MERESAPI MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM PANDANGAN HIDUP ISLAM
Cep Gilang Fikri Ash-Shufi, S.Hum., M.Ag.
(Pengajar di PPI 42 Tanjungsari dan PPI 67 Benda)
Sudah tidak diragukan lagi, kebahagiaan merupakan keadaan yang diinginkan setiap orang agar senantiasa dirasakan atau ada dalam kehidupan mereka. Keinginan tersebut merupakan fitrah yang tertanam dalam jiwa setiap manusia. Manusia telah memiliki dorongan dasar untuk berbahagia. Dorongan tersebut dapat mengarah kepada kebahagiaan yang baik atau hakiki, juga dapat pula mengarah kepada kebahagiaan semu atau menipu.
Dengan nafsu hayawaniyah manusia yang tidak dibimbing oleh nafsu natiqahnya (sifat takwa), dorongan dari diri manusia akan mengarahkan kebahagiaan kepada hal-hal materi semata. Orang-orang yang jiwa hayawaniyahnya mengungguli jiwa aqliyahnya (jiwa yang yang baik) akan memahami kebahagiaan semata-mata ketika merasakan kenikmatan jasadiyah; baik dari makanan, minuman, uang, pasangan, kendaraan, peternakan dan pertanian. Dalam kebahagiaan materialisme, dimensi spiritual sebagai indikator kebahagiaan dinafikan. Kebahagiaan materialisme menjadikan satu-satunya nilai atau tujuan tertinggi terletak pada kesejahteraan dan kemajuan kemajuan material.
Akibatnya, tidak sedikit permasalahan kemanusiaan terjadi akibat keliru dalam memahami dan menghidupi kebahagiaan. Permasalahan-permasalahan seperti stress, bunuh diri, tindakan kriminalitas seperti; pencurian, pembunuhan, perkosaan, dan tindakan-tindakan asusila lainnya adalah akibat dari jiwa yang ditanamkan makna kebahagiaan materi semata. Sonja Lyubomirsky, professor amerika terkemuka di bidang psikologi dan kebahagiaan, menjelaskan bahwa kecenderungan materialistis dapat merusak kebahagiaan dan hubungan sosial. Beliau menjelaskan konsekuensi negatif kecenderungan materialisme dalam bukunya “The Myths of Happiness”,
“Segudang penelitian telah menunjukkan bahwa materialisme justru menguras kebahagiaan, menghilangkan kepuasan diri, merusak lingkungan, membuat kita kurang ramah, kurang disukai, dan kurang berempati, dan membuat kita cenderung tidak membantu orang lain dan berkontribusi pada lingkungan.”
Kebahagiaan materi akan berhenti pada sisi materi manusia, yaitu tubuhnya. Tubuh manusia memerlukan pemenuhan-pemenuhan materi seperti makan, minum, berhubungan seksual, mendengarkan suara-suara dan pemandangan-pemandangan yang indah, dan kenikmatan jasadiyah lainnya. Namun, manusia tidak hanya memerlukan kenikmatan jasadiyah semata, karena manusia juga memiliki sisi ruhaniyah/spiritual yang mesti dipenuhi keperluannya. Karenanya, kebahagiaan materi semata tidak cukup, bahkan akan mengurangi kebahagiaan itu sendiri sebab mancari kebahagiaan materi semata akan menutup kebahagiaan spiritual/ruhiyah yang merupakan kebahagiaan hakiki.
Makna Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam pandangan hidup Islam adalah ketenangan atau ketentraman jiwa yang dihasilkan dari keteguhan iman dan amal shaleh. Dalam al-Qur’an, orang-orang yang mendapat kebahagiaan diistilahkan dengan berbagai nama seperti thatma’innul qulūb (tenangnya hati), ḥayātan thayyibah (kehidupan yang baik), nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang), lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn (tidak ada rasa takut dan sedih), al-fauz (beruntung), sa’adah (Bahagia), al-Farh (gembira) dan lain-lain.
Istilah-istilah dalam al-Qur’an tersebut bermakna kebahagiaan yang mengarah pada aspek spiritual atau sisi ruhiyah manusia. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Tathmainnul qulūb (jiwa yang tenang) maknanya adalah jiwa yang menjadi baik karena bersandar kepada Allah dengan berdzikir dan mengabdi kepada-Nya. Hal ini semakna juga dengan nafs al-muthmainnah yang oleh Allah dipersilakan untuk memasuki surga-Nya. Ḥayātan thayyibah (kehidupan yang baik) dijelaskan oleh Rasulullah dalam Hadits Riwayat Ahmad adalah memiliki jiwa yang merasa cukup atas pemberian-Nya kepadanya (qona’ah) sehingga dalam kehidupannya ia menjadi baik karena tidak ada masalah baginya atas segala sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya.
Lā khaufun ‘alaihi wa lā hum yahzanūn (tidak ada rasa takut dan bersedih); tidak ada rasa takut maknanya adalah merasa tenang atau tidak ada rasa takut dari hal-hal yang belum dijumpai oleh dirinya yaitu negeri akhirat. Bagi orang yang tidak beriman, mereka dihantui dengan kecemasan-kecemasan akan masa mendatang yang menyebabkan frustasi berat. Sebab, bagi mereka, tidak ada keterangan yang bisa menjelaskan perjalanan hidup mereka setelah kehidupan yang mereka jalani. Mereka merasakan ketidakpastian dalam hidup. Sementara itu, lā yahzanūn (tidak bersedih) maknanya tidak bersedih atas musibah-musibah atau kehilangan-kehilangan yang dirasakan di dunia. Sementara Istilah-istilah lain seperti fauz, sa’adah dan al-farh, digambarkan oleh Allah bagi mereka yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan ultimate yaitu surga-Nya.
Dr. Abdurrahman bin Mu’allā al-Lawaihiq, membuat kesimpulan dari berbagai ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kebahagiaan; bahwa menurut beliau, kebahagiaan dalam Islam merupakan ketenangan jiwa, tuma`nīnah hati, kelapangan hati, yang dihasilkan dari istiqāmahnya ‘amaliyah zhāhiriyah dan bāṭiniyyah yang didorong oleh kekuatan iman. Hal ini menunjukan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah bersumber dari jiwa manusia.
Dari berbagai istilah kebahagiaan dalam al-Qur’an, para Ulama sering menyebut kebahagiaan dengan istilah al-Sa’ādah. Di antara yang menggunakan istilah tersebut adalah Imam al-Ghazāli, beliau menjelaskan bahwa kebahagiaan (al-sa’ādah) adalah ketika seseorang mengenal dirinya (ma’rifah al-Nafs). Mengenal diri yang dimaksud bukan secara lahiriyah semata, seperti mengetahui anggota badan sendiri, melainkan juga mengenal diri secara bāṭiniyyah atau rūḥiyyah. Dalam arti, mengenal siapa dirinya (makhluk Allah), dari mana datangnya, ke mana akan kembali, untuk apa diciptakan, serta mengenal jalan kebahagiaan dan jalan kesengsaraan. Al-Ghazāli mengatakan, “fa al-wājibu ‘alaika an ta’rif hādza wa ta’rif anna likulli wāḥidin min hāulā`i ghadzā`an wa sa’ādatan” (maka wajib bagimu mengetahui hal ini/ma’rifah al-Nafs dan dari setiap pengetahuan tentang jiwa akan melahirkan kenikmatan dan kebahagiaan). Al-Ghazali mengaitkan kebahagiaan dengan aspek ruhiyah/bathiniyah manusia.
Selain al-Ghazāli, sebelumnya, al-Muḥāsibi juga memberikan penjelasan mengenai al-Sa’adah. Menurut beliau, kebahagiaan seorang hamba adalah ketika ia berniat baik kepada Allah (ikhlas) dalam meninggalkan dan mengerjakan sesuatu. Kebahagiaan yang diberikan Allah kepada seorang hamba tersebut berbentuk taufīq (bimbingan ke jalan yang disukai-Nya) dan kebaikan (khair). Ia akan dicintakan kepada ilmu, dikaruniai hati yang takut kepada Allah (isyfāq), akan selalu dibersamai oleh Allah, dikayakan hatinya dengan qanā’ah dan akan diperlihatkan kepada dirinya kecacatannya. Jika dilihat, kebahagiaan dalam pandangan al-Muḥāsibi tidak berbeda dengan definisi sebelumnya, yaitu ketenangan jiwa yang dihasilkan dari keta’atan yang ikhlas kepada Allah subhānahū wata’ālā.
Dari pandangan-pandangan tentang definisi kebahagiaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan hakiki dalam Islam bersifat batiniyah, atau ketenangan jiwa, meskipun Islam tidak menafikan kebahagiaan jasadiyah.
Cakupan Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam Islam memiliki cakupan yang menyeluruh; baik itu jasamani dan rohani serta dunia dan akhirat. Kebahagiaan mesti dirasakan oleh elemen manusia secara utuh (jasmani dan rohani). Islam tidak menafikan kenikmatan-kenikmatan jasadiyah. Allah berfirman,
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin” (Q.S. Luqman: 20)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memberikan kenikmatan untuk jasad dan sekaligus ruh manusia. Kenikmatan jasadiyah adalah kenikmatan yang bisa dirasakan oleh anggota tubuh lahiriyah, sementara kenikmatan ruhaniyah adalah kenikmatan yang dirasakan oleh dimensi metafisik dari manusia (ruh); seperti sabar, syukur, qona’ah, mahabbah, tumaninah, dan lain sebagainya. Hal itu merupakan kondisi-kondisi jiwa yang berbahagia.
Prof. Al-Attas menjelaskan cakupan kebahagiaan dalam tiga hal; Pertama, kebahagiaan diri (nafs), yaitu dengan memiliki pengetahuan, karakter yang baik, dan hal-hal bathiniyah. Kedua, kebahagiaan tubuh (badaniyyah), seperti kesehatan dan keamanan. Ketiga, hal-hal yang bersifat eksternal (khārijiyyah), seperti memiliki kekayaan dan lingkungan yang mendukung. Dari sini, Al-Attas menjelaskan kebahagiaan dalam Islam bersifat komprehensif, baik dapat dirasakan oleh jasmani maupun rohani.
Dari cakupan kebahagiaan tersebut, dimensi ruhiyah adalah titik pemberangkatan bagi kebahagiaan sebelum dimensi jasadiyah. Seseorang yang merasakan kenikmatan makan dan minum bukan saja ketika ia lapar dan haus, melainkan yang lebih mendasar adalah ketika jiwanya tenang. Ia tidak merasakan kekecewaan yang berat, frustasi, stress, dan gangguan-gangguan jiwa lainnya. Kondisi jiwa yang bersyukur atau bersabar dalam menghadapi kehidupan akan menjadikan rizki terasa nikmat. Seperti sabda Rasul bahwa jika hati telah bersih atau sehat dari berbagai penyakitnya, maka seluruh jasadnya akan bersih dan beres dari aktivitas-aktivitas yang kotor. Hati atau qolbun dalam hadits tersebut merupakan dimensi ruhiyah manusia.
Aspek ruhiyah manusia adalah obat bagi kepedihan-kepedihan yang dirasakan lahiriyahnya manusia. Ketika seseorang diuji dengan kepedihan; baik itu kehilangan harta, keluarga, dan jabatan maka tiada lain untuk menjadikannya tetap sabar dan tenang adalah dengan menjaga keimanan tetap berada dalam jiwanya. Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa kebahagiaan jasadiyah adalah kebahagiaan yang rendah sebab lahiriyah manusia masih berkaitan dengan kepedihan dan rasa sakit lahiriyah.
Sementara kebahagiaan ruhiyah adalah kebahagiaan yang tinggi, bahkan yang paling tinggi menurut beliau adalah Ketika kebahagiaan ruhiyah ini sudah terputus dari dunia yang dapat diindra oleh manusia sehingga ia tidak akan terkena berbagai peristiwa yang menyedihkan atau menyakitkan. Jiwanya telah disibukan dengan alam ruh, yang beliau namakan dengan kerinduan kepada Tuhan (al-‘isyqu al-ilahiy). Hal ini menunjukan bahwa selama keimanan tetap berada dalam jiwa manusia, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, baik Ketika ia mengalami peristiwa yang buruk ataupun yang baik. Semakin besar keimanan yang tertanam dalam jiwa seseorang maka kepedihan-kepedihan dari dunia indrawi tidak menjadi masalah baginya.
Sifat kebahagiaan yang komprehensif selain mencakup jasmani dan rohani, juga mencakup dunia dan akhirat. Hal itu berarti kebahagiaan bersifat terus menerus ada dalam kehidupan manusia sepanjang ia hidup di dunia hingga masuk ke alam akhirat. Kebahagiaan tidaklah dirasakan hanya ketika merasa senang, melainkan selalu menetap dalam jiwa pada keadaan apapun. Kebahagiaan di dunia dicapai dengan keimanan. Dengan keimanan, seseorang akan diantarkan kepada jalan kebahagiaan yang kekal ini. Allah tidak menjanjikan kebahagiaan bagi orang Muslim di surga-Nya saja, melainkan sejak hamba-Nya berada di dunia. Tidak berarti berbagai perintah dari Allah mempersekusi kebebasan hamba-Nya, dan tidak pula berbagai larangan-Nya memenjarakan hamba-Nya. Hakikatnya, semua itu merupakan bentuk kasih sayang Allah bagi hamba-Nya.
Kebahagiaan tidak bergantung kepada Nasib
Dalam pandangan hidup Barat sekuler, Kebahagiaan disandarkan kepada nasib. Istilah ‘luck’ atau ‘fortune’ adalah keberuntungan yang dijadikan standar kebahagiaan bagi mereka. Seseorang yang berbahagia hanyalah orang yang bernasib baik. Sedangkan kehidupan seseorang adakalanya bernasib baik dan adakalanya buruk. Akibatnya kebahagiaan bersifat temporal. Kebahagiaan dan penderitaan berganti-ganti dan tidak pernah menetap selama hidupnya.
Hakikat kehidupan yang tidak dapat dipahami oleh mereka menjadikan tragedi sebagai satu-satunya jalan kebahagiaan. Tragedi yang pada awalnya merupakan genre dalam pertunjukan seni orang-orang yunani kemudian merambah menjadi kepercayaan hidup mereka. Prof. Al-Attas, dalam bukunya Risalah Untuk Kaum Muslimin, menjelaskan bahwa Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir. Hal itu karena kehidupan dunia tidak memberikan kebahagiaan yang menetap dalam jiwa mereka.
Karenanya, kehidupan dunia bukanlah tujuan final, melainkan ujian. Hakikat kehidupan ini mesti dipahami agar kebahagiaan tidak disandarkan pada nasib. Rasulullah mengajarkan kita agar beriman pada nasib baik dan buruk adalah ketentuan Allah yang mesti diterima sebagai bentuk ujian (an tu’min bil qodari khayrihi wa syarrihi). Kebahagiaan dari hal ini adalah sikap seseorang terhadap nasib. Syukur akan memberikan kebahagiaan jika mendapatkan bagian hidup yang baik, dan sabar akan memberikan kebahagiaan dalam keadaan bernasib buruk. Dengan demikian, seorang muslim dapat merasakan kebahagiaan yang hakiki. Ia senantiasa menetap dalam jiwanya ketika hidup di dunia, dan di akhirat mendapatkan Rahmat Allah subhanahu wata’ala.
Jalan Mendapatkan kebahagiaan
Kebahagiaan yang hakiki, yang terus menerus dirasakan oleh manusia, diraih dengan beriman dan beramal shaleh. Beriman berarti memiliki kepercayaan di dalam hati akan perkara-perkara yang mesti diimani. Hal-hal yang mesti diimani adalah Allah sebagai Tuhan semesta alam, Malaikat, rasuk-rasul, Kitab-kitab, hari akhir, dan takdir-Nya.
Mengakui Allah sebagai Tuhan semesta Alam adalah hal yang paling pertama. Seorang hamba diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya, termasuk dari pengabdian tersebut akan melahirkan kebahagiaan yang hakiki. Tuhan adalah dzat yang mewujudkan segala sesuatu. Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dia maha Pengasih dan maha Penyayang. Allah telah menggariskan jalan pengabdian kepada-Nya untuk kemaslahatan dan kebahagiaan hama-hamba-Nya. Mengimani Allah adalah dengan mengimani segala hal yang Ia perintahkan dan dan menjauhi yang Ia larang. Keimanan kepada-Nya akan berpengaruh kepada keimanan kepada segala aturan Ia gariskan. Semakin kuat dalam mengenali dan mengakui sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala, maka akan semakin kuat dalam pelaksanaan aturannya, dan semakin menetap pula kebahagiaan dalam hidupnya.
Keimanan yang sesungguhnya tidak akan terwujud kecuali ia berbuah menjadi amal. Amal shaleh adalah amal baik yang dilakukan sesuai dengan tuntutan syari’at. Dengan ‘amal shaleh, Allah akan menurunkan rahmat dan maghfirah-Nya, sehingga seorang hamba yang tidak pantas membeli surga dengan seributahun ibadahpun, ia akan mendapatkannya. Ber’amal shaleh adalah menjalankan kewajiban agama itu sendiri. Baik berupa shalat, zakat, shaum, ataupun haji. Selain itu, beramal shaleh juga melaksanakan amalan-amalan sunnah; seperti shaum sunnah, shalat sunnah, shadaqah sunnah, berbuat baik kepada sesama manusia, dan lain-lain.
Segala hal tersebut pada hakikatnya terkandung pada pelaksanaan agama atau ber-Dīn. Beragama dengan benar pada hakikatnya memberikan kebahagiaan secara hakiki. Agama yang dimaksud bukan seperti istilah religion yang dipahami orang-orang sekuler dan liberal. Religion sudah terkategori sebagai unsur dari budaya, sehingga aturan-aturan dalam beragama adalah hasil pemikiran dan keinginan manusia (humanisme). Tidak pula agama dalam hal ini seperti yang dipahami dalam Bahasa sansakerta agama; a berarti tidak dan gama berarti kacau (agama; tidak kacau).
Melainkan, beragama adalah melaksanakan Dīn, atau agama yang diwahyukan. Agama yang diwahyukan adalah agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Ia adalah agama yang mentauhidkan (meng-esa-kan) Allah, dan diberi nama Islam manakala dirisalahkan kepada Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wasallam. Hakikat dari menjalankan agama adalah melaksanakan kehendak Allah subhānahu wata’ālā. Kehendak tersebut Dia titipkan kepada para Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad membawa Risalah Ilahiyah yang diajarkan kepada manusia. Allah menjadikan Diri-Nya dan Rasul-Nya sebagai landasan/sumber hukum bagi segala sesuatu.
Karena beragama adalah melaksanakan kehendak Allah dan Ia titipkan kehendak itu kepada Nabi Muhammad maka kita mesti mengikuti beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah satu-satunya jalan dan penuntun dalam beragama. Titah-titah-Nya disampaikan kepadanya, sekaligus pelaksanaan ritual ibadah dicontohkan oleh beliau shallallāhu ‘alaihi wasallam. Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad tiada lain merupakan wahyu Allah, baik secara taufiqi atau tauqifi. Allah sendiri memerintahkan dalam banyak ayat di al-Qur’an untuk menta’ati-Nya dan Rasul-Nya. Menta’ati Allah adalah dengan mengamalkan al-Qur’an dan mena’ati Rasul adalah dengan mengamalkan Haditsnya. Namun, baik al-Qur’an maupun al-Hadits, keduanya dibawa dan disampaikan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Beragama (dīn al-Islām) adalah jalan kebahagiaan bagi manusia. Manusia diberi tugas oleh Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya, sementara manusia menginginkan kebahagiaan. Artinya, menginginkan kebahagiaan adalah dengan khusyuk menjalankan agama. Bahkan, saking beribadah kepada-Nya menjadi inti dari penciptaan manusia, kebahagiaan terkadang tidak perlu dibicarakan lagi. Hamba yang ta’at kepada-Nya sudah secara otomatis diberikan kebahagiaan yang tersambung dari dunia hingga ke negeri akhirat.
Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Air Demineral TGM99, dari Mata Air Kebaikan Mengalirkan Kebahagiaan