Uyghur, Islam dan Pemerintahan China; Kekejaman Rezim Komunis di Balik Kemajuan Ekonomi China (Part 2)

oleh Reporter

16 April 2019 | 02:23

(baca part sebelumnya, klik disini)

Dari Asimilasasi ke Akomodasi hingga De-Ekstremisasi

Ketika China dikuasai oleh Dinasti Manchu-Qing sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-20, wilayah Turkistan Timur merupakan benteng pertahanan militer China dari serangan negara-negara Barat. Oleh karena itu, China sangat berkepentingan untuk mempertahankan wilayah ini agar tidak jatuh kepada pihak lain atau memisahkan diri menjadi negara independen. Setelah berhasil menguasai wilayah ini, Dinasti Manchu-Qing mulai menerapkan kebijakan asimilasi untuk memperkuat identitas ke-China-an wilayah Turkistan Timur yang dihuni oleh etnis Uyghur-Turki yang muslim.

Kebijakan Chinaisasi pertama yang dilakukan adalah memfasilitasi para imigran etnis China untuk tinggal di wilayah Turkistan Timur. Jenderal Zuo Zong-Tang, pemimpin pasukan pendudukan di Turkistan Timur, membuka sekolah China untuk mengajarkan secara paksa anak-anak muslim Uyghur bahasa China dan ritual agama China. Kebijakan asimilasi (Chinaisasi) ini tetap berlanjut ketika pemerintahan Nasionalis China menggantikan pemerintahan kerajaan Dinasti Manchu-Qing. Pemerintahan Nasionalis China (Kuomintang) bahkan melakukan pembantaian terhadap 150,000 penduduk, termasuk di dalamnya para tokoh agama dan intelektual. Saat itu, pemerintahan nasionalis China merencanakan akan mengirimkan 1 juta etnis Han ke wilayah Turkistan Timur. Namun rencana ini tidak terlaksana setelah pemerintahan ini dijatuhkan oleh pemerintahan Komunis China. Komunis China justru yang mengeksekusi rencana ini dengan lebih keras.

Mao Zedong, sebagai pemimpin gerakan komunis China, awalnya menampakkan sikap dan citra yang akomodatif terhadap kelompok-kelompok minoritas di bawah pemerintahan China, baik itu Mongolia, Tibet, dan Turkistan Timur (Uyghur). Hal ini ada dalam konteks untuk mengambil simpati publik karena kelompok komunis ini sedang berjuang mengalahkan pengaruh kelompok Nasionalis China (Koumintang) untuk menguasai pemerintahan China. Dalam “Draft Konstitusi Republik Soviet-China” yang diputuskan pada tahun 1931, bahkan dinyatakan bahwa Partai Komunis China menyetujui bahwa wilayah Mongolia, Tibet, dan Uyghur berhak memutuskan sendiri apakah akan bergabung dengan negara Komunis China atau memisahkan diri.

Namun, pada 1949, pernyataan konstitusional ini diingkari oleh pemerintahan Komunis China sendiri. Ketika Partai Komunis China memegang kekuasaan, mereka melanjutkan kembali kebijakan asimiliasi pemerintahan Nasionalis China dengan terus mengirimkan penduduk etnis Han ke wilayah Uyghur. Dalam sebuah laporan populasi tercatat bahwa pada tahun 1953, etnis Han di wilayah Uyghur hanya berjumlah 299 ribu orang. Sembilan tahun kemudian (1964), jumlahnya melonjak hingga 2,445,400 jiwa. Bersamaan dengan kebijakan migrasi ini, pemerintahan Komunis China juga memberlakukan larangan penggunaan bahasa Uyghur, pemaksaan pengajaran bahasa China, pembatasan kelahiran, dan pembatasan kegiatan ibadah.

 

Perbandingan Populasi Turkistan Timur pada tahun 1940 dan 1996

Etnis

 

Populasi (1940)

Populasi (1996)

Uyghur

2,984,000

7,916.013

Kazakh

   326,000

1,258,521

Kyrgyz

     65,000

  160,483

Dongan

     92,000

  760,181

China (Han)

   187,000

6,432,816

Mongol

     76,000

  155,415

*Populasi etnis China (Han) pada 1940 di dalam tabel ini bukanlah etnis Han yang memang sudah tinggal di Turkistan Timur, tetap mereka adalah keluarga dari pasukan militer pemerintahan China yang bertugas di wilayah ini

*Pada Populasi tahun 1996, mulai ada etnis lain misalnya Tatar, Manchu, Rusia, Xibe, Dagur, dan Tajik.

 

Kebijakan asimilasi yang represif ini diberlakukan pemerintahan China hingga dekade 1970-an yang dikenal dengan Revolusi Kebudayaan. Pada dekade 1980-an, pemerintahan Komunis China mulai memberlakukan strategi yang lebih bersahabat terhadap kelompok minoritas, khususnya etnis Uyghur. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan seluruh kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari 55 etnis minoritas di China. Melalui kebijakan ini, etnis Uyghur muslim diperbolehkan membangun masjid, menerbitkan buku-buku keagamaan, mendirikan sekolah agama, dan mendapatkan kebebasan untuk mengelola urusan kebudayaan dan keagamaan mereka dengan intervensi yang tidak terlalu besar dari pemerintah Komunis China. Hasilnya, dekade 1980-an ditandai dengan membaiknya hubungan antar-etnis di China karena semua etnis minoritas China menikmati pemberdayaan secara ekonomi dan politik sekaligus kebebasan berekspresi secara kultural dan beragama.

Di awal dekade 1990-an, pemerintah Komunis China mulai menyadari bahwa kebijakan akomodasionis yang diberlakukannya pada dekade sebelumnya justru semakin mempertajam perbedaan identitas kultural di antara etnis minoritas, khususnya etnis muslim Uyghur. Alih-alih membuat mereka semakin terasimilasi dengan China, kebijakan yang ramah-minoritas etnik (minorities-friendly) ini justru membuat muslim Uyghur semakin memperkuat identitas keIslaman dan ke-Uyghur-an mereka. Alhasil, etnis muslim Uyghur akhirnya cenderung resisten untuk terus menentang sebagai bagian dari wilayah negara China, sebab memang sebagai sebuah bangsa, muslim Uyghur bukanlah termasuk dari bangsa China.

Sentimen resistensi terhadap pemerintahan Komunis China ini kemudian mendorong terjadinya pemberontakan Baren pada tahun 1990 yang melakukan penyerangan bersenjata terhadap kantor-kantor pemerintahan dan sebuah kantor polisi. Sikap resisten terhadap pemerintahan Komunis China ini tentu saja tidak semata-mata merupakan dampak dari kebijakan akomodasionis pemerintahan Komunis China itu sendiri. Akan tetapi, hal ini merupakan akibat dari akumulasi berbagai kebijakan pemerintahan Komunis China terhadap etnis muslim Uyghur khususnya sejak wilayah Turkistan Timur dianeksasi menjadi bagian dari wilayah negara Komunis China.

Situasi ini, yang bersamaan dengan kekalahan pasukan Soviet oleh kelompok Mujahidin Afghanistan dan keruntuhan negara Komunis Uni Soviet membuat pemerintahan Komunis China khawatir atas kedaulatan teritorial dari kepemimpinan nasional China. Kekhawatiran ini menandai berakhirnya kebijakan akomodasionis dan diberlakukannya kembali strategi asimilasi yang lebih sistematis terhadap etnis muslim Uyghur. Pengawasan ketat terhadap kegiatan keagamaan dan ekspresi kultural dilakukan untuk mengantisipasi munculnya ketegangan antar-etnis dan gerakan-gerakan nasionalis anti-China.

 

Diskriminasi Ekonomi

Secara eksternal, pemerintahan Komunis China menjalin kerjasama dengan beberapa negara yang berbatasan langsung dengan wilayah Turkistan Timur untuk membendung dukungan terhadap gerakan muslim Uyghur ini. Pemerintahan Komunis China menawarkan penyelesaian konflik wilayah perbatasan dan insentif ekonomi terhadap beberapa negara misalnya, Pakistan, Kazakhstan, dan Kyrgystan atas dukungan mereka untuk memberantas gerakan nasionalis muslim Uyghur. Ketegangan yang terjadi tidak hanya bersifat vertikal, yaitu antara muslim Uyghur dengan pemerintahan Komunis China, tetapi juga bersifat horizontal yaitu antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han yang semakin mendominasi berbagai sektor strategis di wilayah Turkistan Timur.

Ketegangan horizontal ini juga dipicu oleh kebijakan ekonomi yang diskriminatif pemerintah China terhadap etnis Uyghur di Turkistan Timur (Xinjiang). Pemerintahan Komunis China sejak awal memang telah menerapkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Uyghur. Antara tahun 1949 hingga 1957, pemerintahan China dilaporkan telah membangun 259 pabrik. Sementara itu, jumlah kota di wilayah Uyghur pada 1949 hanya 12 kota. Pada tahun 1964, jumlah ini meningkat tajam hingga berjumlah 70-80 kota. Pertumbuhan kota-kota baru menjadi tanda berkembangnya suatu wilayah secara ekonomi, khususnya karena telah terjadi proses industrialisasi di wilayah-wilayah tersebut.

Apakah pertumbuhan ekonomi ini telah berhasil membuat kehidupan etnis Uyghur menjadi lebih sejahtera? Kenyataannya tidak. Sebab pertumbuhan ekonomi ini pada implementasinya hanya ditujukan untuk dan digerakkan oleh penduduk pendatang dari etnis Han. Kelompok etnis inilah yang menikmati buah dari pertumbuhan ekonomi di Uyghur. Investasi besar-besaran antara tahun 1991 hingga 1994 yang meningkat dari 7,3 milyar yuan menjadi 16,5 milyar yuan juga tak kunjung membuat etnis pribumi membaik perekonomiannya. Secara terencana, pertumbuhan ekonomi di Turkistan Timur memang tidak ditujukan untuk penduduk pribumi, tetapi untuk warga pendatang dari etnis Han.

Situasi ini kemudian membuat kesenjangan sosial ekonomi yang begitu jelas terjadi di wilayah Xinjiang. Kesenjangan ekonomi ini menjadi bahan bakar baru bagi etnis Uyghur untuk terus melakukan resistensi dan pemberontakan terhadap pemerintahan Komunis China. Alhasil, kebijakan pertumbuhan ekonomi yang awalnya dipropagandakan untuk memadamkan api resistensi etnis Uyghur justru semakin mengobarkan semangat perlawanan mereka. Sebab pertumbuhan ekonomi ini semakin melengkapi kebijakan diskriminatif pemerintahan Komunis China, yang sejak awal sudah sangat diskriminatif secara religio-kultural.

 

Insentif Ekonomi sebagai Alat De-ekstremisasi

Pemerintahan Komunis China terus menggunakan pendekatan keamanan dalam menghadapi berbagai ketegangan ini. Pada Januari 1999, “100-Hari Kampanye Pemberantasan” (100-Day Crackdown Campaign) diberlakukan, yang kemudian diikuti dengan “Kampanye Umum Melawan Terorisme” (General Campaign Againts Terorism) pada Januari 1999, dan “Kampanye Penjegalan” (Strike Hard Campaign) pada April 2001.

Terhadap ketegangan muslim Uyghur dengan etnis Han, pemerintahan Komunis China justru melakukan kebijakan yang juga represif dengan melakukan pelemahan identitas nasional etnis Uyghur dengan memisahkan mereka dari warisan kultural mereka sendiri dan membatasi secara ketat keyakinan dan praktik keagamaan, misalnya ibadah shalat, puasa, dan mempelajari ilmu agama Islam. Melalui berbagai pendekatan keamanan ini, pemerintahan Komunis China telah menempatkan posisi muslim Uyghur sebagai ancaman nasional. Namun, alih-alih berhasil melemahkan sentimen nasionalisnya, kebijakan ini justru semakin memperkuat resistensi muslim Uyghur terhadap pemerintahan Komunis China.

Sejak akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an, pemerintahan Komunis China secara sistematis juga melakukan kontrol terhadap pemberitaan media untuk mencitrakan bahwa berbagai ketegangan terjadi di wilayah Turkisan Timur, atau “Xinjiang”, adalah wujud dari tiga kekuatan, yaitu ektremisme keagamaan, separatisme etnik, dan terorisme global, sehingga menjadikan ketegangan ini sebagai ancaman nasional dan regional. Sejak awal dekade 2000-an, sebagaimana ditulis oleh Patrik Meyer dalam laporannya berjudul China’s De-extremization of Uyghurs in Xinjiang pada tahun 2016, pemerintahan Komunis China mulai memberlakukan program de-ekstremisasi untuk—sekali lagi—melakukan asimilasi etnis Uyghur ke dalam identitas nasional China. Program ini dilakukan dengan ‘pendekatan wortel-dan-tongkat’ (carrot-and-stick approach), yaitu dengan memberikan insentif ekonomi bagi warga Uyghur yang dapat berasimilasi dengan indenitas kultural China, sekaligus memberikan sanksi penjara bagi warga Uyghur yang menolak.

Pada 2014, pemerintahan otonom di Xinjiang, atas arahan Presiden Xi Jinping, memulai kampanye de-ekstremisasi ini dengan mengirimkan lebih dari 200 ribu pegawai pemerintahan di perkotaan ke wilayah pedesaan di wilayah Xinjiang bagian selatan. Mereka ditugaskan untuk tinggal selama satu tahun di desa-desa dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan penduduk desa setempat. Pada tahun 2015, pemerintahan Komunis China menyiapkan dana sebesar 737 milyar dolar sebagai dana insenif bagi 9,611 desa terpilih untuk mendapatkan pembangunan infrastruktur, perbaikan produksi pertanian, layanan sosial, pembangunan gedung sekolah, dan rumah sakit. Namun langkah ini merupakan satu paket dengan program propaganda ideologi Komunis China melalui program pendidikan. Berbagai insentif ekonomi di atas harus dibayar dengan ketundukan warga Xinjiang terhadap otoritas Partai Komunis China sekaligus melupakan identitas kultural dan hak-hak keagamaan mereka. Melalui program ini juga, di pedesaan Xinjiang saat ini ribuan aparat keamanan terus berjaga-jaga untuk melakukan tindakan atas gerakan yang berpotensi menjadi ancaman dan gangguan keamanan.

 

----- bersambung ke Part berikutnya

 

 

***

Penulis: Imam Sopyan

Reporter: Reporter Editor: admin