Laiknya pepatah, "adat hidup tolong-menolong, syari'at palu memalu". Saling membutuhkan satu sama lain adalah naluri dasar kemanusiaan sebagai tanda manusia tak mampu hidup sendiri.
Dari kesadaran itulah manusia tergerak untuk mengorganisir diri mengatur relasi dan kebersamaan satu sama lain, untuk memenuhi hajat hidup paling dasar sampai memenuhi hajat hidup pelengkap. Begitulah manusia dilihat dari aspek ekonomi dan sosial. Selama manusia memiliki kebutuhan dan kepentingan untuk menjalin hubungan dengan yang lain maka manusia akan senantiasa mengorganisir diri, berorganisasi.
Disamping dari pada itu, umat Islam memiliki landasan teologis dalam memenuhi kebutuhan hidup dan membangun relasi, yang kemudian tergerak untuk membangun organisasi. Tidak hanya aspek ekonomi dan sosial, umat Islam memiliki motif lain dalam mengorganisir diri, yakni ketaatan terhadap Allah dan Nabi-Nya. Banyak keterangan dari ayat suci dan hadits shahih yang menganjurkan manusia untuk berimamah dan berimarah.
Berangkat dari dua pendekatan di atas, maka berorganisasi atau berjam'iyyah adalah hal yang secara alamiah selalu dilakukan manusia. Bukan hal yang aneh, melainkan hal yang biasa dan perlu dilakukan. Seperti perlunya kita minum dan makan.
Berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan motivasi berorganisasi, manusia boleh saja memiliki pendorong yang beragam dalam berorganisasi. Namun secara pribadi, saya yang secak kecil selalu melibatkan diri dalam organisasi memiliki kebutuhan untuk menempa dan mengaktualisasikan kemampuan dalam mengembangkan diri dan orang lain. Saya memandang jam'iyyah adalah madrasah.
Tak berbeda dengan madrasah yang memiliki misi membentuk santri sesuai dengan tahap perkembangannya untuk mencapai target tertentu, maka jam'iyyah pun memiliki visi untuk membentuk kader pada taraf yang dicita-citakan. Maka segala upaya untuk membentuk kader yang diharapkan, dilakukan pelbagai usaha untuk mewujudkannya. Jika berorganisasi atau berjam'iyyah difahami seperti itu, maka eloknya setiap kader bersemangat untuk menempa diri dan memiliki daya belajar yang tinggi. Terlebih jika organisasi tersebut mengkalim diri sebagai organisasi kader.
Dalam konteks jam'iyyah Pemuda Persis yang memiliki tahapan pengkaderan, maka sangat pantas jika proses kaderisasi dipandang sebagai media belajar, alat untuk mengembangkan diri, atau cara menempa kader untuk sampai pada kapasitas dan kapabilitas tertentu. Bukan hanya sebatas prasyarat kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan semacam organisasi-organisasi lain yang berorientasi politis.
Inilah yang menjadi ironi. Pemuda Persis selalu ingin bersih dari setiap kotoran-kotoran politik tetapi terkadang memandang sesuatu selalu menggunakan kacamata politis. Jika dibiarkan begitu, maka kita membiarkan Pemuda Persis berjalan pada disorientasi berjam'iyyah. Berjalan ke arah patologi sosial dan ini tidak kita inginkan bersama.
***
Catatan menuju Tafiq 2 PW. Pemuda Persis Jawa Barat
Haurpugur, 25 Desember 2018 Pk. 08.26 WIB
Ibrahim Nasrul Haq Alfahmi (PC. Pemuda Persis Cileunyi)