Oleh: Eris Munandar
Media sosial dewasa ini menjadi salah satu alat yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan tertentu kepada audience. Tak ayal banyak usaha-usaha baik dalam skala besar, menengah, maupun kecil ramai-ramai memanfaatkannya sebagai sarana untuk mempromosikan produknya agar diminati oleh cutomer dan terjadi peningkatan penjualan, pelaku usahapun mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang didapatkan tentu tidak hanya dinikmati oleh para pelaku usaha, akan banyak orang yang sama-sama merasakan keuntungan tersebut. Sebab dalam proses produksi maupun penjualan produk pasti melibatkan banyak pekerja, dan proses ini secara tidak langsung membantu pemerintah dalam meminimalisir angka pengangguran di negeri ini. Bahkan saat terjadi peningkatan permintaan yang signifikan, bukan tidak mungkin para pelaku usaha ini meng-hire pekerja-pekerja baru untuk membantu dalam memenuhi permintaan pasar. Pada aspek ini perekonomian bangsa turut terbantu melalui banyaknya orang yang terlibat dalam kegiatan memproduksi barang.
Disisi lain, media sosial nampaknya menimbulkan permasalahan sosial yang berpotensi mengganggu tatanan kehidupan bermasyarakat. Media sosial kerap dijadikan sebagai ajang pamer harta (flexing), mendapatkan simpati banyak orang, bahkan tidak sedikit yang meraup keuntungan dengan menipu orang lain melalui skema investasi bodong. Tidak hanya media sosial, hari ini banyak aplikasi yang merugikan banyak pihak seperti aplikasi pinjaman online dan pay later dengan suku bunga yang tinggi, atau aplikasi judi online yang mendorong orang ingin cepat kaya secara instan. Perkembangan teknologi informasi saat ini bak pisau bermata dua yang kedua ujungnya sangat tajam, sehingga berpotensi mencelakan siapapun yang menggunakannya.
Walaupun tidak dinafikan, baik internet secara umum, media sosial, berbagai aplikasi (pinjaman online, pay later, judi online), dan lainnya, terdapat sisi positif yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun tidak dapat dinafikan juga, madharat yang didatangkanpun semakin besar. Jelas inilah peluang dan tantangannya, sehingga pengguna internet harus mampu mengendalikan sikap emosionalnya agar tidak terjebak kepada sesuatu yang mendatangkan madharat lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Seringkali orang terjebak tidak dapat mengendalikan diri karena tidak mampu membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want). Faktanya keinginan selalu mendominasi alam bawah sadar seseorang, dibandingkan dengan kebutuhan. Instrumen seperti pinjaman online, pay later, atau judi online, adalah tiga contoh dari banyaknya instrumen yang menjebak orang berada pada pusaran pemenuhan keinginan daripada kebutuhan. Budaya seperti ini kerap menimbulkan tingkat konsumerisme yang cukup tinggi di tengah-tengah masyarakat. Ingin mendapatkan sesuatu dengan cara instan, meski tidak memiliki cukup uang untuk mendapatkannya, maka pay later dianggap sebagai sebuah solusi. Pada aspek kemudahan ini mungkin bisa dibenarkan, tetapi jeratan bunga yang tinggi pada transaksi ini mungkin akan menimbulkan masalah baru. Akibat gagal bayar, tidak sedikit yang mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari para penagih, bahkan ada yang sampai harus mengakhiri hidupnya lantaran jeratan hutang, baik pinjaman online, pay later, maupun judi online.
Faktor penyebab permasalahan sosial
Sebenarnya apa yang menyebabkan banyak orang terjebak dalam pusaran transaksi keuangan digital yang merugikan tersebut? Banyak faktor yang melatarbelakanginya, diantaranya: Pertama, motif ekonomi. Motif ekonomi selalu menjadi alasan utama berhutang. Akibat keterbatasan sumber pendanaan yang terbatas, sementara kebutuhan untuk mencukupi hidup semakin meningkat, jalan pintasnya melalui berhutang. Berhutang konvensional kepada tetangga ataupun lembaga perbankan resmi tidak ditempuh, lantaran malu atau merasa diri tidak bankable, sehingga pilihannya berhutang secara online karena dianggap lebih mudah syaratnya dan cepat prosesnya. Hanya dalam hitungan menit saja dana yang dibutuhkan akan langsung cair masuk ke rekening.
Kedua, keinginan mendapatkan sesuatu dengan cara cepat dan instan. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa banyak masyarakat yang terjebak dalam memperturut keinginan dibandingkan kebutuhan, terutama barang-barang yang dianggap viral di media sosial karena ingin dianggap tidak ketinggalan trend yang menyebabkan seseorang melakukan transaksi buy now pay later. Bahasa sederhananya beli sekarang bayarnya nanti. Seseorang dapat berbelanja meski sedang tidak memiliki cukup uang, sehingga transaksi pay later ini dianggap sebagai alternatif solusi dalam memenuhi hasrat belanjanya. Padahal dibalik kemudahan yang ditawarkan, baik pinjaman online maupu pay later, justru menawarkan suku bunga harian yang sangat tinggi. Inilah yang menimbulkan persoalan sosial yang terus menambah daftar panjang para penikmat aplikasi ini.
Ketiga, keinginan cepat kaya secara instan. Judi online melalui banyak aplikasi saat ini benar-benar sangat meresahkan. Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara dengan pengguna aplikasi judi online terbesar di dunia. Lagi-lagi motif ekonomi yang turut berkontribusi terhadap transaksi ini, ingin mendapatkan keuntungan dan kekayaan dengan cara yang instan. Bandar judi online menawarkan benefit keuntungan yang besar terhadap para korbannya, bahkan tidak sedikit oknum aparatur negara dan anggota dewan yang turut terlibat dalam transaksi judi online ini.
Keempat, kurangnya bersyukur atas apa yang telah Allah swt karuniakan. Orang yang tidak bersyukur kerap menyalahkan keadaan dan tidak merasa cukup atas segala pencapaian yang telah diraihnya. Parameternya hanya dengan membandingkan pencapaian orang lain yang berada diatasnya. Untuk meraihnya, Judol seolah menjadi jalan pintas agar dapat menjadi kaya dalam waktu yang relatif singkat. Padahal itu semua hanyalah ilusi yang dipromosikan oleh bandar agar terpikat oleh rayuan mautnya. Sikap seperti ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai kufur nikmat. Padahal syukur merupakan salah satu jalan ditambahkannya peluang rizki dengan cara-cara yang tidak biasa diterima (min haitsu laa yahtasib).
Kelima, bersikap hedonis. Prioritas utama orang yang terjangkiti hedonisme adalah kesenangan secara lahiriah saja. Prioritas yang terpenting bagi orang yang terjangkiti hedonisme dalam kehidupannya mendapatkan sesuatu yang diinginkan meski harus dengan menghalalkan berbagai cara. Kesenangan seperti ini hanya kesenangan temporer saja. Hedonisme-lah yang mendorong individu untuk melakukan flexing yang tidak bermanfaat sama sekali. Apa yang dipamerkan mungkin saja dapat membuat orang lain merasa tersakiti, dan menimbulkan gap yang signifikan antara kaya dan miskin.
Keenam, Merasa mampu membeli apa yang diinginkan. Argumentasi orang yang bersikap hedonisme biasanya merasa diri mampu untuk memenuhi keinginannya, meski harus dengan mengeluarkan nominal yang nilainya sangat fantastis. Persoalannya bukan terletak pada mampu atau tidak mampu, namun harus ada norma dan etika yang dijunjung tinggi oleh siapapun, termasuk oleh orang yang merasa mampu. Sehingga Islam mengajarkan untuk redistribusi kekakayaan secara adil (QS. Al-Hasyr: 7).
Keenam faktor tersebut hanya beberapa saja yang disinyalir mempengaruhi perilaku seseorang yang mengarah pada sikap individualistik. Individualistik dimaknai sebagai konsep dimana seseorang hanya mengukur kepentingan pribadinya saja, tanpa memikirkan kepentingan kolektif bermasyarakat. Seyogyanya manusia sebagai makhluk sosial, tentu harus ada norma-norma yang diusung agar kehidupan berjalan sesuai dengan aturan yang dikehendaki oleh Allah swt Sang Pengatur Kehidupan.
Maslahat dan madharat harus dipertimbangkan
Teori ekonomi menyampaikan bahwa setiap individu pasti akan terus berupaya melakukan berbagai hal yang mencakup dengan kebutuhannya, baik kebutuhan yang bersifat primer, sekunder, maupun terseir. Ketiga jenis kebutuhan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Upaya pemenuhan kebutuhan yang bersifat esensial (dharuri) merupakan prioritas yang harus didahulukan dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Sehingga Islam memberikan perhatian khusus pada upaya pemenuhan kebutuhan yang bersifat dharuri melalui lima prinsip utama (kulliyatul khams), yaitu hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-‘aql (menjaga akal), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), dan hifdzu al-mal (menjaga harta). Kelima prinsip utama inilah yang seharusnya menjadi dasar berpijak setiap orang dalam melakukan berbagai aktivitasnya, termasuk berbagai kegiatan transaksi ekonomi agar tidak terjebak dalam aktivitas yang membahayakan (madharat).
Realitasnya banyak orang yang mendikotomikan antara kehidupan yang bersifat pragmatis dengan nilai-nilai agama, sehingga agama hanya dijadikan sebagai pelengkap saja dalam kehidupan bukan sebagai sesuatu tujuan yang mesti dicapai. Padahal agama (Islam) dihadirkan untuk mendorong keteraturan dalam kehidupan (maslahat). Bagaimana hidup akan teratur jika agama hanya ditempatkan di majelis-majelis tertentu, seperti masjid, pesantren, atau majelis taklim saja. Maka persoalan sosial itu akan selalu muncul lantaran tujuan pemenuhan kebutuhan hanya dialamatkan pada pemenuhan yang bersifat materi saja. Disinilah letak urgensi maslahat yang dipedomani sebagai jaminan terciptanya kehidupan yang bernilai, bukan tanpa nilai.
Al-Ghazali memaknai maslahat sebagai sebuah ungkapan yang menggambarkan sesuatu yang bermanfaat dan menghindari adanya madharat. Bahwa setiap tindakan seseorang harus menggambarkan sesuatu yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Tindakan spekulasi dalam judi online, ataupun tindakan lainnya yang tidak dibenarkan dalam agama jelas tidak akan menambah faedah sedikitpun. Justru tindakan-tindakan tersebut akan akan mendambah daftar panjang dalam merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Mengatasi masalah sosial ini membutuhkan upaya kolektif. Pemerintah memang memiliki peran penting, namun kesadaran bersama dalam menciptakan kemaslahatan sosial juga tak kalah krusial. Setiap orang perlu memahami bahwa pemenuhan kebutuhan sejati tidak hanya berfokus pada materi, tetapi juga pada nilai-nilai agama dan kemaslahatan bersama.
Maslahat bukanlah tataran teoritis semata. Setiap orang dapat mengimplementasikannya dalam konteks yang berbeda-beda. Salah satu strategi yang dapat dijalankan adalah melalui pengendalian diri hidup secara sederhana (frugal living). Frugal living tidak berarti harus hidup dalam kondisi yang sulit meski mampu secara finansial, akan tetapi upaya seseorang untuk hidup lebih terkendali daripada hidup membabibuta mengejar materi yang tidak akan pernah merasa puas dan cukup. Karena sifat dasar manusia selalu merasa kurang atas segala pencapaian diri.
Lanjut halaman selanjutnya
BACA JUGA:Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Quran