Jakarta - persis.or.id, Kegiatan Rembug Nasional yang diinisiasi oleh Yayasan Gerakan Suluh dan diketuai oleh Prof. Dr. Muhammad Mahfud MD menyelenggarakan acara yang dinilai cukup prestisius. Pasalnya acara tersebut substansinya menghadirkan gagasan besar tentang peran Islam sebagai api peradaban masa depan Indonesia.
Para narasumber pada sesi pertama terdiri dari beberapa pucuk pimpinan ormas Islam yang dipandang mempunyai peran signifikan terhadap jiwa keislaman bangsa Indonesia yang diwakili oleh Prof. Dr. Masyuri Abadillah, MA dari PB NU, Dr. Haedar Nasir, Ketum PP. Muhammadiyah, Dr. Hamdan Zoelva, Ketum PP. Syarikat Islam, dan Dr. Jeje Zaenudin, Wakil Ketua Umum PP.Persis dan dimoderatori oleh Prof. Dr. Rochmat Wahhab.
Sedang pada sesi kedua para Narasumber terdiri dari para tokoh politik dan universitas, diantaranya Prof. Dr. Atif Latiful Hayat, LLM., Prof. Dr. Abdul ‘Ala, Prof. Dr. Asep Saefuddin, dan Dr. Hajriyanto Y. Tohari, Dubes RI untuk Lebanon, dan dimoderatori oleh Ahmad Rifa’i Hassan, Ph.D,
Acara yang diselenggarakan pada Rabu (27/02/2019) di Ballroom Singasari Hotel Sahid Jakarta Pusat itu mengusung tema, “API ISLAM UNTUK PERADABAN INDONESIA MASA DEPAN”. Para peserta undangan adalah para tokoh berbagai ormas, kampus dan cendekiawan.
Secara resmi kegiatan tersebut dibuka oleh Menteri Kordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani.
Dalam pemaparannya, Wakil Ketua Umum PP Persis Jeje Zaenudin mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana Persis menggali Api Islam bagi peradaban masa depan dan pembentukan Nasionalisme Indonesia, tidaklah cukup dengan waktu yang sangat singkat ini, tetapi paling tidak dapat ditelusuri dari dua aspek.
“Pertama, aspek partikuler dan komplementer dari praktik-praktik keberagamaan Persatuan Islam”, ujar Jeje.
Lebih lanjut ia menjelaskan, seperti Persis memilih nama yang mengindonesia daripada nama ke-arab-araban yang menjadi trend umum pada masa itu. Persis juga memperkenalkan budaya lokal dalam melaksanakan ibadah, seperti berpakaian kemeja, batik, celana panjang dalam melaksanakan sholat.
Disebutkan oleh Jeje, Persis tidak mengharuskan bersorban ataupun bersarung apalagi bergamis untuk menjadi khatib ataupun imam shalat. Demikian juga Persis mempelopori khutbah jumat dengan bahasa lokal dan bahasa indonesia, mengalihbahasakan Al-Quran dan kitab-kitab hadits ke dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.
“Ini sangat sejalan dengan ide Bung Karno bahwa semua itu hanyalah “abunya” Islam, bukan apinya, bukan spirit ataupun ruhnya Islam. Maka paham keislaman yang diajarkan dan dipraktikan Persis saat itu jelas telah mencerminkan gagasan Persis tentang penerimaan terhadap budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam sekaligus menunjukan bahwa peradaban lokal bisa adikembangkan dengan tetap berdasar kepada api ajaran Islam”, Jelas wakil ketua umum PP Persis itu.
Aspek kedua untuk memahami Persis menggali Api Islam, Jeje mengatakan pandangan Persis tentang api Islam sebagai dasar peradaban dan nasionalime Indonesia.
Hal tersebut, secara praktik dapat dikaji juga dari pandangan dan sikap dua tokoh bangsa yang telah tercerahkan oleh pemikiran reformis Persis, yang tercermin dari Bung Karno dan Mohammad Natsir yang keduanya berguru kepada Tuan A. Hassan.
Jeje menyampaikan, Bung Karno merupakan proklamator kemerdekaan RI dan pencetus gagasan “Api Islam”, yaitu ruh ajaran Islam yang berdasar kepada sumbernya yang asli, mendorong kepada kemajuan dan menerima produk-produk budaya modern yang sejalan dengan Islam. Sedang yang kedua adalah apa yang dilakukan oleh Mohamamd Nasir yang memelopori Indonesia untuk kembali menjadi Negara Kesatuan setelah dipecah belah oleh Belanda menjadi beberapa negara bagian. Upaya ini yang didukung oleh semua komponen bangsa sehingga melahirkan apa yang sekarang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Wajar Persis jika merasa paling berbahagia dengan menguak kembali gagasan Api Islam-nya Bung Karno. Karena gagasan Api Islam Bung Karno sangat erat kaitannya dengan peran Persis dalam pembentukan pemikiran Bung Karno”, tutur Jeje.
Berdasar sejarah hidup Bung Karno, Jeje mengungkapkan, sepanjang masa mudanya banyak belajar agama Islam kepada beberapa tokoh seperti kepada HOS Cokro Aminoto dari Syarekat Islam, KH. Hasyim Asy’ari daroi NU, KH. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, dan Syekh Ahmad Hassan (yang terkenal dengan A. Hassan) dari PERSIS.
“Jam’iyah Persis memang tidak sebesar NU dan perkembangannya tidak seluas dan semasif Muhamamdiyah, namun dari perjalanan interaksi Bung Karno dengan berbagai tokoh Islam, maka dapat dikatakan bahwa gagasan Bung Karno tentang Islam sangat kental diwarnai pola pemikiran Islam modernis ala Persis”, papar Jeje (27/02/2019).
Sebab sebagian lama dari waktu dan yang paling serius, menurut Jeje, adalah interaksi dan belajarnya Bung Karno dengan tokoh Persis. Dimana Bung Karno selama lebih dari 13 tahun tinggal di Bandung sebagai Mahasiswa dan sebagai tokoh pergerakan perjuangan kemerdekaan, pada usia antara 20 tahun sampai dengan 34 tahun, usia yang sangat gairah dan produktif dalam pemikiran.
“Bandung pada saat itu adalah pusat gerakan pembaharuan Islam yang dipimpin oleh A. Hassan dan murid-muridnya seperti Mohammad Natsir, sekaligus juga pusat pergerakan perjuangan nasional yang dipimpin Bung Karno”, ujarnya.
Hal tersebut dinilai sebagai hal yang sangat wajar jika diskusi intensif dan pertukaran pemikiran antara Bung Karno dengan Tuang Hassan dan Natsir sering terjadi baik secara langsung ataupun melaui media cetak, terutama pada saat Bung Karno dipenjara oleh Belanda di Rutan Sukamiskin. Dimana Tuan Hasan dan Nasir sering menjenguknya dan membawa buku referensi tentang Islam modernis sekaligus berdiskusi secara mendalam.
Setelah keluar dari penjara , tahun 1931 sampai 1934 interaksi itu terus terjadi. Hingga Bung Karno diasingkan ke Endeh pada akhir tahun 1934 hingga akhir tahun 1938.
Jeje menegaskan pada masa pengasingan dan jauh dari A. Hassan justru intensitas Bung Karno dalam mempelajari Islam dengan Tuan Hassan semakin meningkat, sekalipun melalui surat menyurat.
Tercatat sekurang-kurangnya 12 kali surat Bung Karno dikirim ke Tuan Hassan. Dan berulang kali A. Hassan memberi berbagai buku bacaan kepada Bung Karno untuk belajar jarak jauh, karena A.Hassan tahu betul Bung Karno adalah seorang yang cerdas dan terpelajar, cukup dengan surat dan buku ia akan mampu memahami dengan mendalam.
Gagasan dan pemikiran Bung Karno tentang pentingnya menggali “Api Islam” dan meninggalkan “Islam Sontoloyo” yang masih terkungkung oleh debu-debunya Islam, seperti bau kemenyan, mengutamakan sorban dan celak mata, khurofat dan tahayyul, mengafirkan teknologi modern seperti radio dan televisi, jelas sama dengan pandangan Persis.
“Jadi pandangan Persis tentang Api Islam dan kebangsaan sudah sangat jelas seperti yang tercermin dari pemikiran Bung Karno dan Pak Nasir. Hanya saja di kemudian hari tidak semua gagasan Bung Karno itu sejalan dan diterima oleh tokoh-tokoh Persis. Seperti tentang nasionalisme sekuler dan nasakom”, ungkap Jeje.
Hal tersebut dijelaskan Wakil Ketua Umum PP Persis itu dikarenakan perdebatan dan polemik yang keras terjadi antara Bung Karno denga Pak Nasir dan seputar kerangka nasionalisme Indonesia, dan penentangan yang keras dari KH. Isa Anshari tentang ajaran Nasakom. (/TG)