Kritik Manhaj Radikalisme Dalam Memahami al-Quran dan al-Sunnah

oleh Redaksi

12 April 2025 | 12:56

Oleh : Husna Hisaba Kholid

Kritik Manhaj Radikalisme Dalam Memahami al-Quran dan al-Sunnah

Oleh : Husna Hisaba Kholid

(Peserta Daurah Manhaj Fatwa Bidgar Tarbiyyah Persatuan Islam Angkatan Pertama)



Daurah fatwa dan bahasa arab yang berlangsung selama satu bulan di Darul Ifta setidaknya telah memberikan informasi keilmuan yang cukup penting dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunnah. Asatidz Persatuan Islam dalam daurah ini mendapat kesempatan berharga untuk berdialog dan bertukar informasi keilmuan tentang manhaj fatwa, adab-adabnya, metode penulisan fatwa, serta pembahasan fiqih ikhtilaf dengan para ulama di Darul Ifta Mesir yang mayoritas merupakan ulama-ulama dari al-Azhar. Bahkan Mufti agung Prof. Dr. Syauqi 'Alam sendiri berkesempatan memberikan kuliah umum tentang manhaj fatwa Darul Ifta Mesir kepada para peserta. Dalam pertemuan inilah, asatidz Persis selain mendengarkan kuliah secara langsung dengannya, mereka mendapatkan pula beberapa buku karya beliau yang diterbitkan oleh Darul Ifta Mesir. 


Diantara buku yang penting untuk dikaji menurut hemat penulis adalah buku al-Rad 'Ala Syubuhat al-Mutatharrifin fi al-Istidlal bi al-Qur'an wa al-Sunnah (Bantahan atas Syubhat-Syubhat Kaum Radikalis dalam Ber-istidlal terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah). Dalam karyanya ini ia menjelaskan kekeliruan kaum radikalis dalam berinteraksi dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. Ayat-ayat yang sering digunakan sebagai pijakan dalil gerakan kaum Ekstrmis ini pun dikaji secara mendalam untuk menjelaskan kekeliruan tafsir-tafsir mereka terhadap ayat itu. Dengan penguasaan turats yang mendalam, Syaikh Syauqi 'Alam memaparkan berbagai kekeliruan mereka dalam kitabnya itu. Seratus lima puluh kitab turats kurang lebih menjadi rujukannya dalam membantah pemahaman kaum radikalis tersebut. 


Buku ini terbagi menjadi tiga pembahasan. Pertama, Pembahasan tentang kekeliruan Manhaj yang mereka gunakan dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedua, Pembahasan ayat-ayat pilihan yang sering digunakan kaum radikalis serta bantahannya terhadap penafsiran mereka. Terakhir, pembahasan tentang hadis-hadis nabawiah serta penjelasan dan bantahannya terhadap penafsiran mereka. 


Terdapat beberapa manhaj istidlal yang keliru menurut Syaikh Syauqi 'Alam yang sering digunakan kaum Radikalis. Pertama, bersandar pada satu nash dalam suatu masalah tanpa memperhatikan nash-nash yang lain. Ayat al-Qur'an tentunya tidak bisa dipahami secara parsial. Seluruhnya memiliki kaitan satu sama lain. Sebagai contoh, ayat tentang khamar. 


یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقۡرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمۡ سُكَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعۡلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ


Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan. (Q.S an-Nisa : 43). 


Jika, ayat ini tidak dipahami dengan ayat lainnya, maka seolah-olah al-Qur'an membolehkan seseorang mabuk selama berada di luar aktifitas shalat. Tentunya pemahaman seperti ini merupakan kesalahan yang fatal. Padahal surat al-Maidah ayat 90 ayat jelas mengharamkannya. Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (Q.S al-Maidah : 90). Oleh karena itu, semenjak turunnya ayat tersebut ayat empat puluh tiga dalam surat an-Nisa telah dinasakh oleh ayat tersebut. 


Kedua, membatasi pemahaman teks pada zhahir nash wahyu. Ayat-ayat al-Qur'an tidak mungkin dipahami kecuali dengan pemahaman bahasa arab yang benar. Sedangkan bahasa arab itu sendiri memiliki kaiadah-kaidah dan dilalah-dilalah (makna) tersendiri dalam pengunaannya. Sebagai contoh, istilah ليس منا dalam beberapa hadis misalnya, itu menunjukan makna الزجر (peringatan) dan التنفير عن المعصية (mendorong agar menjauhi kemaksiatan). Namun, sayangnya kalimat tersebut seringkali dipahami oleh kaum radikalis sebagai makna kekufuran hakiki. 


Dalam konteksnya di Indonesia, memahami nash al-Qur’an secara zhahir ini seperti yang digunakan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII) KW IX. Al-Qur’an ditafsirkan secara akal semata (Tafsir bi al-ra’yi). Bahkan ayat-ayat al-Qur’an digunakan hanya dalam prespektif politik semata. Kesimpulannya pun sangat pragmatis yang hanya bertujuan menjustifikasi kebijakan-kebijakan dan gerakan keolompoknya saja. Bahkan shalat dianggap tidak wajib. Karena bagi mereka kewajiban shalat sebenarnya adalah aqim ad-dan (menegakan negara Islam). Seperti itulah jika al-Qur’an itu dipahami tidak dengan kaidah-kaidah yang telah dijelaskan oleh para ulama. ( Baca, Zaenal Ausop, Gerakan NII KW IX. Hal. 538)


Ketiga, tidak membedakan antara yang permanen (الثابت) dan yang berubah (المتغير) dalam hukum-hukum syari'at. Bagian ini diantara bahasan yang penting untuk dipahami dalam memahami nash-nash al-Qur'an dan Hadis. Dalam Hukum syari'at terdapat bagian yang memang tidak bisa berubah (Permanen). Rukun Iman misalnya, ia merupakan perkara yang tsabit tidak akan berubah dalam syari'at. Az-Zarkasyi berkata dalam hal ini, 


فالأحكام الشرعية نوعان : نوع ثابت بالخطاب لا يتغير كالوجوب والحرمة، فالتغير في هذا النوع من الأحكام لا يكون إلا بالنسخ، ونسخ الأحكام لا يكون إلا من الله . ونوع معلق على الأسباب، وهي الأحكام التي ثبتت شرعًا معلقة على أسبابها فهذا النوع من الأحكام يتغير بتغير الأسباب، فالحكم يدور مع وجودًا وعدمًا، فيتغير بتغير العلة 


Hukum-hukum syari'at itu ada dua macam. Pertama, yang tetap dan tidak akan berubah seperti hal-hal yang wajib dan haram. Maka perubahan dalam macam ini hanya bisa terjadi dengan nasakh. Sedangkan nasakh tidak akan terjadi kecuali bersumber dari Allah. Kedua macam yang terikat dengan sebab.macam ini adalah hukum-hukum yang tetap secara syari'at namun terikat dengan sebab-sebabnya. Maka macam ini akan berubah dengan perubahan sebab. Dengan demikian hukum itu terikat dengan 'ilatnya baik atas kewujudannya atau ketiadaannya dan akan berubah karena perubahan 'ilat.


Keempat, Keliru menempatkan khitab wahyu. Ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi turun kepada khitab yang berbeda-beda. Terkadang kepada keseluruhan manusia, kepada beberapa kelompok saja, kepada hakim semata, atau terkadang hanya diharapkan perbuatannya saja pada sebagian umat seperti shalat jenazah. Kekeliruan kaum radikalis dalam hal ini adalah menempatkan khitab-khitab ini dengan tidak tepat. Sebagai contoh, seringkali ayat-ayat yang konteksnya diturunkan untuk orang-orang musyrik yang memerangi kaum muslimin, kemudian diberlakukan pula terhadap orang-orang yang beriman. Tepat kiranya, Ibnu ‘Umar dalam hal ini pernah mengatakan, 


إِنَّهُمْ انْطَلَقُوْا إِلَى أَيَاتٍ نَزَلَتْ فِيْ الكُفَّارِ فَجَعَلُوْهاَ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ 


Mereka berangkat dari ayat-ayat yang turun untuk orang-orang kafir kemudian mereka menjadikannya untuk orang-orang yang beriman” (H.R al-Bukhari).


Gerakan terorisme misalnya seringkali terjebak dalam pemahaman ayat-ayat perang. Mereka menempatkan khitab-khitab ayat perang tersebut kepada siapapun yang menyelisihi gerakan mereka. Akhirnya, orang-orang muslim sekalipun menjadi objek sasaran mereka. Mereka berdalil misalnya dengan beberapa ayat berikut. 


كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ


Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Q.S al-Baqarah : 216) 


وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّه لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ


Perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (penganiayaan atau syirik) dan agama seutuhnya hanya bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekufuran), sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Q.S al-Anfal : 39)


Ayat-ayat tersebut kemudian digeneralisasi untuk memerangi siapapun yang menyelisihi gerakan mereka. Padahal konteks ayat itu semua diperuntukan untuk orang-orang musyrik yang memerangi Rasulullah saw. dimasa kenabian. Dalam ayat lain misalnya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa orang-orang kafir yang diperangi itu adalah kelompok tertentu (sinfun mu’ayyan), bukan kelompok secara luas. Kelompok yang diperangi itu adalah orang-rang yang menentang secara keras Rasulullah saw, menyakiti para sahabatnya, mengusir mereka dari negeri-negeri mereka. Merekalah orang-orang yang wajib diperangi (ahlu al-harbi)


وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ


Bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir” (Q.S al-Baqarah : 191)


Para ulamapun sudah banyak menjelaskan tentang hukum-hukumnya dan rambu-rambunya dalam jihad fi sabilillah. Sayangnya kaidah-kaidah pra ulama ini seringkali diabaikan. Dengan demikian memerangi kaum muslimin dengan dalih nama agama adalah sebuah kekeliruan bahkan al-Qur’an menyebutnya sebagai dosa yang teramat besar. 


وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا


Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah (neraka) Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang sangat besar.” (Q.S an-Nisa : 93)


Kelima, pemahaman Ilmu alat (‘ilm al-wasail) yang minim. Kaum Radikalis ini keliru dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah disebabkan pula karena minimnya pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu alat dalam lingkup ilmu syari’at. Ilmu ushul fiqih, Qawa’id fiqhiyyah, Tarikh Tasyri’ dan ilmu lainnya yang menunjang dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Hadis. Ketidakahlian dalam ilmu-ilmu ini sangat memungkinkan seseorang salah dalam menyimpulkan hukum-hukum di dalam syari’at islam. 


Keenam, Bodoh terhadap maqashid syari’ah. Syari’at islam menurutnya bukanlah semata-mata hukum. Namun, keberadaaannya itu adalah bertujuan dalam menjaga jiwa (hifdz al-nafs), akal, (hifdz al-‘aql), agama (hifdz al-din), kehormatan, (hifdz al-‘ard) dan harta (hifdz al-mal) keseluruhan umat manusia. Dengan demikian, nash-nash al-Qur’an dan hadis mestinya dipahami dengan benar sejalan dengan maqasid syari’ah tersebut. Akhirnya, syariah yang diimplementasikan itu akan selalu berkesesuaian dengan perkembangan zaman di masa sekarang dan yang akan datang. 


Berdasarkan penjelasan kekeliruan manhaj kaum radikalis tersebut dapat dipahami bahwa kekeliruan fatal mereka disebabkan memutus keilmuan islam dengan khazanah keilmuan para ulama. Memahami secara parsialistik nash-nash syar’i, mengabaikan aspek-aspek tsawabit dan mutaghayyirat, hingga meninggalkan aspek-aspek maqasid syari’ah, semua ini berasaskan pada problem keilmuan yang tidak dikuasai secara holistik. Syubhat-syubhat inilah yang mesti diwaspadai oleh siapapun dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Tepat kiranya jika al-Qur’an sudah mewanti-wanti kepada umat islam agar berpegang teguh kepada para ulama dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. 


فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ


Bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (Q.S al-Nahl : 43). 

BACA JUGA:

37 Santri Pesantren PERSIS Siap Ikuti Daurah Bahasa Arab di Mesir 2025

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon