catatan kaki, hasil diskusi dengan istri dengan profesi sebagai Guru di sebuah sekolah menengah swasta dan ketua komite sekolah di sebuah sekolah negeri. Kami berdiskusi seputar program tali kasih guru yang lazim diberikan pada Hari Guru Nasional. Pasalnya ada beberapa sekolah yang membolehkan, ada pula yang melarang program tersebut.
Saya tak hendak membenarkan ataupun menyalahkan keduanya. Karena masing-masing memiliki alasan kuat di balik kebijakan tersebut. Dalam posisi tersebut, selama 2 tahun menjadi guru aktif dan 10 tahun menjadi juru among guru, saya lebih memilih untuk tidak menerima tali kasih tersebut secara personal guna menjaga netralitas, integritas, dan loyalitas baik sebagai guru atau pengelola sekolah.
Kalau pun dalam kondisi sangat terpaksa, misal barang terlanjur sampai di meja kerja, segera saya infokan ke rekan kerja, sekira berupa barang, silakan digunakan sebagai barang bersama, sekira dalam bentuk makanan, silakan dibagi rata sesuai kebutuhan. Saya pastikan barang atau makanan itu berhenti dipakai dan dikonsumsi di lingkungan sekolah, tak lupa menginfokan ke pemberi barang/makanan bahwa pemberiannya menjadi inventaris sekolah atau dinikmati banyak orang.
Mengapa demikian? Saya meyakini sebuah kaidah fiqih yang mengatakan, الأصل فى الأشيآء الإباحة (hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh), artinya selama tak ada aturan yang melarang pemberian tali kasih tersebut, maka pemberian tersebut sah-sah aja diterima. Namun, sekira terdapat klausul dalam peraturan sekolah tentang larangan penerimaan tali kasih tersebut, maka tentu kita harus menghormatinya sebagai wujud integritas dan loyalitas kita sebagai pegawai.
Selain urusan tali kasih, hal lain yang kami diskusikan adalah tentang pentingnya marwah Guru di hadapan anak dan orangtua. Guru memiliki peran strategis dalam menciptakan generasi unggul dan berkualitas. Peserta didik berkualitas dimulai dari Guru yang berkualitas, menjadi guru berkualitas itu butuh effort dan endurance, konsistensi, dan keberanian dalam menjaga idealisme.
Dalam menjaga kualitas guru, sedikitnya dapat dilakukan dengan beberapa hal sederhana berikut ini:
Pertama, menjaga performa profesional. Kondisi yang perlu diperhatikan antara lain; 1) masuk dan keluar kelas tepat waktu, 2) fokus pada kegiatan mengajar, 3) menyimpan ponsel selama mengajar, 4) melakukan pendampingan individual bagi anak yang mengalami kesulitan/membutuhkan bantuan, 5) selalu memberikan apresiasi atas capaian tiap anak, dan 6) melakukan refleksi pembelajaran. Pastikan tidak keluar masuk kelas dan bermain ponsel selama jam pembelajaran terkecuali ada keperluan yang sangat penting dan mendesak.
Kedua, menjaga performa personal. Kondisi yang perlu diperhatikan antara lain; 1) memakai pakaian rapi dan sopan, 2) memakai perhiasan dan alat kecantikan sesuai kebutuhan, 3) berbicara sesuai PUEBI, 4) tidak merokok di lingkungan sekolah, dan 5) saling menyapa dengan ramah rekan sesama guru dan anak. Pastikan menggunakan kata baku saat berbicara dengan sesama guru, jauhi bahasa gaul selama berada di lingkungan sekolah.
Ketiga, menjaga performa komunal. Kondisi yang perlu diperhatikan antara lain; 1) bersepakat untuk tunduk, patuh, dan satu komando dengan keputusan pimpinan sekolah, 2) bersepakat untuk guyub, rukun, dan egaliter tanpa adanya unsur senioritas-junioritas, pertemanan atau circle khusus (bestie), dan semangat kesukuan, 3) bersepakat untuk saling menghormati dan menghargai atas perbedaan pendapat yang muncul diantara guru, 4) bersepakat untuk tidak menerima pemberian dari orangtua dalam bentuk apa pun guna menghindari subjektivitas pelayanan dan penilaian terhadap anak, dan 5) bersepakat untuk menghindarkan diri dari aktivitas yang berpotensi atau menjurus pada perilaku asusila seperti; menghindari penyebutan organ genital dan aktivitas seksual terkecuali dalam diskusi ilmiah guru, diskusi berdua antara guru laki-laki dan perempuan tanpa pendampingan Guru lain, menjaga jarak (tempat duduk) saat rapat dan berkendara, dan bepergian (outing) di luar kegiatan resmi sekolah.
Selain aspek profesional, personal, dan komunal di atas, tentu banyak aspek lain yang perlu diperhatikan oleh Guru hari ini. Tulisan di atas hanya secuil refleksi atas performa Guru akhir-akhir ini. Di luar semua itu, saya tetap meyakini bahwa Guru adalah entitas yang mampu menciptakan pembelajaran berkualitas serta peningkatan mutu pendidikan yang berimplikasi pada kemajukan ilmu dan peradaban Indonesia.
Salam Pendidikan
BACA JUGA: Menakar Pendidikan Persis