Uyghur, Islam dan Pemerintahan China; Kekejaman Rezim Komunis di Balik Kemajuan Ekonomi China (Part 3)

oleh Reporter

18 April 2019 | 03:09

(baca part sebelumnya, klik disini)

Mengapa China Tetap Mempertahankan Turkistan Timur?

Pada paruh pertama abad ke-20, bangsa Uyghur tercatat telah dua kali berhasil mendirikan negara merdeka sebagai wujud aspirasi bangsa Uyghur itu sendiri, yaitu Republik Islam Turkistan Timur pada 1933 dan Republik Turkistan Timur pada 1944. Namun, setiap Uyghur berhasil mendirikan negara sendiri, pemerintahan China juga berhasil menjatuhkannya hingga saat ini wilayah yang mereka tinggali berada di bawah otoritas pemerintahan komunis China. Mengapa pemerintah China tidak bisa menerima hak merdeka bangsa Uyghur untuk mendirikan negara sendiri? Mengapa pemerintah China ingin tetap mempertahankan wilayah Turkistan Timur sebagai bagian dari wilayah negaranya?  

Sikap keras pemerintah China untuk tetap mempertahankan wilayah Turkistan Timur tampak berkaitan dengan potensi ekonomi yang dimiliki oleh wilayah ini. Perekonomian penduduk Turkistan Timur hingga saat ini bersandar pada pertanian dan peternakan. Mayoritas penduduk Uyghur menanam gandum, beras, kapas, jagung, gula, apel, anggur, buah persik, daun ara, buah pir, melon, dan semangka. Sementara itu di bagian utara, ada tidak kurang dari 60 juta sapi, kambing, dan domba.

Wilayah Turkistan Timur juga sangat kaya dengan sumber daya alam, baik minyak, gas alam, batu bara, emas, dan uranium. Cadangan minyak di Turkistan Timur diperkirakan sanggup memenuhi 25 persen kebutuhan minyak seluruh wilayah negara China. Laporan terbaru dari Radio Free Asia menyebutkan bahwa cadangan gas alam di Uyghur mencapai angka 1,4 trilyun meter kubik. Dengan cadangan ini, wilayah Turkistan Timur dprediksi dapat memenuhi kebutuhan gas alam China selama 30 tahun. Sementara itu cadangan batu bara di Uyghur merupakan 40% dari total cadangan batu bara negara China.  Luas daratannya sendiri mencapai 1,8 juts meter kubik yang berbatasan langsung dengan negara Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, India, Tibet, Mongolia dan China itu sendiri.

Lokasi yang strategis ini membuat wilayah Turkistan Timur menjadi titik penghubung distribusi barang dari Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tengah ke wilayah China. Inilah yang pada masa kuno, sebagaimana dijelaskan di awal, membuat kota Kasghar, salah satu kota di Turkistan Timur, menjadi bagian dari mata rantai Jalur Sutera (Silk Road). Pada masa modern, jalur distribusi barang mulai beralih dari daratan ke lautan. Di jalur laut ini, China menghadapi persoalan dari patroli militer Amerika Serikat harus selalu memberikan hambatan keamanan bagi kapal-kapal dagang China. Situasi ini membuat China berada dalam kondisi rentan di lautan sehingga mendorongnya mengaktifkan kembali Jalur Sutera sehingga posisi wilayah Turkistan menjadi penting kembali. Hal ini mendorong pemerintahan China untuk melakukan kontrol terhadap penduduk di wilayah Turkistan Timur. Dari titik inilah pemerintah China melakukan memfasilitasi migrasi ratusan ribu warga etnis China Han untuk menguasa sektor-sektor vital. Jalur Sutera modern ini tidak hanya jalur transportasi untuk mengirimkan barang saja, tetapi juga dibangun melalui pemasangan pipa-pipa besi untuk mengalirkan minyak dan gas alam dari wilayah Asia Tengah ke wilayah China. Pipa-pipa ini tentu saja harus melalui wilayah Turkistan Timur untuk sampai ke dan dari wilayah China.

 

*Foto diambil dari www.straitstimes.com

*Kota Urumqi dan Kashgar menjadi jembatan penghubungan jalur ekonomi darat China ke Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa.

 

Dengan potensi, pertanian, peternakan, dan sumber daya alam yang melimpah ini kita dapat memahami mengapa pemerintah China bersikeras mempertahankan ‘kedaulatan’ negaranya dengan tidak membiarkan bangsa Uyghur mendapatkan independensinya sendiri. Kehilangan wilayah Turkistan Timur merupakan sebuah kehilangan potensi ekonomi yang mampu menopang proyek raksasa China sebagai calon negara adidaya dunia. Secara geostrategis, kehilangan wilayah Turkistan Timur juga merupakan ancaman keamanan global bagi China. Sebab lepasnya wilayah Turkistan Timur akan memberikan peluang bagi kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menjadi wilayah Turkistan Timur sebagai negara penyangga (buffer state) antara China dengan negara-negara penghasil minyak di Asia Tengah dan Asia Barat. Inilah pandangan salah satu pandangan pakar dari China, Zhang Wenmu dalam artikelnya yang berjudul America’s oil geostrategy and the security of Tibet and Xinjiang.  

Di sisi lain, Erich Hyer dalam artikelnya China’s Policy towards Uighur Nationalism menyatakan bahwa lepasnya wilayah Turkistan Timur dari China juga akan memberikan ‘ancaman’ selanjutnya, yaitu bangkitnya dan menguatnya apa yang mereka sebut sebagai ‘fundamentalisme’ Islam.           Oleh karena itu, “perang terhadap terorisme”, yang menemukan momentumnya pada peristiwa 9/11 di Amerika, merupakan propaganda baru yang mampu menutupi motif sesungguhnya dari langkah-langkah represif pemerintah China. Sebab, sebagaimana ditulis oleh Patrik Meyer dalam China’s De-extremization of Uyghur in Xinjiang, propaganda “perang terhadap terorisme Islam global” ini kenyatannya ditujukan untuk menghapuskan tradisi warga Uyghur, yang dibentuk oleh ajaran Islam, dan mentransformasikannya menjadi “muslim kultural” yang patriotik, mencintai China melebihi apapun dan tunduk sepenuhnya pada kepemimpinan Partai Komunis China.

Lalu, mengapa pemerintah China mengambil langkah-langkah represif dan kejam dalam menghadapi dan menangani perlawanan bangsa Uyghur? Hal ini merupakan buah dari perkawinan antara superioritas China sebagai sebuah etnis, yang dibuktikan dengan kebijakan asimilasi atau China-isasi yang secara sederhana memiliki prinsip bahwa “menjadi bagian dari negara China adalah menjadi China itu sendiri, baik secara sosial, kultural, dan agama”, dengan ideologi Partai Komunis China yang anti agama, otoriter, menghalalkan tindakan-tindakan kekerasan dan kekejaman. Pemerintahan Partai Komunis China (PKC) sadar bahwa identitas nasional Uyghur telah terbentuk oleh agama Islam sehingga mereka menganggap ajaran Islam sebagai ancaman eksistensial pemerintahan China di dalam masyarakat Uyghur. Pada 1996, Presiden Jiang Zemin memberikan pernyataan berkaitan dengan situasi memanas di Turkistan Timur sebagai berikut:

Agama merupakan sebuah persoalan yang sangat penting, sebab agama mempengaruhi seluruh stabilitas dan kesatuan sosial negeri, agama juga memberikan tantangan terhadap pembangunan peradaban material-sosialis dan peradaban spiritual, dan juga merupakan bagian dari perjuangan antara evolusi penuh-damai dan evolusi anti-perdamaian.

Maka sejak tahun 2000-an pemerintahan Komunis China mulai melakukan propaganda tentang apa yang mereka sebut sebagai “tiga kekuatan jahat” (three evil forces), yaitu (1) separatisme Uyghur yang didorong oleh perbedaan identitas nasional antara Uyghur dan Han, lalu perbedaan identitas nasional ini dianggap sebagai bentuk dari pengaruh (2) ekstremisme ajaran Islam, dan (3) terorisme Islam. Pemerintahan China kemudian menyimpulkan bahwa hanya dengan memberangus praktik ajaran Islam-lah, bangsa Uyghur dapat di-China-kan. Dari fakta inilah kita bisa memahami tindakan represif aparat keamanan China tidak hanya ditujukan untuk menghapuskan identitas kultural bangsa Uyghur, misalnya dipaksa belajar, berbahasa, berbusana China, tetapi juga memberlakukan larangan kepada muslim Uyghur untuk melakukan shalat, puasa di bulan Ramadhan, berhijab bagi perempuan, berjanggut bagi laki-laki, hingga menghancurkan masjid-masjid.

Kedigdayaan perekonomian China hingga mampu menandingi perekonomian negara-negara Barat ternyata memiliki borok yang begitu parah. Pada akhirnya, China tampak menggunakan dua ideologinya untuk menjadi negara adidaya selanjutnya. Kapitalisme digunakan China untuk mengembangkan gurita ekonominya ke berbagai negara, dan Komunisme, yang menyatu dalam ajarannya tindakan-tindakan represif, kekerasan, dan kekejaman, digunakan untuk mengendalikan penduduknya di dalam negeri.

Patrik Meyer bahkan memprediksi bahwa kebijakan represif pemerintahan China ini tidak hanya akan merugikan China karena mengundang perlawanan balik dari etnis Uyghur, dan respon dari umat Islam di dunia, tetapi juga akan merusak hubungan baik pemerintahan China dengan komunitas muslim lainnya di China, yaitu etnis Hui. Kebijakan yang akomodatif dan suportif terhadap etnis muslim Hui juga diprediksi akan membuat etnis Hui ini akan terus menguat identitas keislamannya sehingga identitas nasional-China akan semakin lemah dan menjadi tidak penting dan pada akhirnya juga akan bersikap oposisi terhadap pemerintahan China—paling tidak tidak menyuarakan pembelaan terhadap etnis Uyghur atas dasar kesamaan agama.

Secara global, kebijakan represif ini, lanjut Patrik Meyer, juga akan merugikan China dalam dua hal. Pertama, kebijakan untuk melakukan Chinaisasi etnis Uyghur, dalam segi bahasa, agama, dan kebudayaan justru akan menghilangkah urgensi etnis Uyghur ini sebagai jembatan kultural bagi China untuk menjangkau wilayah Asia Tengah. Secara kultural, etnis Uyghur menjadi penting bagi China adalah karena mereka memiliki kesamaan agama, budaya, dan bahasa dengan negara-negara di Asia Tengah lainnya, sehingga ketika etnis Uyghur menjadi China maka akan terjadi proses pertukaran ekonomi, hubungan politik, dan interaksi sosial akan terganggu antara China dengan negara-negara di Asia Tengah dan negara-negara dengan pengaruh Islam yang kuat. Kedua, kebijakan pemerintah China yang melakukan kriminalisasi terhadap praktik keagamaan yang sebenarnya dianggap biasa di negara lain—moderat, seperti berjanggut, berkerudung, dan bercadar, misalnya, berpotensi mengganggu kepentingan global China khususnya dengan negara-negara muslim, misalnya dalam hubungan perdagangan. Hal ini juga akan menodai citra negara China yang dianggap sebagai pemimpin ekonomi Asia. Secara tegas Meyer menulis,

The reason why abusing the Uyghur’s religious rights could adversely affect these disputes is that three countries—Malaysia, Brunei, and Indonesia—confronting China have Muslim majority populations that are susceptible to being angered by the CPC’s (Communist Party of China) mistreatment of Muslim in Xinjiang.

Menurut Meyer, tiga negara ini, Malaysia, Brunei, dan Indonesia, berpotensi marah besar dengan kebijakan yang salah Partai Komunis China terhadap saudaranya sesama muslim di Xinjiang. Tiga negara ini penting bagi China karena memiliki akses terhadap Laut China Selatan, dan ketiganya adalah negara yang pengaruh Islamnya begitu kuat. Apa yang dilakukan China di Turkistan Timur memang akan sangat kompleks akibatnya, sebab tindakan mereka memang begitu kejam dan biadab. China telah menanam, mereka akan menuai apa yang mereka tanam. (*)

 

-- Tamat --

 

 

 

 

***

Penulis: Imam Sopyan

Reporter: Reporter Editor: admin