Ketika Hidup Terasa Sempit

oleh Reporter

27 Januari 2019 | 09:47

Setiap orang berpotensi bahkan sangat bisa mengalami hal ini. Kondisi dimana semuanya terasa serba sulit, rezeki serasa sempit, kebahagiaan yang didamba serasa tak ada. Sampai hati, seseorang menghujat dan mencela takdir kehidupan yang tengah dijalaninya. Serasa Allah tak adil dalam hidupnya. Sebetulnya, Apa yang mempengaruhi perasaan kita waktu itu?

Salah satu jawaban terbesarnya adalah pemaknaan. Bagaimana pikiran dan hati kita memaknai apa yang terjadi, adalah salah satu hal fundamental yang membangun struktur kebahagiaan. Jika seseorang mampu memaknai semua yang menimpanya dengan penuh penerimaan, maka ia akan bisa berdamai dengan kompleksitas beban masalahnya. Mampu memaknai dengan benar, berarti ia akan mampu untuk mengambil keputusan yang tepat dalam melangkah kedepannya.

Memaknai dan menerima apa saja yang Allah tetapkan dan berikan untuk dirinya, atau yang biasa kita sebut Qana'ah adalah jawaban yang tepat saat kita dihadapkan pada sebuah kondisi krisis, serba sulit dan serba menghimpit.

Jangan-jangan yang kita pikirkan tentang kebahagiaan itu selama ini ukurannya adalah duniawi. Punya uang banyak, dianggap bisa bahagia. Punya pasangan, punya anak, punya jabatan, punya popularitas, punya segalanya baru bisa dianggap bahagia. Jika orientasi kebahagiaan itu diletakan pada material, maka selamanya kita tak akan pernah merasa puas dan bahagia. Bahagia itu ketika hati kita benar benar sakinah. Sakinah itu hanya diturunkan oleh Allah kepada mereka yang validitas keimanannya teruji. Teruji ketika diberi godaan dan ujian, masih tetap bisa menghamba hanya kepada Allah semata. Masih sanggup menggantungkan dan menaruh seluruh harapannya (roja') hanya kepada Allah.


Lihat Substansinya

Untuk mengubah pemaknaan kita terhadap kondisi yang terjadi, maka lihatlah apa sebenarnya isinya itu. Apapun yang Allah berikan pada diri kita, dan apapun yang tidak Allah berikan pada kita namun diberikan kepada oranglain, maka pandanglah substansinya. Pahamilah  bahwa Allah merencanakan yang terbaik untuk hidup kita. Ukurannya bukan duniawi, tapi ukhrawi. Rasakanlah bahwa itu cukup bagi kita. Rasakanlah bahwa Allah sedang mengurus diri kita (agar terhindar dari istidraj misalnya). Rasakanlah bahwa Allah sedang menguji kesetiaan kita terhadap-Nya.

 

Konversi Kebahagiaan

Qanaah yang dimiliki seseorang selalu memberi 2 konsekuensi: bersyukur dan bersabar. Ia akan mampu melakukan konversi  dalam pikirannya. Misal, saat ia harus menyaksikan teman-temannya sudah dikaruniai harta, jabatan, pasangan hidup hingga anak keturunan, sedang dirinya belum ke arah sana. Di pikirannya ia mengkonversi apa yang Allah berikan untuknya adalah kebaikan. Ia mulai memandang dan mensyukuri hidup karena masih ada orangtuanya yang bisa ia bahagiakan terlebih dulu. Ia melihat bahwa dirinya dengan kondisi seperti itu masih bisa khusyu dalam sholat dan ibadah lainnya. Konversi yang dilakukan dalam pikirannya bekerja secara alamiah, efek mekanisme Qana'ah yang ia miliki. Sehingga, diberi kondisi apapun, baginya itu adalah sebuah hal yang patut disyukuri pemberian dari Rabb-nya.

 

Sudut Pandang

Mekanisme selanjutnya efek dari Qanaah seseorang adalah melihat malasah dengan sudut pandang yang tepat. Tepat dalam artian  Allah ridho terhadap hal itu. Misal, orang lain udah sukses secara finansial, tapi ia dan keluarga tercintanya masih di taraf yang biasa biasa. Hal itupun tak menjadikan hatinya sesak. Ia justru bersykur sekaligus bersabar. Ia menghayati dan memandang boleh jadi hal tersebut mendatangkan madharat untuk kehidupannya. Nampak nampaknya ia memandang dunia dan segala isinya merupakan hal yang biasa saja. Semuanya adalah ujian.

Saat kondisi hidup terasa sulit dan terus menghimpit, maka cobalah untuk memaknai semuanya dengan benar. Lihat substansinya, lakukan konversi di pikiran kita bahwa apa yang Allah berikan pada diri kita jauh lebih baik, perbaiki juga sudut pandang kita dalam menilai masalah keduniawian. Semuanya cukup dengan memiliki Qanaah, merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Kesempitan tak akan lama-lama menghimpit. Ia akan segera berubah jadi haru, karena Allah telah melapangkannya. Segala puji bagi Allah atas segala perasangka buruk kita dan pemaknaan negatif kita selama ini.

 

 

***

Penulis: Taufik Ginanjar

Reporter: Reporter Editor: admin