Dengan kata lain, aksi massa yang ideal bukanlah yang sekadar ramai atau keras, tetapi yang mampu mengartikulasikan tuntutan politik secara sistemik. Bukan membakar fasilitas publik, tapi membakar semangat kesadaran kolektif. Bukan menjarah rumah, tapi menjungkirbalikkan logika kekuasaan yang telah menjarah hak-hak dasar rakyat.
Apa yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa kemarahan rakyat memang nyata, tetapi juga rapuh. Gerakan rakyat kita cenderung mudah terpecah, tak terkoordinasi, dan kerap kali kehilangan arah setelah meledak. Di situlah kekerasan menjelma, bukan sebagai strategi, tetapi sebagai pelampiasan. Ini bukan semata kesalahan massa, melainkan juga tanggung jawab negara yang gagal menyediakan ruang dialog, serta tanggung jawab gerakan sipil yang belum mampu mengonsolidasikan kekuatan akar rumput secara berkelanjutan.
Tentu kita tidak boleh naif. Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak perubahan besar lahir dari tekanan jalanan. Bahkan dalam kasus tertentu, kekerasan menjadi bahasa terakhir dari mereka yang tak lagi punya saluran politik. Namun ketika aksi massa menjelma menjadi tindakan brutal yang merugikan rakyat sendiri, legitimasi gerakan akan tergerus. Publik mulai menjauh. Negara justru mendapat pembenaran untuk menekan lebih keras.
Kita bisa melihat ironi itu hari ini. Aksi yang bermula dari keresahan rakyat tiba- tiba diambil alih oleh kekacauan. Tuntutan jadi kabur. Fokus bergeser dari substansi ke situasi. Media memberitakan soal kerusakan, bukan perjuangan. Pejabat lebih sibuk mengutuk tindakan anarkis daripada menjawab akar masalah. Semua kehilangan arah.
Inilah saatnya kita membaca ulang Aksi Massa bukan sebagai kitab suci revolusi, tetapi sebagai cermin: bahwa perjuangan memerlukan kesadaran, bukan hanya keberanian. Memerlukan arah, bukan sekadar amarah. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa rakyat bukanlah gerombolan liar yang mudah disulut, tetapi kekuatan historis yang, jika dibimbing dengan visi dan ideologi, mampu mengguncang dunia dengan cara yang bermartabat.
Demokrasi yang sehat membutuhkan aksi massa, tapi aksi massa juga perlu akal sehat. Ketika dua hal ini bertemu, kita akan menemukan jalan perubahan yang benar. Namun jika keduanya berpisah, maka kita hanya akan melihat dua ekstrem: negara yang represif, dan rakyat yang destruktif.
Di tengah situasi yang semakin panas, kita butuh lebih banyak suara yang jernih, bukan hanya suara yang keras. Karena hanya dengan kejernihan itulah, perubahan bisa lahir dari puing-puing amarah menjadi tatanan yang lebih adil bagi semua. []
BACA JUGA:Tunjukkan Dukungan, Keluarga Besar PERSIS Cianjur Gabung dengan Ribuan Orang dalam Aksi Bela Palestina