Menakar Pendidikan Persis

oleh Reporter

13 November 2015 | 20:03

Jumat, 13 November 2015, 13:00 WIB Satu dekade setelah Muhammadiyah berdiri, sekelompok aktivis di Bandung yang secara rutin melakukan kajian keagamaan diinisiasi oleh HM Zamzam dan HM Junus mendirikan organisasi yang senapas dengan gerakan pembaruan bernama Persatuan Islam (Persis). Persis sempat menonjol dalam pemikiran, terutama pada awal kemerdekaan sebagaimana diulas dalam disertasi Howard W Federspiel (1970) yang bertajuk "Persatuan Islam: Islamic reform in twentieth century Indonesia". Dalam ulasannya, Federspiel tertarik dengan gerakan intelektual yang dimotori mahaguru Persis A Hassan, Mohamad Natsir, dan Isa Anshari yang cukup menonjol mewarnai wacana kebangsaan dan keislaman saat itu, termasuk pertukaran pemikiran yang cukup terkenal antara A Hassan dan Bung Karno. Terlepas dari keterbatasannya yang lebih banyak merujuk sumber Persis, sebagaimana dikritisi Van Bruinessen (2003), Federspiel mampu mendedahkan derap langkap Persis saat itu dengan sangat baik dan memikat. Sebagaimana gerakan pembaruan lainnya yang lambat laun mengalami kematangan, Persis juga mengalami hal sama. Di saat Nahdlatul Ulama (NU) yang dinilai tradisional-konservatif mengalami pergerakan yang sangat progresif, Persis seperti mengalami stagnasi dan cenderung lebih konservatif. Sepeninggal A Hassan dan M Natsir tak ada sosok yang mampu menyemarakkan pertukaran gagasan di kancah nasional. Realitas ini menggugah para pegiat Persis mendinamisasikan kembali organisasinya lewat Muktamar XV Persis bertema "Dinamisasi Jihad Jamiyyah untuk Menghadapi Tantangan Da'wah", di Jakarta, 20-23 November 2015. Salah satu kontribusi Persis adalah ketekunannya menyebarkan gagasan lewat pendirian ratusan institusi pendidikan dari mulai pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi yang tersebar, setidaknya di lima provinsi. Dua per tiganya di tempat muasal Persis berdiri, Jawa Barat. Spirit dinamisasi sebagaimana dipromosikan dalam tema muktamar saat ini juga menyangkut dinamisasi penyelenggaraan pendidikan. Pada awal berdiri fokus pendidikan Persis ditekankan pada kajian keagamaan sebagaimana terangkum dalam visi Pendidikan Persis, yaitu terwujudnya manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi (Pedoman Jam'iyyah Persis, 2002). Dalam operasionalnya, Pusat Pimpinan (PP) Persis cukup responsif, akomodatif, dan fleksibel. Orientasi lulusannya mengakomodasi visi organisasi, harapan orang tua, dan pendidikan nasional pada umumnya yang mencakup empat kategori: (1) orientasi pendidik, dai, dan ustaz; (2) orientasi studi lanjut; (3) orientasi akreditasi lulusan; dan (4) orientasi par of excellence sebagai ulama (tafaqquh fiddien). Ditilik dari pembiayaan, hampir semua lembaga pendidikan Persis relatif otonom dan mandiri sehingga disertasi Suharto (2011) menengarai pendidikan Persis lepas dari sistem pendidikan pemerintah. Meski begitu, temuan berdasarkan wawancara dengan pengurus organisasi ini tak sepenuhnya benar karena praktik pendidikan berlangsung di antara pengelola yang juga memiliki otonomi sangat luas. Sebagai contoh, lebih dari 90 persen santri mengikuti ujian nasional (UN), jenjang MTs/SMP saja mencapai 2.773 santri (UN, 2013). Merujuk pada sampel Data Pokok Pendidikan (Dapodik), misalnya, semua MTs/SMP Persis mendapatkan alokasi biaya operasional sekolah (BOS) yang bervariasi sesuai jumlah santri. Dengan segala keterbatasannya, sekolah swasta mampu mengoptimalkan sumber daya secara lebih efisien (Bedi & Garg, 2000). Siswa yang masuk lembaga pendidikan Persis dari mulai yang relatif rendah nilai jenjang sebelumnya, misal untuk pelajaran bahasa Indonesia dari 3,4-8,89 atau matematika 6,0-9,0 (Dapodik, 2011). Pendaftar tiap angkatan juga bervariasi, dari hanya delapan sampai 146 santri yang menunjukkan tingkat kompetisi beragam. Kemandirian sekolah Persis juga dilihat dari minimnya guru PNS yang diperbantukan dan sekitar 21 persen sekolah yang memiliki satu atau dua guru PNS. Menariknya, sebagian besar memiliki laboratorium bahasa dan multimedia tetapi tak punya laboratorium fisika, kimia, dan biologi. Hal ini tak dapat dilepaskan dari penekanan pada penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris) yang menjadi ciri khas banyak pesantren di Tanah Air. Dinamisnya lembaga pendidikan Persis dengan rerata guru tetap relatif muda 20-29 tahun. Keragaman input lembaga pendidikan Persis juga berdampak pada keragaman keluaran (output), misalnya, diukur dari prestasi nilai UN. Contohnya, untuk jenjang MA Jurusan Agama tampak cukup membanggakan. Dilihat dari total nilai yang diraih santri, sebagian besar (55,6 persen) lebih tinggi dari rerata nasional. Namun, jika ditelisik per mata pelajaran, santri lebih baik nilainya dibandingkan rerata nasional dalam bahasa Indonesia (61,2 persen), bahasa Inggris (63,5 persen), matematika (62,9 persen), dan fikih (59 persen). Untuk hadis, hampir sama dengan rerata nasional dan untuk tafsir 51,1 persen di bawah rerata nasional. Temuan yang diolah dari data UN 2013 ini menarik dicermati. Keberadaan laboratorium bahasa bertemali dengan relatif baiknya capaian nilai UN mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Banyaknya santri yang meraih nilai Tafsir di bawah rerata nasional menimbulkan pertanyaan sekaligus tantangan untuk perbaikan pembelajaran Persis terkait orientasi par of excellence sebagai ulama. Berbeda dengan capaian pada jenjang menengah atas (MA), capaian santri pada jenjang SMP-MTs masih jauh dari harapan. Lebih dari tiga perempat total nilai UN santri Persis di bawah rerata nasional. Jika didedah per mata pelajaran, di semua mata pelajaran, tak mencapai setengah santri mampu meraih nilai di atas rerata nasional. Titik terlemah di matematika, hanya 20,6 persen santri yang melampaui nilai rerata nasional, disusul IPA sekitar 22 persen santri, bahasa Inggris oleh 34,6 persen, dan bahasa Indonesia 45,5 persen. Capaian ini berbeda di setiap sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. Santri Persis di Jawa Barat dan Banten secara umum memiliki rerata lebih baik dari rerata nasional, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, dan IPA. Secara umum santri di Jawa Barat lebih tinggi reratanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Santri di Banten lebih baik dalam rerata matematika dan IPA. Hal ini berbeda dengan santri di DKI Jakarta yang di semua mata pelajaran di bawah rerata nasional. Untuk santri yang bersekolah di Persis Jawa Timur, hanya bahasa Indonesia yang di atas rerata nasional. Untuk matematika dan bahasa Inggris di bawah rerata nasional, serta IPA di kisaran rerata nasional. Mengaca pada capaian santri jenjang SMP/MTs, berbagai upaya perbaikan perlu dilakukan sehingga sebagian besar santri mampu melampaui nilai rerata nasional yang tentu tak mudah dan membutuhkan upaya terencana, sistematis, dan mudah diukur dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk orang tua santri. Temuan dan perbandingan yang bersifat umum ini belum memasukkan faktor penting dalam capaian prestasi santri, yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua santri. Beragam studi menunjukkan (Suharti, 2013), rendahnya pendidikan dan pendapatan orang tua berpengaruh kuat pada capaian prestasi siswa sehingga perhatian terhadap santri dari keluarga, yang terbatas pendapatan dan pendidikannya menjadi keniscayaan. Tatang Muttaqin Penekun Kajian Pendidikan di the Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS) The Netherlands
Reporter: Reporter Editor: admin