Dunia tempat manusia bernafas dan bergerak hari ini, merupakan sebuah tempat yang cukup mampu membuat mereka –yang hanya mampu bertahan hidup di balik kenyamanan– tunduk pada kenyataan yang seringkali tak kuasa ia rubah. Menyerah pada kenyataan, seringkali dijadikan jalan favorit yang diambil oleh kebanyakan manusia. Sekalipun itu tak mampu memberi harga setimpal bagi rencana yang telah mereka siapkan.
Mentalitas seperti ini, uniknya menyebar secara merata kepada manusia-manusia lainnya. Mempengaruhi mereka untuk dapat hidup bersama-sama di atas penerimaannya pada realitas. Karena bersama, semua itu tak menjadi masalah. Hingga akhirnya, tanpa sadar, mereka telah menyepakati sikap tersebut sebagai suatu kebenaran, yang kemudian diyakini menjadi sebuah keyakinan. Sesuatu yang telah menjadi keyakinan biasanya sangat sulit untuk digugat. Jika ada yang ingin melakukannya, ia harus mendobrak keyakinan tersebut yang telah dibangun bersama oleh mereka.
Refleksi masalah di atas, hanyalah salah satu diantara sekian banyak bentuk sikap-sikap manusia yang kemudian tidak hanya mempengaruhi kehidupan, tapi juga pemikiran seseorang, yang menjadi titik pemberangkatan seorang dalam bersikap, berperilaku dan bertindak. Sebagai contoh, (terlepas dari pada diterima atau tidak oleh sekalian pembaca, karena pendapat ini hanya berdasar refleksi pengalaman subjektif penulis) kebiasaan seseorang yang bersikap menyerah pada kenyataan, biasanya akan memandang hampir setiap masalah secara simplistis.
Cara pandang seperti ini yang cenderung menyederhanakan masalah kemudian akan melahirkan perilaku inkonsisten dalam proses penyelesaian masalah. Alih-alih mengambil tindakan alternatif (mencari cara lain), justru pada akhirnya kebanyakan mereka akan lari dari masalah yang sedang dihadapi. Tak banyak yang sadar, bahwa pola-pola hidup seperti ini, akan mempengaruhi mentalitas kepribadian mereka di masa mendatang. Tak sedikit orang-orang sejenis seperti ini terpental dari kehidupan sosial masyarakatnya di kemudian hari, dikarenakan sikap dan perilakunya apalagi tindakan-tindakannya sama sekali tak berguna bagi kebaikan orang banyak. Bagaimana mungkin orang semacam ini akan peduli dengan hajat hidup orang banyak?! Kepribadiannya sendiri yang merupakan modal awal bagi kehidupan sosialnya tidak ia pedulikan!
Sebagian lain ada yang selalu menghindar, menganggap, hidup menyenderi mungkin lebih baik baginya. Dan ternyata ia menjalani kehidupan tersebut dengan begitu berat, tapi ia selalu berusaha menghibur dirinya, tentang kesendiriannya itu. Sebegitu sungguh mereka bertahan dalam kesendirian, mengapa tidak kesungguhan itu ia alihkan untuk dapat hidup sebagaimana harusnya, berbaur dengan yang lain, berinteraksi dengan yang lain. Semua ini dibentuk terus menerus oleh persepsinya sendiri, ia meyakini bahwa apa yang ia persepsikan selalu benar, sekalipun itu akan bergesekan dengan persepsi kehidupan orang lain, ia tetap mempertahankannya. Padahal kehidupan ini, bukan hanya tentang menjalaninya berdasarkan keinginannya sendiri. Semakin dalam kondisi ini menjerat seorang, ia akan semakin dijauhkan dari kehidupan yang akan mengantarkannya pada kebahagiaan.
Dalam beberapa literatur, diantaranya filsafat hidup, manusia sebenarnya cenderung untuk mencari kebenaran kemudian mengikutinya. Namun tak sedikit manusia yang ditipu oleh persepsinya sendiri, perasaannya sendiri, lingkungannya sendiri, pengalaman hidupnya sendiri, hingga semua yang selama ini ia dapatkan selama ini dianggap sebagai suatu kebenaran.
Mengapa tidak ia mempertanyakan kembali segala hal yang selama ini telah dipelajarinya? Segala hal yang selama ini telah diperoleh oleh kehidupannya? Ya, jawabannya mereka tidak punya waktu untuk melakukan itu, tak ada waktu untuk merenungkan hal-hal remeh seperti itu. Karena waktunya, telah habis oleh aktifitas keseharian mereka. Makan, minum, bekerja, tidur, berlibur, dan semua kesibukan lainnya. Rutinitas, telah dianggap sebagai suatu kebenaran yang diyakininya, meskipun ia hampa makna, ia tidak akan pernah mempersoalkannya. Menganggapnya sebagai kebenaran di sini, bukan berarti pengakuan dalam bentuk ungkapan kata saja. Karena, mungkin saja banyak yang merasa bosan dan jenuh dengan rutinitas yang selama ini dijalaninya.
Seorang menganggapnya sebagai kebenaran, adalah dengan tetapnya ia menjalani rutinitas tersebut, sekalipun ia telah merasa kebosanan, kejenuhan dan kehampaan tadi. Dan ia takut untuk keluar dari kondisi tersebut, akhirnya seiring berjalannya waktu, ia menerima segala hal yang menjadi kondisi nya saat ini. Setelah ini, maka terkuburlah fitrahnya yang cenderung untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Karena kebenaran, telah tertimbun oleh sesuatu yang dianggapnya benar.
Dunia ini, tidak lahir dengan sendirinya. Dunia ini, bukanlah sebuah tatanan tanpa aturan. Dalam sebuah permainan, akan selalu ditetapkan suatu petunjuk dan peraturan. Lalu, pantaskah kita menganggap bahwa di dunia tempat kita hidup ini, akan berjalan hanya berdasar keinginan kita sendiri? Hidup hanya berambisi untuk mewujudkan mimpi, hidup hanya untuk kebutuhan dan kabahagiaan keluarga, hidup hanya untuk berjuang mengabdi di kampung halaman, hidup hanya untuk mencari jati diri, hidup hanya untuk kebahagiaan di dunia, semua ini adalah kebenaran-kebenaran palsu yang melenakan manusia.
Cukup kau kembali, pertanyakanlah oleh kejujuranmu sendiri, Siapa sebenarnya yang membuatmu datang di kehidupan ini? Siapa yang menghadirkan pada mu sebuah keluarga? Siapa yang menjadikan untukmu kampung halaman tempat mu tumbuh? Siapa sebenarnya yang mampu menurunkan perasaan bahagia dalam hati mu itu? Lalu, mengapa kau menganggap kehidupan mu selama ini adalah sebuah kebenaran yang kau yakini dan kau jalani? Mengapa kau sangat berani untuk hidup mengikuti cara mu sendiri? Baiklah, kita sederhanakan saja. Semakin kau abai dengan kehidupan yang sebenarnya, semakin kau akan dijauhkan daripadanya! Semakin kau menjauh, semakin dalam kau akan tersesat. Hingga masa telah berlalu sangat panjang, kau akan menyerah pada kesesatan dan tinggal bersamanya. Saat itulah tiada yang mampu menyelamatkanmu, kecuali kau meraih Kemurahan dari uluran Tangan-Nya. Wallahu’alam bi shawab
***
Penulis: Zarifin