Amanah Menjadi Barometer Keimanan
Teguh Abdul Rohman, S.Ud -
Mahasiwa Program Magister Ilmu Hadits UIN Bandung
Staf Pengajar di PPI 50 Lembang
حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الثَّقَفِيُّ، سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ "
‘Affan telah mneceritakan kepada kami, Hamamd telah mnenceritakan kepada kami, al Mughirah bin Ziyad at Tsaqafi telah menceritakan kepada kami, beliau mendengar Anas bin malik berkata, bahwasanya Rasulullah ﷺ telah bersabda “tidak ada iman, bagi siapa saja yang tidak melaksanakan amanah. Dan juga tidak beragama bagi siapa saja yang tidak melaksanakan janjinya”
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab musnadnya, lebih tepatnya di dalam musnad al mukatstsirin min as shahabah, musnad Anas bin Malik. Hdits nomor 13637. Imam Ahmad meriwayatkan hadits di atas melalui 4 jalur periwayatan, yang semuanya terdapat di dalam musnad Anas bin Malik.
Di samping imam Ahmad, banyak pula para ulama yang meriwayatkan hadits tersebut, di antaranya ialah Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab mushannaf ibn Abi Syaibah, nomor 30401, al Bazzar di dalam kitab musnad al Bazzar, nomor 7196, Abu Ya’la di dalam kitab musnad abu Ya’la al Maushili nomor 2863, Ibnu Hibban di dalam kitab shahih ibnu Hibban, nomor 194, ath Thabrani di dalam kitab al mu’jam al ausath, nomor 2292, 2606 dan 5923. Ath Thabrani pun meriwayatkan hadits ini di dalam kitab al mu’jam as shaghir nomor 162, dan juga di dalam al mu’jam al kabir nomor 10553 dan 11532. Tak ketinggalan imam al Baihaqi pun meriwayatkan hadits tersebut dengan dua jalur yang beliau kutip di dalam kitabnya Syu’abul iman, yaitu pada nomor 4045, 4896.
Setelah dilakukan penelitian terhadap hadits-haidits di atas, penulis mendapati kualitas hadits yang beragam, ada yang shahih, hasan, bahkan ada juga yang dhaif. Berkaitan dengan hadits ushul, dalam hal ini hadits riwayat imam Ahmad di atas dinilai dhaif oleh para ulama. Alasan yang melatar belakanginya ialah bahwa para sanad hadits tersebut terdapat rawi yang bernama Hammad, Imam Ibnu Hajar memberikan catatan bahwa beliau berubah hafalan ketika usia tua. (Ibnu Hajar al Asqalani, Taqrib at Tahdzib, (Suria: Dar ar Rasyid, 1986), hlm 1493).
Pada hadits itu pun terdapat rawi yang bernama dan al Mughirah bin Ziyad at Tsaqafi. Syuaib al Arnaut pentahqiq musnad imam Ahmad menjelaskan bahwa rawi tersebut dinilai majhul oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya ta’jilul manfaah bi ziyadati al aimmatil arba’ah menjelaskan bahwa al Mughirah mendengar dari Anas bin Malik hadits di atas, aku tidak melihatnya dicantumkan oleh mukharrij di dalam kutubus sittah, tidak juga dicantumkan di dalam kitab tarikh al bukhari, dan juga tidan dicantumkan di dalam kitab shahih ibnu Hibban. (Ibnu Hajar al Asqalani, ta’jilul manfaah bi ziyadati al aimmatil arba’ah, (Beirut: Dar al Basyair, 1996), jilid 2, hlm 278).
Walaupun hadits melalui jalur al Mughirah dinilai dhaif, akan tetapi para ulama menilainya sebagai hadits hasan, dikarenakan terdapat jalur lain yang mengangkat status hadits ini.
Syarah Hadits
Beberapa waktu yang lalu bangsa ini telah melaksanakan pesta demokrasi, salah satunya ialah pemilihan Presiden. Segala bentuk ikhtiar telah dilakukan agar bisa mendapatkan pemimpin yang ideal yang diharapkan bisa membawa bangsa ini menuju arah yang lebih baik dan juga membawa rakyat agar semakin sejahtera.
Yang bisa dilakukan saat ini hanyalah bertawakal kepada Allah agar diberi pemimpin yang terbaik. Akan tetapi, jika ternyata pemimpin kita nanti bukanlah pemimpin yang amanah, maka itu sebagai ujian bagi kita dan kita harus bersabar dan juga berusaha memberikan masukan dan kritikan melalui lembaga atau dewan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Amanah adalah segala yang dipercayakan kepada seseorang, baik berupa perintah ataupun larangan yang berkaitan dengan urusan agama ataupun urusan duniawi. Imam al Maraghi lebih memperjelas definisi tersebut, bahwa amanah adalah kewajiban yang telah Allah bebankan kepada seorang mukallaf agar dilaksanakan. (Al Maraghi, tafsir al maraghi, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1946), jilid 22, hlm 45).
Amanah memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain, amanah perintah dan larangan agama, amanah kehormatan dan rahasia manusia, amanah harta, amanah jasad dan jiwa, amanah penegak hukum, amanah ilmu, amanah melestarikan lingkungan hidup dan juga amanah jabatan dan kekuasaan.
Imam Ibnu Taimiyyah di dalam kitab majmu’atul fatawa menjelaskan bahwa melaksanakan amanah mencakup dua aspek, pertama, amanah yang berkaitan dengan kepemimpinan. Kedua, amanah yang berkaitan bukan dengan kekuasaan, baik berkaitan dengan harta, diri atau yang lainnya. (Sulaiman bin Ibrahim bin ‘Abdillah al Laahim, ‘Aunurrahman fi tafsiril qur’an. (Beirut: Dar Ibnu al Jauzi, 1441 H), jilid 17, hlm 504).
Menunaikan amanah merupakan kewajiban setiap kaum muslimin, tak terkecuali para pemimpin. Pada hadits di atas dijelakan bahwa mereka yang tidak melaksanakan amanah adalah orang yang tidak beriman, sebagaimana diungkapkan dalam redaksi لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ.
Para ulama memberikan komentar terkait maksud haidts tersebut. Di antaranya ialah al Munawi di dalam kitabnya faidhul qadir. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud لَا إِيمَانَ ialah keimanan orang yang melalaikan amanah tidaklah sempurna, bukan dalam artian menghilangkan hakikat iman. (al Munawi, Faidhul Qadir syarh Jamius Shaghir, (Mesir: al Maktabal at Tijariyyah al Kubro, 1356 H), jilid 6, hlm 381)
Apa yang disampaikan dijelaskan di atas semakna dengan sabda Nabi ﷺ
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
"Seorang yang berzina tidak disebut mukmin saat berzina, seorang pencuri tidak disebut mukmin saat mencuri, seorang yang meminum khamer tidak disebut mukmin saat minum khamer, dan pintu taubat akan selalu dibuka setelahnya" (HR. Abu Dawud).
Jabatan kepemimpinan seolah menjadi hal yang sangat menggiurkan. Banyak orang yang berusaha mati-matian agar mendapatkannya, dari mulai kepala daerah sampai jabatan presiden. Berbagai macam cara dilakukan agar mereka mendapatkan jabatan tersebut. Tidak sedikit yang melakukan kecurangan agar mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka tidak sadar bahwa kepemimpinan yang diidam-idamkan jika didapatkan bukan bukan dengan cara yang hak, maka akan menghasilkan penyesalan tiada tara kelak di akhirat.
Para sahabat yang dituntunjuk menjadi khulafaur rasyidin untuk menggantikan tugas Rasulullah ﷺ selalu mengucapkan kalimat yang sama, yaitu innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Sedikitpun mereka tidak pernah merayakan atas jabatan yang diembannya. Bahkan jabatan khalifah di mata mereka tidak lain kecuali musibah dan ini merupakan amanah sangat besar, yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ dengan tegas melarang umatnya meminta jabatan. Apa yang Rasul SAW lakukan ini karena beliau sangat tahu betul bagaimana beratnya sebuah jabatan. Bahkan ketika sahabat abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah, beliau langsung menjawab,
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
"Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar." (HR. Muslim)
Siapa saja yang mampu menunaikan amanah, maka ia termasuk orang yang memiliki iman yang sangat kuat. Sedangkan mereka yang melalaikan amanah, maka mereka adalah orang yang lemah imannya. Ketika seseorang menjadi pemimpin, dia dihadapkan pada dua sisi. Jika dia amanah dan adil, maka dia akan mendapatkan naungan Allah nanti. Namun jika dia khianat, menipu rakyat, maka Allah akan masukkan dia ke neraka
Iman yang kuat tidak ditentukan oleh wajah yang rupawan, harta, ataupun jabatan. Akan tetapi iman akan semakin kuat dikarenakan seringnya bertaqarrub kepada Allah dengan cara melaksanakan seluruh yang diperintahkan dan menjauhi seluruh yang dilarang.
Penulis teringat dengan satu kisah tentang Ibnu Umar yang sedang menguji keimanan seorang penggembala domba,
مَرَّ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بِرَاعٍ، فَقَالَ: " يَا رَاعِيَ الْغَنَمِ، هَلْ مِنْ جِوَرَّةٍ؟ " قَالَ الرَّاعِي: لَيْسَ ههُنَا رَبُّهَا، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ: " تَقُولُ لَهُ: إِنَّهُ أَكْلَهَا الذِّئْبُ "، قَالَ فَرَفَعَ الرَّاعِي رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ قَالَ: فَأَيْنَ اللهُ؟ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: " فَأَنَا وَاللهِ أَحَقُّ أَنْ أَقُولَ: أَيْنَ اللهُ، فَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ الرَّاعِي، وَاشْتَرَى الْغَنَمَ فَأَعْتَقَهُ وَأَعْطَاهُ الْغَنَمَ
“Abdullah bin Umar satu waktu melewati seorang penggembala. Kemudian beliau berkata kepada penggembaa tersebut, ‘wahai penggembala domba, apakah diantara domba-domba ini ada domba yang melimah susunya?’. Penggembala mnejawab, ‘mohon maaf tuan, pemilik domba ini sedang tidak ada’. Kemudian Ibnu Umar kembali berkata, ‘jika demikian, ketika tuanmu bertanya, katakan saja kepadanya bahwa satu domba dimakan oleh serigala’. Setelah mendengar ucapan Ibnu Umar, maka penggembala tersebut mengangkat kepalanya ke arah langit, kemudian ia berkata, ‘jika demikian dimanakan Allah?’. Maka kemudian Ibnu Umar tersentak dan berkata, ‘Aku yang lebih berhak untuk berkata dimana Allah’. Kemudian Ibnu Umar memberi penggembala dan juga membeli semua domba. Setelah itu Ibnu Umar membebaskan penggembala tersbeut dan menghadiahkan seluruh domba yang ia beli”. (Al Baihaqi, Syu’abul Iman (Riyadh: Maktabah ar Rasyid, 2003), jilid 11, hlm 102).
Atsar di atas menjadi bukti bahwa mereka yang bisa menunaikan amanah adalah mereka yang memiliki keimanan yang sangat kuat. Seandainya imannya lemah, dengan tidak ada tuannya, maka ia akan dengan mudah memberikan domba yang diinginkan oleh Ibnu Umar.
Kepemimpinan yang dipegang oleh orang yang tidak amanah akan menimbulkan dampak buruk yang sangat besar. Bukan hanya untuk dirinya, akan tetapi dampak buruknya akan menyebabkan kehancuran bagi bangsa bahkan agama.
Satu waktu Rasulullah ﷺ sedang menyampaikan ilmu kepada para sahabat, tiba-tiba datang arab baduy dan bertanya tentang kiamat. Maka Rasul menjawab,
إذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: وَمَا إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“apabila amanah telah dilalaikan, maka tunggulah kiamat (kehancuran). Kemudian ditanyakan, wahai Rasulullah, bagaimana amanah itu dilalaikan? Maka Rasul menjawab, ‘Apabila satu jabatan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. (HR. Bukhari)
Ketika para pemimpin hanya mementingkan dirinya sendiri, berlaku dzalim, dan juga selalu menipu rakyatnya, Allah telah mengancam mereka dengan tidak akan memasuaknnya ke dalam surga,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Siapa saja yang diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyat, maka Allah haramkan baginya surga”. (HR. Muslim)
Kita berlindung kepada Allah agar dijauhkan dari para pemimpin yang zhalim, dan berharap mereka termasuk para pemimpin yang memiliki iman kuat agar bisa amanah dalam melaksanakan tanggung jawabnya.
BACA JUGA: Amanah Ketua Umum PP Persis untuk Kafilah Du’at 2025