Jenis-Jenis Perbuatan Syirik dalam Islam dan Dampaknya terhadap Tauhid (Bagian Pertama)

oleh Redaksi

28 Januari 2025 | 07:58

Jenis-Jenis Perbuatan Syirik dalam Islam dan Dampaknya terhadap Tauhid (Bagian Pertama)

2. Jenis Sihir


Al-Buraikan (1994:142) menyebutkan, ada dua jenis sihir; sihir hakiki dan sihir khayali. Sihir hakiki adalah sihir yang mempunyai hakikat yang nyata dan pengaruh yang juga nyata pada objek yang disihir. Karena hakikatnya yang nyata Allah Swt melukiskan sebagian sihir dengan kebesaran dalam firman-Nya, wa jâ`û bi sihrin ‘adzhîm (serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)”. (Qs. Al-A’râf [7]:116). Sedangkan sihir khayali adalah sihir yang hanya bersifat khayalan (ilusi) dan tidak mempunyai hakikat nyata. Tapi ini tidak berarti seorang penyihir mampu merubah hakikat sesuatu. Jadi penyihir itu tentu tidak mampu merubah manusia menjadi kera atau menjadi sapi. Pengaruh atau efek sihir dan penyihir tidak bersumber dari kekuatan dirinya sendiri. Tetapi efeknya akan memberi pengaruh nyata apabila ia sejalan dengan izin Allah yang bersifat takdir kauni. Sedang izin Allah yang bersifat syar’i tentu tidak sejalan dengan sihir tersebut karena Allah sendiri yang mengharamkannya secara syar’i. Firman-Nya,


... وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ


“… dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.”. (Qs. Al-Baqarah [2]:102)


Penyihir itu dihukumkan kafir yang menyebabkannya keluar dari Islam, sedang perbuatan sihir itu juga merupakan kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam. Jadi, ia merupakan jenis kafir besar yang bila pelakunya mati dalam keadaan begitu, maka ia tidak akan diampuni dan seluruh amalnya dianggap batal.


B. Al-Kuhânah dan Al-‘Arâfah


Mustafa Inani (1916:41) menyebutkan, baik kahanah ataupun ‘arrâfah kedua-duanya meramal dengan menetapkan yang ghaib. Sedangkan perbedaannya, kahanah khusus untuk urusan-urusan yang akan datang, sedangkan ‘arrâfah khusus untuk urusan-urusan yang telah lalu. Ibnu Taimiyah (1991:141) mengutip al-Baghawi yang menyebutkan bahwa al-Arrâf adalah orang yang mengaku mengetahui sesuatu yang terdahulu yang menunjukkan pada hal yang berkaitan dengan pencurian dan tempat yang tersesat, sedangkan kahin adalah orang yang memberitahukan sesuatu yang ghaib pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Abdurrahman bin Hasan (1979:300) menyebutkan, kahin adalah orang yang mengambil dengan cara mencuri pendengaran yaitu apa yang dikabarkan oleh jin terhadap manusia tentang sesuatu yang ghaib apa yang terjadi di bumi, selanjutnya orang bodoh memandangnya sebagai karomah dan wali Allah Swt, padahal dia termasuk dari aulia syaithan. Seperti ditunjukkan oleh surat al-An’am 128,


وَيَوْمَ يِحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُم مِّنَ الإِنسِ وَقَالَ أَوْلِيَآؤُهُم مِّنَ الإِنسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِيَ أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَليمٌ


“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman): Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari pada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami. Allah berfirman: Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al-An’am [6]:128)


Dan ‘arrâfah adalah orang yang mengaku mengetahui sesuatu dengan cara mengkhabarkan kejadian-kejadian, seperti pencurian dan pencuri-nya, orang yang tersesat dan tempat tersesatnya, dan ‘arrâfah itu adalah nama bagi dukun, ahli nujum dan para peramal, misalnya al-Hazir yaitu orang yang mengaku mengetahui yang ghaib atau menghilangkan keghaiban. Al-Buraikan (1994:258) menyebutkan, seorang peramal dianggap telah mengklaim memiliki ilmu tentang kegaiban, padahal yang gaib itu hanya diketahui Allah sebagaimana difirmankan-Nya dalam surat al-Jin 26-27,


عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا {} إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا {}


“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. (.:) Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (Qs. Al-Jin [72]:27)


Jika suatu saat ramalan seorang dukun peramal menjadi kenyataan, maka itu adalah berita yang dicuri oleh syetan dari langit kemudian membocorkannya kepada dukun tersebut. Jadi, kebenaran adalah suatu kebetulan belaka bahwa apa yang ia katakan sesuai dengan ilmu Allah. Tapi, kenyataan kebetulan seperti itu terjadi sekali dalam seratus kali ucapannya. Sehingga perbandingan tingkat kebenaran dan kebohongan-nya adalah satu perseratus. Dengan demikian, tingkat ketepatannya sangat lemah bahkan teramat jauh. Ketepatan itupun bukan karena ia mengetahui kegaiban itu secara pasti, walaupun ia selalu mengatakan demikian, melainkan suatu kesesuaian dengan ilmu Allah yang bersifat kebetulan. Dengan demikian, ramalan para dukun tentang masa depan yang masih gaib itu adalah klaim ilmu yang bohong belaka. Mereka (dengan menyampaikan khurafat, sihir dan perdukunan) sebenarnya hendak mengeksploitasi kebodohan dan kesahajaan masyarakat awam untuk merampas harta mereka dengan cara batil. Rasul bersabda,


مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلعم.


“Siapa yang datang kepada seorang kahin (dukun) lalu dia membenarkannya. Maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw”


مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلعم.


“Siapa yang datang kepada seorang ‘arraf (paranormal) atau kepada seorang kahin (dukun) lalu dia membenarkan terhadap apa yang dikatakan. Maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw”



C. Al-Nasyrah (mantra-mantra)


Abdurrahman bin Hasan (1979:307) mengutif perkataan Abu al-Sa’adah yang menyebutkan, Nusyrah ialah semacam jampi atau pengobatan yang dilakukan terhadap yang diduga kemasukan jin. Disebut Nusyrah karena ia menyebarkan penyakit yang menimpanya atau disingkap dan dihilangkan. Nusyrah ini termasuk kepada sihir, maksudnya mengeluarkan sihir dari seseorang yang terkena sihir.


Ibnu Taimiyah (1991:142) mengutif pendapat Ibnu al-Qayyim,


اَلنَّشْرَةُ حَلَّ السِّحْرَ عَنِ الْمَسْحُوْرِ.


“Nusyrah adalah mengeluarkan sihir dari orang yang terkena sihir”.


Nusyrah itu ada dua bentuk, yaitu,

1. Menghilangkan sihir dengan sihir sejenisnya, dia itu termasuk dari pekerjaan syetan.

2. Mengeluarkan sihir dari seseorang yang terkena sihir dengan do'a memohon perlindungan dan berobat, yang dibolehkan dan terdapat dalam al-Quran dan al-Sunah, ini hukumnya boleh dan mubah.


Al-Buraikan (1994:145) menyebutkan, Rasulullah Saw ditanya tentang Nusyrah, maka beliau bersabda,


هِيَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ {احمد عن جابر}


Dalam hadits lain riwayat al-Daulabi dari Ali bin Ayash, Rasulullah Saw bersabda,


لاَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.


Imam Ahmad dan al-Thabrani meriwayatkan, bahwa Nabi Saw bersabda,


مَا جَعَلَ اللهُ شِفَاءً أُمَّتِي فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْهِ.


“Allah tidak akan menjadikan obat (penyembuh) bagi umatku dari apa yang diharamkan-Nya”


Jadi, mengeluarkan atau menyembuhkan orang yang terkena sihir dengan sihir adalah perbuatan syetan, sedang perbuatan syetan itu haram, maka tentu tak akan ada kesembuhan di dalamnya. Juga tidak boleh menduga bahwa di situ biasanya ada kesembuhan karena beliau mengharamkan berobat dengan sesuatu yang haram. itu juga tidak dibenarkan dengan alasan darurat, karena wilayah darurat itu ada pada sesuatu yang mengandung manfaat yang dapat menolaknya, sedang sihir tidak demikian sebagaimana yang disinyalir dalam suatu hadist terdahulu. Jika kita mengatakan, dalam pengobatan seperti ini ada manfaat, maka wilayah darurat itu ada dalam ketakutan terhadap mati karena pengaruh sihir semata sehingga kita dapat membenarkannya melakukan itu dengan alasan untuk menjaga keselamatan jiwanya.

BACA JUGA:

“Ghanimah” Memecah Belah: Pelajaran Ramadhan dari Perang Badar Kubro

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon