Cita-Cita Besar Dan Kekuatan Disiplin: Melihat Kesuksesan Pendidikan China Dan Refleksi Untuk Pendidikan Indonesia
Oleh, Usman Adhim, S.H.I.
Pemerhati Pendidikan & HKI
Pepatah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China,” ternyata bukan sekadar ungkapan. Ia adalah cerminan dari sebuah sistem pendidikan yang dibangun dengan keseriusan luar biasa, didorong oleh sebuah cita-cita besar bangsa, sebuah spirit untuk menjadikan China sebagai negara adidaya yang mampu melampaui Amerika Serikat. Cita-cita ini bukanlah sekadar slogan politik, melainkan sebuah proyek peradaban yang diterjemahkan dengan gemilang ke dalam peta jalan pendidikan yang jelas, terukur, dan berorientasi masa depan.
Inilah akar dari segala keajaiban akademik China. Kunci kesuksesannya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cita-cita nasional tersebut menjadi energi kolektif yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat. Seorang anak di Shanghai atau di pelosok pedesaan menyadari bahwa belajar keras adalah kontribusinya bagi perjalanan besar bangsanya. Inilah yang memicu budaya disiplin super ketat yang menjadi identitas bersama.
Lihatlah realitasnya, hari-hari panjang siswa China yang diisi belajar dari pagi pukul 08.00, dilanjutkan dengan perkerjaan rumah (PR) hingga larut malam (jam 22.00), kemudian diperkaya dengan les pada akhir pekan, bukan sekadar untuk nilai individu. Itu adalah bagian dari latihan untuk membentuk mentalitas untuk tidak berhenti pada keadaan sekarang dengan hidup mengalir apa adanya (never give up) bahkan harus menjadi yang terbaik. Fokus pada penguasaan bahasa asing, penghormatan yang tinggi kepada guru, dan ritual seperti senam pagi dan siang adalah instrumen untuk menciptakan generasi sum berdaya manusia (SDM) baru, yang disiplin, sehat, dan kompetitif secara global.
Puncaknya adalah Ujian Gaokao yang legendaris. Ujian yang begitu ketat dan menentukan ini adalah mekanisme seleksi untuk menemukan bibit-bibit unggul yang akan meneruskan estafet cita-cita besar bangsa. Setiap elemen dalam sistem pendidikan China, dari gizi seimbang hingga larangan hukuman fisik yang lebih manusiawi, dirancang untuk mendukung mesin penggerak utama nation building ini.
Lantas, di manakah Indonesia berada dalam peta persaingan pendidikan ini?. Sayangnya, realitas pendidikan Indonesia seringkali berbanding terbalik. Sementara China fokus membangun software dan mindset berbasis cita-cita besar bangsa yang mendunia, dunia pendidikan di Indonesia kerap kali masih berlomba mempermegah bangunan fisik dan menambah aksesoris lembaga. Seolah keberhasilan diukur dari tampilan luar, bukan dari kedalaman substansi dan karakteristik.
Visi kebangsaan kita yang mestinya menjadi napas panjang pendidikan, sering kali tenggelam dalam rutinitas administratif, proyek politis, Langkah – Langkah populis, dan simbol-simbol formal belaka. Arah pendidikan kita belum sepenuhnya dipandu oleh sebuah cita-cita besar yang disongsong dengan berani, berkarakter, dan konsisten. Kita memiliki generasi yang pintar, tetapi tanpa arah kolektif yang jelas, potensi itu pada akhirnya tersia-siakan.
Perbedaan fundamental inilah yang menjadi refleksi paling penting. China mengajarkan bahwa pendidikan hanya akan mampu melahirkan generasi unggul jika ia berakar pada cita-cita besar bangsa yang disokong oleh kebijakan nyata, strategi pembangunan, dan komitmen kolektif. Tanpa itu, pendidikan akan kehilangan arahnya, lalu tersesat dalam gemerlap fisik, tetapi miskin substansi dan jiwa, sehingga karakter dan moral anak didik makin lemah. Pelajaran dari Negeri Tirai Bambu ini bukan untuk ditiru mentah-mentah. Sistemnya yang keras mungkin tidak sepenuhnya cocok dengan budaya kita. Namun, semangatnya, tentang pentingnya sebuah visi besar yang memandu setiap langkah, tentang konsistensi, dan tentang disiplin yang lahir dari kesadaran kolektif, itulah yang patut kita renungkan dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk membenahi jalan pendidikan kita sendiri.
BACA JUGA:Studi Komparatif Terhadap Dua Model Lembaga Pendidikan Islam dalam Menanamkan Kedisiplinan