Ulama dan Diabolisme intelektual

oleh Reporter

21 September 2018 | 03:12

Dewasa kini, kita hidup pada zaman yang dimana zaman  ini disebut sebagi akhir zaman, bukan tanpa alasan melainkan semakin dekatnya kita dengan akhir dari kehidupan dunia ini dengan berbagai macam isu-isu kontemporer yang muncul sebagai permulaan tanda bahwa kita adalah umat yang berada di akhir zaman.

Terlepas dari itu semua, isu-isu kontemporer yang saat ini terus menjadi fenomena yang tak henti pada zaman ini seiring dengan berkembangnya tekhnologi, sehingga munculah kontemplasi-kontemplasi yang menyimpang. Dimana ilmu dengan kebenaranya sudah tidak menjadi sesuatu yang dipertimbangkan lagi, kebatilan meraja lela sehingga ilmu yang seharusnya menjadi penerang di zaman ini disalah fungsikan untuk kepentingan yang tak seharusnya, dan ini menjadi fenomena yang menimbulkan problematika ditengah umat terkhusus umat di zaman ini.

Inilah kondisi akhir zaman, ketika para ulama dan intelektual yang jujur tak mendapat kepercayaan ditengah umat dan ketika para ulama dan intelektual menyampaikan ilmu dengan kebenaran mendapatkan pengkhianatan, sementara itu orang yang berkhianat dengan menjadikan ilmu dan kepintarannya untuk kezhaliman dianggap sebagai orang jujur dan mendapat kepercayaan, yang tentunya hal ini menjadi problematika yang amat sangat meresahkan.

Meskipun menimbulkan problematika yang membuat resah tetapi pada nyatanya fenomena ini terus berkembang sehingga menjadi sesuatu yang biasa di mata umat manusia saat penyimpangan kontemplasi itu terjadi. Dan disinlah kita sebagai mahasiswa yang menjadi penerus generasi selanjutnya harus mengambil peran penting dalam upaya mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang telah menjadi fenomena yang sering kita saksikan.

Ulama dan Diabolisme intelektual

Berbicara tentang ulama tentu kita semua sudah tahu bahwa ulama adalah pewaris para nabi dengan sabda rasulullah shalallahu alaihi wa salam “wa inna ‘l-‘ulama’ waratsa al-anbiya” ( hadits riwayat abu darda radhiyallahu anhu ). Lantas, pertanyaan yang tentunya mengemuka, siapakah para ulama ? 

Sudah cukup jelas bahwa ulama itu adalah orang yang menguasai ilmu agama islam dan memahami hukum-hukum Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Ini merupakan kriteria yang tidak diperdebatkan lagi.

Intelektual sendiri adalah pejuang kebenaran dan keadilan. Intelektual yang sejati ialah cendikiawan yang menikmati bidang keahliannya sebagai pemikir atau budayawan bukan karena imbalan materi atau kepentingan sesaat. Berulang kali diingatkan agar intelektual menjaga jarak dari tiga kepentingan yaitu kepentingan Negara (politik), kasta (golongan) dan bangsa (rasial). Intelektual harus bisa melampaui kotak-kotak sempit ini.

Menimbang hal diatas sudah dapat kita pastikan bahwa ulama merupakan kaum intelektual dan juga cendikiawan dalam arti yang memiliki akal sehat, jiwa besar, ilmu dan juga hikmah. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai misi dan visi sebagai pelopor perubahan masyarakat atau yang dikalangan mahasiswa sering disebut dengan agents of social change, dan para ulama juga yang membantu mengeluarkan orang-orang dari gelapnya kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu. 

Namun, pada zaman ini kita kehilangan arti dari intelektual itu sendiri. Dimana pada zaman ini fenomena penyimpangan intelektual untuk kepentingan tertentu dan mendapatkan imbalan materi sudah merajalela. Dengan adanya fenomena ini mengingatkan kepada kita akan ketetapan Allah bahwa diakhir zaman Allah akan mencabut ilmu-ilmu dari manusia bukan mengambilnya dari otak-otak mereka hingga mereka menjadi dungu dan bodoh. Allah akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama dan ulama yang tersisa tak mendapat kepercayaan umat diakhir zaman ini, dan jadilah para penyimpang intelektual berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Penyimpangan intelektual inilah yang kerap menjadi fenomena kontemporer dimana kaum cendikiawan yang mengetahui akan kebenaran membolak-balikan fakta demi kepentingan sesaat, dan fenomena inilah yang menghasilkan terminologi baru yang disebut dengan “Diabolisme Intelektual”. Diabolisme sendiri berasal dari bahasa yunani kuno “diabolos” yang artinya iblis.  Disebutkan oleh A.Jeffery dalam bukunya tentang kosakata bahasa asing dalam alquran bahwa diabolisme berarti pemikiran, watak dan perilaku ala iblis atau pengabdian kepadanya. 

Disebut diabolisme intelektual karena banyaknya cendikiawan yang menyimpang dengan bermentalkan iblis dengan ciri-ciri yang telah diterangkan di dalam alquran yang Pertama: selalu membangkang dan membantah (6:121) meskipun ia tahu dan faham akan kebenarannya namun ia tidak pernah mau menerima kebenerannya. Seperti ingkarnya firaun berikut hulu-balangnya yang enggan mengakui kebeneran meskipun hati kecilnya membenarkan. Maka selalu dicarinya argument untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Karena baginya yang terpenting sudah bukan kebeneran melainkan pembenaran dan kepentingan sesaat yang kelak akan disesalinya. Ciri yang Kedua intelektual diabolic bersikap takabbur yaitu sombong,angkuh serta arogan merasa dirinya paling benar dengan ilmu yang dimilikinya. Pengertian takabbur dijelaskan dalm hadits nabi yang diriwayatkan oleh imam muslim “ al-kibru bataru’l haqq wa ghamtu’n nas “  sombong adalah menolak yang haq dan meremehkan orang lain”. Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran yang terkandung dalam al-quran atau hadits nabi dianggap dogmatis, literalis, fundamentalis, konservatif dan sebagainya. Sebaliknya orang yang berfikiran liberal, berpandangan relativistic, skeptic, menghujat al-quran dan sunnah justru mereka sanjung sebagai intelektual kritis. Ciri yang ketiga: mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran ( talbis wa kitman al-haqq).  Para cendikiawan diabolic dengan sengaja memutarbalikkan data dan fakta bukan tanpa alasan melainkan mereka menggunakan strategi yang amat sangat efektif untuk membuat orang lain terkecoh. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga Nampak seolah-olah itu adalah haq. Begitu juga sebaliknya yang haq di gunting dan dipreteli sehingga Nampak batil. Ataupun keduanya dicampur adukkan sehingga sudah tidak jelas antara benar dan salah.

Melihat ketiga ciri diatas terpampang jelas dikehidupan zaman ini yang mana sudah menjadi fenomena yang biasa kita saksikan, sungguh banyak para intelektual bermental iblis, intelektual bayaran, mencari muka kepada orang-orang yang memiliki kepentingan, mereka tidak lagi mengedepankan idealisme kebenaran sebagai raja penuntun, yang mereka pentingkan hanyalah berapa nominal uang yang akan mereka dapatkan dari pekerjaannya sebagai intelektual bayaran, penyakit diabolisme inipun bukan hanya terjadi pada seorang intelektual saja, bahkan bisa menjangkiti para Ulama, tidak sedikit diantara mereka yang menjadi penjilat setia para penista agama, dalam istilah Al-Ghazali disebut Ulama Su’.  Justru sebaliknya saat intelektual atau ulama yang menyerukan kebenaran justru  tak mendapat porsi kepercayaan, bahkan di zaman ini para intelektual dan ulama banyak yang dikriminalisasi dan bahkan dijebloskan kepenjara karena kebeneran yang mereka serukan.

Dengan jelasnya fenomena ini, kita sebagai mahasiswa yang merupakan “agent of social chage”  yang artinya kita berperan sebagai generasi perubahan social yang harus memperbaiki dan merubah sesuatu menjadi lebih baik dan juga sebagai mahasiswa yang identik dengan intelektual harus faham betul arti dari intelektual itu sendiri, sehingga kita tidak menyimpang dari kebeneran tentang intelektual yang sejati. Kita juga sebagai mahasiswa perlu berwaspada dari terjerumusnya ke dalam diabolisme intelektual karena kepentingan pribadi. Mengingat bahwa kitalah generasi penerus bangsa ini dan terkhusus kita adalah mahasiswa yang bergerak dalam organisasi keislaman yang harus membuat intelektual kembali kepada koridornya.

 

Oleh : Vhiena Sakinah mahasiswi Ilmu Quran Tafsir (IQT) semester V STAI Persis Bandung.

 

 

Reporter: Reporter Editor: admin