Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum
Selama 13 tahun dakwah Rasulullah Saw. di Mekah dikenal dengan masa-masa sulit dan kelam; masa penuh penindasan dan kenestapaan. Ini tentu saja bukan masa ideal bagi dakwah. Seandainya ini wujud dan bentuk yang ideal, tentu Rasulullah Saw. tidak akan hijrah ke Madinah untuk menyelamatkan Islam dan para sahabat yang sudah mengimaninya. Keadaan ideal yang dikehendaki Rasulullah Saw. adalah ketika Rasulullah Saw. berhasil membangun Madinah Al-Munawwaroh dari kota syirik menjadi kota tauhid. Kota Tauhid ini ditandai dengan tegaknya ajaran-ajaran Allah Swt., bebasnya umat Islam menjalankan syariat Allah Swt., keamanan yang terjamin, dan kesejahteraan rakyat yang terus meningkat. Dengan begitu, bukan hanya ajaran Islam yang semakin kokoh berjaya peradaban yang semakin memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia pun terus terbangun dengan baik. Hanya saja, untuk sampai ke sana perlu perjuangan yang melelahkan dan menyakitkan.
Pada saat masa-masa peralihan umat Islam dari ketertindasan, Allah Swt. memulainya dengan izin untuk Nabi Saw. dan para sahabatnya meninggalkan Mekah berhijrah ke Madinah. Ini bukan perjalanan mudah dan menyenanngakan. Akan tetapi saat sampai di Madinah setidaknya situasi lebih kondusif bagi umat Islam. Di sana sudah ribuan penduduk sudah beriman kepada Nabi Saw. dan siap membelanya. Mereka yang datang dalam keadaan papa dan miskin telah disiapkan penjamin-penjamin yang dengan ikhlas membagi harta dan rumah mereka. Para Muhajirin dijamin selama dua tahun agar mereka leluasa untuk mencari sumber penghidupan baru di Madinah. Akhirnya umat Islam dapat merasakan kembali kehidupan tenang dan normal. Perlahan-lahan Islam semakin kokoh dan siap berkembang.
Pada fase ini rupanya bukan pertanda ujian dari Allah Swt. berhenti. Manusia selalu diuji dengan kesulitan dan kemudahan, kemiskinan dan kekayaan. Ujian kekayaan dan kemudahan justru bisa lebih berbahaya karena seringkali bukan dianggap sebagai ujian. Tahu-tahu orang yang diuji dengan kekayaan sudah berada di bibir jurang kehancuran dan sudah melenceng jauh dari jalan Allah Swt. Seandainya dia tahu sejak awal bahwa kekayaan dan kemudahan itu adalah ujian yang tidak kalah bahayanya dari kesulitan dan kemiskinan, mungkin orang yang mengalaminya akan lebih berhati-hati. Fase ini kemudian diujikan juga kepada Rasulullah Saw. dan para sahabatnya.
Ketika situasi sudah tenang dan umat Islam sudah dalam keadaan normal di Madinah, mereka kemudian mulai menyusun stretagi untuk terus mengembangkan Islam. Mereka sadar bahwa dakwah perlu perbekalan. Ulah sebab itu, mereka teringat kembali harta mereka yang dirampas orang kafir-Quraisy di Mekah. Mereka ingin mengambil kembali hak mereka. Begitu terdengar kabar bahwa akan ada kafilah dagang pimpinan Abu Sufyan bin Harb yang akan menjual barang-barang ke Syam lewat sekitar Madinah, tepatnya daerah Badr, kaum Muhajirin segera mengatur siasat menghadang kafilah ini. Mereka akan merebut barang-barang tersebut sebagai ganti harta mereka yang dirampas secara zhalim. Rencana pun dijalankan. Hanya saja, pergerakan mereka menuju Badar sudah terendus musuh. Abu Sufyan pun segera berbalik arah kembali ke Mekah dan melaporkan situasi ini kepada Abu Jahal dan pemimpin Quraisy lain di Mekah. Abu Jahal dan pemimpin lainnya marah besar. Mereka kerahkan sekitar 1000 orang pasukan lengkap dengan senjata terbaik pada masa itu. Mendengar kabar akan datangnya serangan kepada kaum Muslim di Madinah, Rasululalh Saw. segera menyiapkan pasukan terbaiknya. Hanya saja, karena jumlah kaum Muslim masih sedikit, hanya sekitar 330 orang yang bisa dipersiapkan berangkat ke medan tempur dengan senjata seadanya. Perang pun tidak dapat dihindari. Bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah menjadi saksi perang pertama umat Islam dalam sejarah menghadapi kaum kafir. Inilah Perang Badar Kubro yang sangat bersejarah.
Singkat cerita Allah Swt. memberikan banyak bantuan kepada umat Islam atas keberanian dan keteguhan hati mereka menghadapi berbagai rintangan. Dalam surat Al-Anfal banyak diceritakan bagaimana Allah Swt. membantu kemenangan kaum Muslim dalam perang ini hingga Ibnu Hisyam dalam Târikh-nya membuat bab khusus tetang Surat Al-Anfal dan Perang Badar. Karena kekuatan Allah Swt. inilah umat Islam dapat memenangkan pertempuran dengan gemilang, bukan karena jumlah pasukan yang secara hitungan manusiawi kemungkinan besar dapat dikalahkan dengan mudah oleh musuh. Kejadian ini juga sekaligus menjadi pelajaran buat umat Islam sepanjang zaman bahwa apapun yang diraih oleh umat Islam adalah anugerah dan pertolongan Allah Swt. bukan semata-mata kekuatan umat Islam. Bila umat Islam kuat, Allah-lah yang menguatkan. Bila umat Islam hebat, Allah-lah yang menghebatkan. Bila umat Islam menang, Allah-lah yang memenangkan. Allah akan selalu bersama orang-orang yang berkeyakinan teguh dan selalu menjaga hubungan baik dengan-Nya.
Pada saat itulah Allah Swt. menurunkan ujian yang lain kepada umat Islam yang hampir saja menyebabkan umat Islam menjadi lemah karena perseteruan. Ujian tersebut adalah harta rampasan Perang. Dalam riwayat Imam Ahmad (5/324) dari Ubadah bin Shamit diceritakan bahwa beliau ikut Perang Badar bersama Rasulullah Saw. dan menyaksikan pertempuran di antara dua kelompok kaum Muslim melawan kaum kafir. Ia juga menyaksikan bagaimana pertolongan Allah Swt. dalam pertempuran tersebut dalam bentuk serangan atas musuh tanpa diketahui penyerangnya. Selain itu, ia juga menyaksikan pasukan kaum Muslim ada yang menyerang musuh; ada yang berhasil membunuhnya; ada juga yang berhasil meringkus musuh dan mengumpulkan harta rampasan perang; serta ada juga yang melindungi Rasulullah Saw. agar tidak terkena serangan musuh. Setelah perang usai, pada malam hari mereka berkumpul bersama. Orang yang mengumpulkan ghanimah berkata, “Kamilah yang mendapatkan dan mengumpulkan rampasan perang ini; oleh sebab itu, yang lain tidak berhak mendapat bagian darinya.” Kemudian sahabat-sahabat yang kebagian menghadapi musuh langsung berkata, “Kalian tidak lebih berhak atas ghanimah itu daripada kami; kamilah yang menghalangi dan menyerang musuh (sehingga kalian leluasa mengambil ghanimah tersebut).” Sedangkan sahabat-sahabat yang melindungi Rasulullah Saw. berkata, “Kami khawatir musuh akan menyerang Rasulullah Saw. sehingga kami sibuk melindungi beliau.” Karena perdebatan yang hampir menimbulkan perkelahian sesama saudara itu kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. pun kemudian membagi rata seluruh harta rampasan perang tersebut kepada semua yang ikut dalam perang setelah Allah Swt. menurunkan surat Al-Anfal ayat 1 berikut ini.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَنفَالِ ۖ قُلِ ٱلْأَنفَالُ لِلَّهِ وَٱلرَّسُولِ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya). Maka, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang mukmin.”
Ubadah bin Shamit juga menambahkan bahwa saat mereka berdebat berujung pada pertengkaran yang tidak patut dan menandakan buruk akhlak sampai akhirnya hak pembagian rampasan perang itu dicabut oleh Allah Swt. lewat turunnya ayat di atas dan diserahkan kepada Rasulullah Saw. Kemudian beliau membaginya secara rata untuk semua pasukan yang ikut bertempur. (Musnad Al-Imam Ahmad, 5/322).
Perhatikanlah apa yang dialami para sahabat utama yang berada di sekeliling Nabi Saw. Ini menjadi gambaran untuk kita bagaimana fitnah dunia mengancam orang-orang yang imannya terlatih dan digembleng matang sekalipun. Kita tidak meragukan keimanan dan keteguhan hati para sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Mereka semua bahkan dijanjikan oleh Allah Swt. akan masuk surga. Rata-rata mereka adalah orang-orang yang pertama-tama masuk Islam. Mereka adalah orang yang digembleng langsung oleh Nabi Saw. sejak di Mekah. Mereka telah mengalami banyak kesulitan hidup berupa tekanan, intimidasi, cacian, hinaan, dan bahkan kesulitan ekonomi yang hampir membuat mereka putus asa untuk terus berjuang bersama Rasulullah Saw. Semestinya mental mereka sudah sangat teguh. Akan tetapi justru yang membuat mereka benar-benar hampir terjerumus pada kehancuran, pertengkaran, perpecahan, dan permusuhan yang akan melemahkan umat Islam.
BACA JUGA:Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam