Kehidupan yang kita awali di rahim ibu saat usia janin 4 bulan, merupakan takdir yang mesti kita jalani. Kehidupan itu di luar kemampuan kita sebagai manusia. Allah yang menciptakan dan mentakdirkan kita agar hidup ke muka bumi.
Tujuannya hanya satu, agar manusia itu beribadah hanya kepada Allah saja. Saat usia 4 bulan di janin, ketetapan-ketetapan Allah untuk diri kita sudah digariskan. Rezeki, Jodoh, Suka dan Duka sudah disiapkan oleh Allah SWT.
Kita tak bisa menawar nawar mau lahir dari rahim siapa. Kita tak bisa request lahir dimana, kapan dan dengan cara bagaimana. Kita juga tak pernah sanggup meminta terlahir dengan kondisi sempurna ataukah tidak. Kita juga bahkan tak bisa mengkondisikan sakitnya ibu yang hendak melahirkan kita, yang tak jarang berujung kematian bagi sebagian ibu.
Ujian Kehidupan
Berbagai alur cerita, beragam episode dan hiruk pikuknya masalah yang selanjutnya kita sebut sebagai ujian merupakan bawaan kita sejak hidup dalam rahim ibu kita. Begitu terlahir, ujian pertama kita sudah dimulai. Ujian pertamanya adalah menerima perlakuan orangtua dan keluarga yang mengurusi diri kita.
Bersyukurlah bagi orang yang diberi perlakuan baik oleh kedua orangtuanya. Ayah ibunya mendidik dan membinanya dengan ajaran Nabi SAW. Sehingga ia tumbuh dan berkembang dengan baiknya. Lingkungannya juga baik. Makan dan minumnya juga sangat baik. Bahkan, bagi sebagian anak, berbagai sarana dan fasilitas penunjang kecerdasan disediakan oleh orangtuanya.
Namun, disaat bersamaan ada juga yang harus mendapati ujian pertamanya dengan kondisi sebaliknya. Ia mendapatkan perlakuan yang buruk dari orangtuanya. Ayah ibunya tak harmonis. Ayah ibunya tak mengajarkan nilai nilai Islam di keluarga. Lingkungannya berada di kondisi yang buruk pula. Ia tumbuh dan berkembang dengan berbagai luka di hati, ujaran kotor dan kasar sering kali hinggap di telinganya. Bahkan mungkin sebagian harus merasakan pahit dan penderitaan di masa kecilnya. Dieksploitasi demi menghidupi kebutuhan keluarganya. Dikorbankan demi kepentingan orangtuanya.
Kedua kondisi tersebut, sama sama ujian. Takdir sudah digariskan. Cerita sudah dimulai. Kita tak bisa menolak ujian pertama ini. Tak satupun manusia bisa menolak ujian pertamanya.
Hal yang bisa ia lakukan agar bisa menyelesaikan ujian pertamanya dengan baik adalah belajar menjalani semua ujian tersebut dan menerima ketetapan-Nya.
Jika ada anak di usia kecilnya sudah ada di track mindset seperti itu, meski ujian pertamanya terlihat berat maka ujian berikutnya akan berubah.
Ujian kedua dan seterusnya ditentukan dari hasil kita menyelesaikan ujian pertama itu.
Kenyataan kenyataan hidupnya tak bisa ditawar tawar, tapi pemaknaannya yang bisa diubah. Rasa saat menjalani ujian tersebut yang bisa dikendalikan. Akal pikiran yang Allah berikan bisa membuat diri kita memahami dan belajar dari pengalaman buruk, hambatan hambatan, dan berbagai masalah lainnya.
Ibarat sebuah game puzzle atau labirin, kita tak bisa mengubah kenyataan adanya labirin tersebut namun kita bisa berjalan hingga menemukan kemenangan. Kita juga bisa memilih game over, mati sia-sia. Allah sudah memberikan kemampuan memilih dan mengambil tindakan untuk menyelesaikan ujian kehidupan.
Terlahir miskin, terlahir kafir, terlahir bodoh, terlahir payah dan dipandang sebelah mata, bukanlah kesalahan kita. Itu adalah ujian pertama yang sudah Allah gariskan. Sudah Allah tetapkan untuk kita.
Tapi mati dalam konyol dan sia sia, mati dalam keadaan sesat dan kufur, mati dalam kondisi sengsara dan mati dalam keadaan menanggung kehinaan itu mutlak kesalahan kita.
Sebab, Allah sudah memberikan segala modal untuk kita mengubah ritme ujiannya.
Saat kecil dulu, hidup dalam kemiskinan. Lalu ia bisa bertahan, mau beradaptasi dengan masalah-masalah yang terjadi. Mau menjalani pahit dan getirnya belajar. Mau berusaha, mau berjuang dan mau bermimpi. Hingga Allah akhirnya mengubah ritme ujian orang tersebut.
Saat memasuki usia remaja, ia dipastikan memiliki softskill. Jika ia terus memompa dirinya untuk keras dalam belajar dan menaikan nilai dirinya, maka pada akhirnya ritme ujiannya berubah lagi. Sesuai dengan apa yang dia kerjakan, sesuai dengan respon yang ia berikan terhadap ujian tersebut.
Di masa dewasanya, orang tersebut sudah mengalami pergeseran ritme ujian. Ia dihadapkan pada ritme baru dalam ujian kehidupannya. Ia mendapati kenyataan berbeda dengan sebelumnya. Sekarang ia kaya, mapan dan strata sosialnya juga berubah. Babak baru ujian hidupnya kembali bergulir.
Apakah ia akan bersyukur kepada Allah? Apakah hartanya bisa diinfaqkan di jalan Allah? Apakah ada hak orang lain yang ia keluarkan dari hartanya itu? Ataukah, ia menjadi semakin haus harta benda? Ataukah ia terjebak pada keujuban ilmu yang ia miliki? Ataukah, hartanya itu membuat ia lupa diri dan melakukan berbagai kemaksiatan
Memahami Ritme
Yang dimaksud ritme ujian adalah bentuk dan alur cerita ujian yang dihadapi seseorang. Ritme ujian pertama setiap orang sudah digariskan, tak mungkin bisa tawar menawar. Adapun ujian ujian berikutnya, ditentukan oleh kemampuan dan pilihan yang diambil oleh orang tersebut. Adapun kenyataan kenyataan yang terjadi berikutnya hasil dari manifestasi amal yang ia kerjakan saat menerima sebuah ujian.
Contoh:
Saat ia terlahir dari keluarga miskin dan kurang didikan agama dari keluarganya. Namun ia mampu menjalani kehidupannya yang suram itu. Ada kebaikan dalam hatinya. Hingga ia belajar agama, hingga ia memahami hikmah dibalik takdir Allah terhadap dirinya. Ia menerimanya. Ia jalani dengan kesabaran dan terus belajar menaikan taraf hidupnya. Pada akhirnya ia mendapatkan pahala disisi Allah, juga mendapatkan karunia.
Karunia yang Allah berikan itu, bagian dari ritme ujian hidupnya. Alur cerita hidupnya berubah. Episode kesedihan dan kesengsaraan hidupnya kini sudah berganti. Namun esensi kenyataan itu tetaplah sebagai sebuah ujian bagi dirinya.
Saat ia mampu tetap sabar dan menghamba kepada Allah, maka ia lulus ujian. Bersiap ke ujian berikutnya. Allah melipatgandakan balasan amal shalehnya.
Namun, jika saat itu ia memilih ujub. Memilih melupakan Allah, dan membanggakan dirinya sendiri. Ada kedzaliman yang ia lakukan. Ada kemaksiatan kemaksiatan yang ia bisa lakukan, tidak seperti dulu saat ia miskin.
Saat ia berada di titik itu, biasanya Allah akan ingatkan orang itu dengan beberapa musibah yang menimpanya. Tujuannya agar ia memahami harus taubat kepada Allah. Kembali berserah diri kepada Allah. Kembali berdoa dengan khusyu. Kembali mengingat kesalahan diri lalu memperbaikinya.
Jika masih belum sadar juga, biasanya akan ada ritme remedial. Ujian demi ujian, musibah demi musibah, kesempitan demi kesempitan akan terus membayang bayangi hidupnya.
Berpikir, Memahami, Menemukan Hikmahnya
Bagi mereka yang berpikir tentang kemahabesaran Allah dari setiap ujian yang ia hadapi, Allah akan tunjukan kepadanya berbagai makna tersembunyi dari ujian tersebut.
Adanya ritme dalam kehidupannya membuat ia semakin yakin bahwa Allah benar-benar mahabaik terhadap dirinya. Allah benar benar mengurusi kehidupan dan kebutuhan mendasarnya selaku manusia. Hingga ujunnya ia sangat bersyukur kepada Allah atas kemampuan dirinya memahami ribuan kebaikan yang telah Allah siapkan untuk dirinya.
Hadapi saja ritme ujian yang apapun yang terjadi pada kehidupan kita. Nabi SAW sudah berpesan pada kita semua, agar bisa melihat kebawah untuk urusan duniawi. Jangan silau dengan kemerlap ujian duniawi oranglain. Karena boleh jadi itulah yang membawa seseorang kedalam murka dan siksa Allah SWT.
Tugas kita hanya menjalani semuanya dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits. Sebab keduanya adalah syarat sahnya diterima sebuah amalan shaleh, setelah ikhlas di hati.
Ada hal yang mesti sangat diwaspadai tentang ritme ujian itu. Apa itu? Penentu sukses gahalnya menghadapi seluruh ujian kehidupan itu ada di akhir hayat kita.
Ini yang mesti dikawal habis habisan. Betapa banyak orang yang sudah menjalani berbagai ritme kehidupan dengan berbagai ketaatan dan amal sholeh, namun pada akhir hayatnya tertipu oleh setan. Terpedaya oleh syahwat duniawi. Hingga ia meregang nyawa dalam keadaan tak beriman, atau keadaan syirik, dan atau kondisi yang Allah murka atasnya.
***
Penulis: Taufik Ginanjar (Konsultan Psikologi Remaja dan Keluarga)