Contohnya, saat ini muncul generasi muda yang memiliki karakter kreatif tetapi dengan disertai kondisi rapuh, mudah menyerah, pesimis terhadap masa depan, gampang sakit hati, kurang tahan banting, tidak kuat dalam menghadapi kompetisi, mudah menyerah pada ketidakpastian, tekanan kesejahteraan mental, ketergantungan teknologi yang berlebihan. Karakteristik perilaku generasi bangsa ini disebut sebagai generasi “strawberry”. Istilah strawberry sendiri diciptakan pertama kali oleh sosiolog Australia, Paul Hirst, di tahun 1978 dalam bukunya yang berjudul The Graying Of The Greens: Demographic Change And Political Realignment In Australia (1978). Hirst berpendapat ada tiga generasi utama yang hadir dalam masyarakat Australia; baby boomer, generasi X dan apa yang ia sebut sebagai “generasi strawberry”. Di satu sisi, generasi ini ke depan memiliki potensi yang tinggi (kreatif, inovatif, adaptif, sensitif, kesadaran sosial yang tinggi) untuk merespon perkembangan teknologi digital menjadi kekuatan dan peluang untuk membangun bangsa dan negara, tapi di sisi lain memiliki ketahanan mental yang rapuh.
Mengapa muncul generasi strawberry semacam ini? Kontrobusi terbesar lahirnya generasi ini justru dari rumah, dari keluarga. Generasi baby boomers dan generasi X, relatif lebih memiliki karakter yang kuat, karena dengan kehidupan ekonomi masa sebelumnya yang berkekurangan. Keluarga-keluarga tahun 1970-an dan 1980-an adalah kelaurga yang harus berjuang dalam keterbatasan ekonomi pada saat negara ini sedang berusaha untuk lepas dari status negara miskin. Saat mereka berhasil melewati fase kritis itu, kemampuan ekonomi mereka menjadi lebih baik. Dalam situasi ini ada orang tua yang berpandangan bahwa kesulitan yang mereka alami tidak boleh dialami oleh anak keturunan mereka, akhirnya bersikap secara keliru dengan “memanjakan” anak sedemikian rupa. Alhasil, generasi milenial dan generasi Z yang cenderung dimanja, dapat secara kreatif menjelajah berbagai dunia pengetahuan dengan fasilitas yang disediakan orang tua mereka, tetapi rapuh secara mentalitas karena jarang menghadapi tantangan hidup yang berat.
Kita tidak menginginkan generasi harapan masa depan ini rapuh dari sisi mentalitasnya seperti ini, padahal mereka potensial untuk menjadi aktor yang mengendalikan Indonesia Emas 2045. Karena problem utamanya berasal dari rumah, maka kita harus mengevaluasi kembali orientasi pendidikan keluarga kita. Kita selama ini seperti abai terhadap peran keluarga yang sangat strategis bagi pendidikan ini; apalagi di tengah gempuran pemikiran liberal yang potensial menghancurkan ketahanan keluarga. Kita harus kembalikan lagi ketahanan keluarga kita agar menjadi tempat penempaan fondasi karakter yang kuat bagi anak-anak kita di masa yang akan datang.
Dengan demikian, tugas kita saat ini adalah bagaimana menata ulang keluarga agar menjadi tempat terbaik dan ternyaman untuk menempa fondasi pendidikan utama bagi anak, yaitu penanaman karakter, akhlakul karimah, dan pembiasan hidup beradab, baik adab kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan kepada lingkungan sekitarnya. Ini adalah tugas peradaban. Kita semua bertanggung jawab atas hal ini. Persis sebagai lembaga dakwah akan turut berjuang membangun dan mempersiapkan keluarga-keluarga Persis menjadi pejuang-pejuang peradaban mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih gemilang. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwab
BACA JUGA: Iman Pangkal Kekuasaan