AKTUALISASI PERAN PEREMPUAN DI RANAH PUBLIK
PERSPEKTIF HADIS
Oleh: Haifa Hanifah
Kader Pemudi Persis/Alumnus Pascasarjana Prodi Hadis UIN SGD Bandung
حدثنا أبو مَعْمَرٍ حدثنا عبدُ الوارِثِ حدثنا عبدُ العزيزِ عن أنسٍ رضي الله عنه قال : لَمَّا كان يومَ أُحُدٍ اِنْهَزَمَ الناسُ عن النبيِ صلى الله عليو و سلم قال ولقد رأيت عائشةَ بِنتَ أبي بكرٍ، وأُمَّ سُلَيمٍ، وإنهما لَمُشَمِّرَتانِ، أَرَى خَدَمَ سُوقِهِما تَنْقُزَانِ القِرَبَ، وقال غيرُه: تَنْقُلَانِ القِرَبَ على مُتُوْنِهِما، ثم تُفْرِغَانِه فى أَفْوَاهِ القومِ، ثُمَّ تَرْجِعَانِ فَتَمْلانِهَا، ثُمَّ تَجِيئَانِ فَتُفْرِغَانِها فى أَفْوَاهِ القومِ
Artinya:
telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz dari Anas ra. berkata, “Ketika perang Uhud berkecamuk, orang-orang melarikan diri dari Nabi saw”. Dia berkata: "Sungguh aku melihat ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga terlihat gelang kaki keduanya sambil membawa qirab (tempat air yang terbuat dari kulit)”. periwayat lain berkata: mengangkut qirab, dengan selendang keduanya lalu memberi minum para pasukan. Kemudian keduanya kembali untuk mengisi air ke dalam qirab kemudian kembali datang memberi minum pasukan.
Takhrij Hadis
Dalam penelusuran di kutub al-tis’ah, hadis tersebut hanya diriwayatkan sebanyak empat kali, di antaranya tiga riwayat terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, ketiga riwayat tersebut terdapat di kitab Jihad dan penjajahan, bab ghazwi an-nisa wa qitalihinna ma’a rijal, bab manaqib abu thalhah, dan bab idza hammat tha-ifatani minkum… dan satu riwayat lainnya terdapat dalam kitab Shahih Muslim di kitab jihad dan peperangan, bab kaum wanita ikut berperang bersama kaum pria. Adapun dari keempat riwayat tersebut, tidak ada satu riwayat pun yang bisa menjadi syawahid karena pada thabaqat shahabah hanya satu sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut yaitu Anas bin Malik ra, sedangkan pada thabaqat tabi’in ada dua periwayat yang meriwayatkannya. Dengan demikian, hadis tersebut tidak memiliki syawahid, akan tetapi memiliki mutabi‘.
Kritik Sanad Matan
Setelah melakukan pengkajian terhadap sanad hadis tersebut, ditemukan bahwa sanad hadis tersebut derajatnya shahih karena semua periwayatnya dinilai tsiqah oleh para ahl naqd (kritikus hadis), bahkan penilaiannya sangat tinggi. Sementara itu, dilihat dari segi matannya, kandungan hadis tersebut secara umum tidak mengalami syadz maupun ‘illal, karna kandungan hadis tersebut tidak bertentangan maknanya baik dengan ayat al-Qur’an maupun hadis shahih lainnya, bahkan penulis menemukan tiga riwayat shahih lain yang masih diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, yang menyebutkan bahwa Ummu Sulaim beserta perempuan Anshar juga ikut membantu memberi minum pasukan perang. Dengan demikian hadis tersebut mengacu pada kaidah keshahihan yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis, yakni sanadnya muttashil (bersambung) , diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dlabt, terhindar dari syadz (janggal) dan tidak mengandung illal (cacat).
Penjelasan Hadis
Persoalan terkait ruang gerak perempuan di ranah publik merupakan masalah yang problematis hingga saat ini, khususnya bagi perempuan yang memiliki peran ganda di masyarakat, selain itu realitas hari ini menunjukkan adanya lapangan aktifitas yang tak terbatas, namun perempuan dihadapkan pula pada kondisi yang dilematis, karna di satu sisi masih banyak pandangan yang melarang perempuan untuk berkiprah di luar rumah, bahkan tak sedikit yang menjadikan saddu dzariah sebagai alasan terlarangnya perempuan dalam aktifitas sosial namun di sisi lain perempuan hari ini hidup di tengah gempuran ideologis kaum feminis dari Barat yang menyuarakan kebebasan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, kubu dari Barat memandang Islam sangat patriarkis karna mengekang ruang gerak perempuan, lalu apakah benar Islam mengekang kaum perempuan dan bagaimana sebenarnya Islam memandang dan memposisikan perempuan?
Hadis di atas merupakan salah satu dari sekian banyaknya hadis yang menerangkan bagaimana peran perempuan di ranah publik, baik di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, ibadah maupun pendidikan. Secara historis, Islam sebenarnya sudah menunjukkan adanya aktifitas-aktifitas perempuan Muslim secara publik. Ibnu Hajar dalam men-syarh hadis ini menyebutkan bahwa dalam hadits lain yang dinukil melalui jalur mursal dan dikutip Abdurazzaq dari Ma'mar dari Az-Zuhri disebutkan, ‘biasanya kaum wanita ikut berperang bersama Nabi SAW. Mereka memberi minum orang-orang yang berperang dan mengobati orang-orang yang terluka’. Lalu dalam riwayat Abu Daud dari jalur Hasyraj bin Ziyad dari kakeknya, bahwa mereka (perempuan) keluar bersama Nabi SAW ketika perang Hunain, dan dalam hadits ini disebutkan bahwa Nabi SAW meminta mereka melakukan hal itu. Kami (perempuan) berkata, "Kami keluar membuat syair, memberi bantuan di jalan Allah, mengobati orang-orang terluka, menyiapkan anak panah dan membuat makanan". (al-Asqalani, Fathul Bari : tt).
Selain itu, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mengkritisi penamaan judul bab ‘Peperangan Kaum Wanita Bersama Laki-Laki’ yang diberikan oleh Imam Bukhari saat mencantumkan hadis tersebut, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa meskipun Imam Bukhari memberi judul demikian untuk hadis tersebut, namun tidak ditemukan adanya penegasan bahwa kaum perempuan terlibat langsung dalam peperangan secara fisik (al-Asqalani, Fathul Bari : tt). Ibnu Hajar berasumsi bahwa peranan perempuan ketika menyiapkan anak panah, memberi minum pasukan hingga mengobati pasukan juga termasuk jihad bagi perempuan, apalagi dalam kondisi peperangan, aktivitas apapun membutuhkan kesiagaan untuk membela diri, sehingga esensinya tetaplah jihad. Dengan begitu Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa sejatinya perempuan boleh ikut ke medan perang jika dia mampu menjaga diri dari sergapan musuh, beliau menegaskan bahwa para perempuan di zaman Nabi saw terjun langsung ke medan perang untuk membantu mengurusi logistik perang, bukan dalam hal adu fisik selayaknya laki-laki (al-Asqalani, al-isabah fi tamyizi shahabah, tt).
Hadis tersebut seolah menekankan, bahwa perempuan dan laki-laki meskipun sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk berjihad, namun sejatinya bentuk jihad mereka berbeda, yakni sesuai dengan potensi yang telah Allah anugerahkan. Islam memuliakan perempuan dengan peranannya yang demikian, karna secara kodrat, perempuan tidak mungkin diperintahkan untuk mengangkat senjata, terlebih adanya madharat-madharat yang mungkin saja terjadi di lapangan, misalnya nampaknya aurat, peluang mendapatkan pelecehan-pelecehan oleh musuh dan sebagainya, sehingga Islam ingin menutup rapat resiko-resiko tersebut.
Selain hadis di atas, banyak riwayat-riwayat lain yang mengisyaratkan bagaimana peran perempuan dalam mengobati pasukan yang terluka, merawat orang-orang sakit, memasak, mengantarkan air dan makanan untuk pasukan muslim, merawat peralatan dan senjata para pasukan, hal ini menunjukkan betapa besar pengabdian yang telah dilakukan oleh kaum perempuan pada masa Rasulullah saw. Dengan peran yang seperti itu justru membuat jihad menjadi sempurna, dimana perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk membela Islam, namun dengan tugas yang sesuai dengan porsi, potensi, keahlian dan kodrat keperempuanannya.
Sayyid Quthb pernah berkomentar terkait hal ini, bahwa sejatinya Allah tidak mewajibkan bagi kaum perempuan untuk berjihad, namun di saat yang sama Allah juga tidak melarang kaum perempuan untuk ikut andil dalam beberapa pertempuran di masa kenabian. Menurut Sayyid Quthb tidak diwajibkannya perempuan dalam peperangan adalah karna lewat rahim perempuanlah kelak akan terlahir para pejuang yang akan berjihad. Secara fisik dan psikis seorang perempuan lebih siap untuk tugas seperti itu (adnan al-tarsyah, 2001).
Jika ditarik pada konteks kekinian, hadis-hadis di atas mencerminkan bahwa sejatinya Islam tidak melarang kaum perempuan untuk melakukan aktifitas maupun bekerja di ruang publik. Karena bekerja dalam hal ini merupakan hal yang fundamental bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sejatinya, perempuan mempunyai hak untuk beraktifitas di ruang publik, baik untuk pribadi, keluarga, ataupun demi kepentingan umat (Faqiuddin, 2019). Penafsiran perempuan di ruang publik ini tentunya berdampak pada hukum, di antaranya ada kelompok yang memiliki pandangan yang sangat ketat dan melarang perempuan untuk berkiprah di luar rumah karna menyalahi kodratnya, pandangan ini berangkat dari sebuah hadis dari ‘Aisyah, Nabi saw. bersabda: ‘Kalian (wahai perempuan) harus tinggal di rumah karena hal itu merupakan jihad kalian’. (HR. Ahmad) serta Qur’an surat al-Ahzab : 33 ‘Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu’
Imam al-Qurthubi, Ibnu katsir dan Ibnu Asyur di antara ulama klasik yang menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan untuk keluar rumah kecuali jika darurat dan karna ada kebutuhan yang dibenarkan oleh syariat, namun ada pula pandangan yang lebih longgar yang membolehkan perempuan berkiprah di ruang publik, diantara ulama kontemporer yang membolehkan perempuan beraktifitas di luar adalah Yusuf al-Qardhawi.
Yusuf al-Qardhawi berijtihad bahwa perempuan boleh berkiprah di ruang publik, namun pembolehan tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan harus terpenuhi beberapa syarat, di antaranya: profesi atau pekerjaan yang dilakukan tidak bertentangan dengan syariat agama, perempuan harus menjaga etika seperti menutup aurat, menjaga batasan pergaulan dengan laki-laki dan adab-adab lainnya, serta aktivitas-aktivitas yang perempuan kerjakan tidak sampai meninggalkan dan menelantarkan kewajiban utamanya sebagai seorang istri dan ibu di rumah. (Jamal, 2016: 5), begitu pula dengan Muhammad Quthb, beliau berpendapat bahwa Islam tidak melarang perempuan bekerja, Islam juga tidak mendorong hal tersebut, Islam membenarkan perempuan bekerja karena memang ada alasan-alasan darurat bukan menjadikannya dasar.
Adapun Ibn Baththal ketika menjelaskan surat al-Ahzab ayat 33 dan hadis Aisyah di atas, ia berpandangan bahwa keduanya tidak bisa diartikan sebagai bentuk pelarangan bagi perempuan untuk keluar dan beraktifitas di luar rumah. Menurutnya, ayat dan hadis tersebut dibatasi (muqayyad) oleh hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin ra.: ‚Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah sebaik-baiknya amal, maka apakah kami tidak boleh berjihad?. Beliau bersabda: "Tidak, namun sebaik-baik jihad bagi kalian (para perempuan) adalah haji mabrur".
Menurut Ibn Baththal, hadis tersebut mengindikasikan bahwa perempuan memiliki kesempatan untuk berjihad di luar jihad haji, karena jika menelusuri matan hadis tersebut, Nabi saw. menggunakan kata أفضل (isim tafdil) yang berarti paling utama, artinya jihad bagi perempuan masih banyak sesuai dengan kemampuan dan profesionalitasnya dengan tetap mengikuti ketentuan-ketentuan syariat.
Mencermati para shahabiyat yang sudah memainkan peran publik dalam rangka menegakkan kalimatullah, seperti berdakwah, berbisnis, berhijrah, berbai’at, berjihad bahkan ikut ke medan perang bersama kaum laki-laki menunjukkan nilai politis yang tinggi, mengingat perempuan dapat melakukan peran yang sama sebagaimana laki-laki dalam rangka menunaikan kewajiban beragama. Oleh karena itu, kaum perempuan telah diberikan hak-hak yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat, dan mulia dalam Islam.
Kaum perempuan di masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang maju, aktif, bebas namun terpelihara akhlak dan agamanya. Al-Qur’an bahkan mengapresiasi beberapa figur ideal perempuan, di antaranya perempuan yang kompeten di bidang politik (istiqlal alsiyasi) dalam kasus baiat kepada Nabi (al-Mumtahanah: 12), perempuan yang kompeten di bidang ekonomi atau al-istiqlal al-iqtishadi (al-Qashash: 23), perempuan yang memiliki hak menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal as-shakhshi) yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami bagi yang sudah menikah sebagaimana sosok Asiyah (at- Tahrîm/66: 11), atau bersikap kritis terhadap pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum menikah sebagaimana sosok Maryam (at-Tahriim: 12). Al-Qur’an mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan oposisi terhadap segala bentuk sistem tirani demi tegaknya kebenaran (at-Taubah: 71). Islam memberikan kebebasan yang begitu besar kepada perempuan untuk berkiprah di ruang publik, sehingga pada masa Nabi Muhammad saw banyak sekali perempuan yang cemerlang.
Islam itu tidak patriarkis sebagaimana tuduhan kaum feminis, Abu Syuqqah seorang ulama kontemporer dalam bukunya Tahriru al-Mar’ah fi Asyri Ar-Risalah yang merupakan kajian atas literatur Islam klasik, menyimpulkan bahwa agama Islam ternyata sangat emansipatoris, kehadiran Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi, Islam justru datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur jahiliyyah yang dikenal sangat zalim dan memandang sebelah mata terhadap perempuan.
Abu Syuqqah juga menemukan bahwa pasca-Islam perempuan mulai diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara (bukan sebagai komoditas), terjun dan berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Jadi, di dalam Islam hubungan laki-laki dan perempuan di satu sisi bersifat struktural, dimana laki-laki diletakkan sebagai pemimpin dan bertanggung jawab (qawwam) atas perempuan, di sisi lain hubungan itu juga bersifat kolaboratif-fungsional artinya laki-laki bekerjasama dengan perempuan tanpa ada unsur penindasan sama-sekali.
Dalam hal ini, Islam sangat memperhatikan betul hak-hak perempuan. Islam mewadahi segala potensi yang dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki, sehingga gerakan aktivitas perempuan Islam dilandaskan atas dasar kesadaran kehambaan kepada Allah SWT, mengerjakan amar ma’ruf nahyi munkar, menegakkan kebenaran yang berdasarkan pada pakem Sang Pencipta. Inilah yang membedakan perempuan Islam dan Barat, menurut M. Iqbal perempuan Islam mendapatkan kebebasan dan kehormatan, sedangkan perempuan Barat hanya mendapatkan kebebasan tanpa kehormatan.
Meskipun pada realitanya Islam sangat mengapresiasi kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik, akan tetapi hal demikian tidak bisa merasionalisasi segala bentuk kebebasan perempuan yang dapat mencederai fithrah dan kewajiban utamanya, sebab Rasulullah Saw juga menekankan kepada perempuan bahwa tanggungjawab utama seorang perempuan yang telah berkeluarga adalah di rumahnya
…Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dimintai pertanggungjawaban atasnya… (HR Bukhari Muslim)
Walaupun peluang aktivitas bagi perempuan pada hari ini terbuka lebar, namun ada satu peran yang sangat strategis. Peran ini seharusnya tidak boleh ditinggalkan, apapun posisinya diluar. Peran ini merupakan peran utama sekaligus peran yang sangat luar biasa namun seringkali dianggap remeh, yakni peran sebagai ibu rumah tangga. Peran sebagai ibu rumah tangga dalam melaksanakan pekerjan-pekerjaan domestik seringkali tidak dianggap sebagai sebuah aktivitas yang mulia dan bernilai. Menjadi seorang ibu rumah tangga bukanlah sebuah aktivitas rendahan apalagi merendahkan martabat perempuan karena dianggap melakukan perbudakan terhadap kaum perempuan. Pola berpikir seperti itu biasanya hadir karena standar kesuksesan yang hanya diukur dari sisi materi saja.
Seorang perempuan dalam konteks dirinya di dalam rumah memiliki peran yang sangat penting dalam upaya melahirkan dan mendidik generasi yang baik, Bahkan Idaylin berkata: “sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan keluarga, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun. Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”
Fakta tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan perempuan di rumah sangat krusial dalam membangun generasi yang baik, sehingga dapat dipahami bahwa, baik perempuan yang mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga maupun perempuan yang mengabdikan dirinya untuk rumah tangga dan karir sama-sama memiliki konsekuensi dan komitmen untuk ‘kesalehan rumah tangga’. Seorang perempuan tidak diperkenankan meninggalkan atau lalai terhadap tanggung jawab dan fungsi utamanya, baik dalam pengertian ukhtun (saudari), bintun (anak perempuan) zaujah (istri) maupun ummun (ibu). Oleh karena itu, sebagai apapun dirinya, perempuan boleh mengaktualisasikan dirinya di ranah publik baik untuk berkarir, berdakwah dan aktivitas sosial lainnya di luar rumah dengan catatan tidak melalaikan tanggung jawab utamanya sehingga perempuan dapat bekerja dan berjihad sesuai dengan kesanggupannya masing-masing.
Faidah Hadits
- Islam tidak melarang perempuan untuk berkiprah di ruang publik, baik untuk berkarir, berorganisasi, berdakwah maupun aktivitas sosial lainnya, bahkan Islam sangat mengapresiasi nilai-nilai kebaikan yang diperjuangkan oleh kaum perempuan selama aktivitasnya tidak bertentangan dengan moral dan Agama.
- Perempuan harus menyadari fithrah dan potensi keperempuanannya sehingga aktifitas perempuan tidak mencederai fithrahnya, dalam hal ini perempuan harus mampu menjaga adab dan etika di ruang publik baik dalam berpakaian, bertingkah laku, menjaga pergaulan antar lawan jenis dan etika lainnya yang telah diatur oleh syariat Islam.
- Perempuan harus mengingat bahwa tanggung jawab dan jihad utamanya adalah di dalam rumah, perempuan yang mengabdikan diri menjadi ‘ibu rumah tangga’ maupun perempuan yang mengabdikan diri untuk ‘rumah tangga dan karir’ sama-sama memiliki konsekuensi dan komitmen untuk ‘kesalehan rumah tangga’.
BACA JUGA:Hukum Merayakan HUT RI