Mengelola Penderitaan menjadi Kekuatan

oleh Reporter

19 Januari 2019 | 01:39

Setiap orang tak bisa lepas dari ujian Allah SWT. Kehidupan seseorang di dunia hingga kematiannya, akan terus mengalami episode-episode ujian, yang tiap episodenya berbeda-beda.

Akan ada episode dalam kehidupan kita, Allah beri ujian hingga titik terlemah dalam diri kita. Hingga kita merasa menderita.

Penderitaan itu ternyata bisa menjadi sebuah kebaikan bagi mereka yang meyakini dan mengimani Allah dan Yaumul Akhir. Penderitaan itu ternyata bisa membawa keberkahan dalam hidupnya di dunia, hingga ke akhirat.

Ada fenomena yang menarik saat seorang mu'min (yang benar-benar beriman kepada Allah) mengalami sebuah penderitaan. Hal menarik yang dimaksud adalah mekanisme pertahanan diri yang luar biasa. Mekanisme ini terjadi secara alamiah dalam dirinya, manakala ia mengalami penderitaan demi penderitaan. Bukannya hancur, bukannya menjadi gila. Yang ada mereka tambah lembut hatinya. Yang ada mereka menjadi kuat dalam menghadapi berbagai masalah dan dinamikanya. Divonis ini itu, tapi tak membuat mereka putus asa dalam berjuang. Sudah jelas penderitaan dalam hidupnya, tapi mengapa bisa sampai sakinah hatinya, merasai cukup dengan apa yang Allah berikan. Padahal Allah beri kepedihan dalam cerita hidupnya. Padahal Allah ambil hal hal berharga dalam hidup dia. Mengapa bisa menjadi kuat seperti itu?

Saat ia menderita, keimanan dalam hatinya ternyata membuat konektivitas dengan Allah jadi jauh lebih intens dan berkualitas. Akibatnya terbentuklah sebuah kesabaran. Kesabaran inilah yang menetralisir kepedihan dan penderitaan orang itu. Ia mampu menerjemahkan isyarat-isyarat kasih sayang Allah terhadap dirinya. Ia mampu memahami kemahabesaran Allah dalam mengurusi hidupnya.

Adapun ketika ia harus menderita akibat perbuatan manusia lain yang dzalim terhadapnya, maka mekanisme selanjutnya yang muncul adalah kemaafan dan pengendalian amarah.

Efek bertaqwa kepada Allah dan mengimani Yaumul Akhir ternyata berdampak sangat baik kepada kesehatan mentalnya. Dihujat, dibully, difitnah, didzalimi merupakan penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Sebagai manusia yang memiliki dorongan syahwat (fujur), adalah wajar ia memiliki opsi untuk balas dendam.

Namun sayangnya, opsi itu tak ia ambil. Ia lebih memilih fokus terhadap ridha Allah. Ia tau bahwa membalas dendam (mengikuti syahwatnya) membuat konektivitas dengan Allah menjadi hancur. Maksiat dan dosa membuat Allah akan memurkainya, ia sangat menyadari hal tersebut.

Di titik epsiode masalah dengan sesama manusia, ia berusaha menggapai ridho dari Rabb-nya. Bentuknya adalah dengan memaafkan kesalahan oranglain terhadap dirinya, dan menahan amarah saat ia mampu membalaskan segala penderitaan yang disebabkan oleh oranglain tsb.

Memaafkan dan mengendalikan amarah ternyata mampu mengubah penderitaan menjadi kesehatan mental untuk dirinya sendiri. Mentalnya yang sehat itu akan mendorong ia untuk melangkah pada jalan yang benar.

Hingga pada akhirnya ia menemukan hikmah. Ridho pada ujian Allah (refleksi dari keimanannya kepada Allah dan Yaumul Akhir) membuat dirinya mampu mengolah penderitaan demi penderitaan. Dengan penderitaan yang ia alami itu, kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Mereka Ridho akan hal itu, maka Allah pun kelak meridhoi mereka. Keridhoaan Allah inilah menjadi syarat seseorang dimasukan ke dalam Jannatu 'Adn (Surga 'Adn) kelak di akhirat.

Berbahagialah mereka yang mengalami penderitaan. Pandang sekali lagi hidup ini dengan kacamata keimanan. Pahami isyarat sayang Allah. Hadirkan kesabaran, kemaafan dan kendalikan amarah. Maka Allah akan memberikan karunia yang besar, akan ada mekanisme ajaib yang secara alamiah muncul dalam diri kita. Alih alih penderitaan itu harusnya membuat seseorang itu terpuruk, eh malah membuat mereka jadi semakin kuat, dan semakin kuat.

Allahu A'lam

 

 

***

Penulis: Taufik Ginanjar

Reporter: Reporter Editor: admin