Menelisik Makna Slogan Gerakan "Ilmiah, Responsif, Visioner" HIMI Persis

oleh Henri Lukmanul Hakim

20 September 2025 | 16:03

Menelisik Makna Slogan Gerakan "Ilmiah, Responsif, Visioner" HIMI Persis

Menelisik Makna Slogan Gerakan "Ilmiah, Responsif, Visioner" HIMI Persis

Penulis: Siti Resa Mutoharoh (Ketua PW HIMI Persis Jawa Barat)


Slogan pada hakikatnya adalah kompas gerakan. Ia tidak lahir hanya untuk menambah estetika bahasa atau mempercantik spanduk acara, melainkan untuk meneguhkan arah dan menyalakan api semangat kolektif. Di dalamnya terkandung identitas, visi, sekaligus energi yang mendorong organisasi untuk tetap bergerak. Dari sloganlah juga kita dapat membaca denyut nadi gerakan, apakah ia sekadar berjalan mengikuti arus, atau benar-benar mengukir jejak dalam sejarah pergerakan.


Demikian pula Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam (HIMI Persis), yang telah meneguhkan “Ilmiah, Responsif, Visioner” sebagai slogan gerakan organisasinya. Slogan ini lahir bukan tanpa proses. Dari catatan buku Nalar HIMI Persis (Napak Tilas HIMI Persis since 1996), slogan ini mulai dicetuskan pada periode kepemimpinan Lida Maulida, Ketua Umum HIMI Persis ke-8 (2016–2019).


Jika kita menelusuri lebih dalam, slogan ini sejatinya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan fondasi gerakan yang dirancang untuk menyiapkan kader-kadernya (sebutan untuk anggota HIMI Persis) agar bisa berpikir jernih, peka terhadap realitas, dan berani bermimpi jauh ke depan. Maka, memahami slogan ini sama artinya dengan membaca peta perjalanan HIMI Persis mulai dari dataran ideologis hingga praksis, dari ruang diskusi hingga gelanggang peradaban. Untuk itu, mari kader-kader HIMI Persis, pahami makna slogan ini bersama-sama.


Ilmiah


Ilmiah menjadi pondasi pertama yang menandai orientasi intelektual gerakan HIMI Persis. Sederhananya, istilah ini memang merujuk pada segala sesuatu yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Memahami diksi Ilmiah dalam konteks gerakan HIMI Persis berarti menempatkan ilmu pengetahuan bukan sekadar sebagai bahan bacaan, akan tetapi sebagai landasan utama dalam setiap langkah dan proses berpikir kadernya. Lebih dari itu, ilmiah di sini mencerminkan sebuah komitmen epistemologis yang mengedepankan metode kritis dan rasional, berakar pada tradisi Islam sekaligus terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern. Artinya, kader HIMI Persis tidak hanya berhenti pada perasaan atau pendapat instan, melainkan selalu memakai nalar yang terstruktur dan dialektis dalam menghadapi setiap persoalan.


Seperti diketahui bersama, bahwa tradisi Islam sendiri telah lama menegaskan posisi sentral ilmu dalam setiap gerakan. Semisal Imam al-Bukhari, membuka kitab al-‘Ilm dengan bab “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan,”. Begitu pula Imam al-Ghazali yang menempatkan kitab al-‘Ilm sebagai pembahasan pertama dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin, dan dalam Minhajul ‘Abidin menyebut ‘aqabatul-‘ilm (pendakian ilmu) sebagai langkah awal seorang penempuh jalan menuju Allah. Semua ini memberi landasan yang kokoh bagi jargon ilmiah organisasi HIMI Persis, yakni ilmu menjadi fondasi yang mendahului setiap ucapan dan tindakan kader-kadernya.


Dalam konteks gerakan kemahasiswaan, sikap ilmiah ini menemukan relevansinya melalui pendekatan dialektis. Artinya, seorang kader HIMI Persis tidak sekadar menerima suatu pendapat atau gagasan begitu saja (tesis), tetapi berani mempertanyakannya, menguji argumen (antitesis), kemudian bersama-sama mencari jawaban atau pemahaman baru yang lebih utuh (sintesis). 


Metode yang digunakan oleh Socrates dan dikembangkan oleh Immanuel Kant ini adalah cara berpikir dan berdiskusi agar tidak langsung menerima sesuatu begitu saja. Melalui tanya-jawab dan diskusi kritis, para kader HIMI Persis dilatih supaya tetap menjaga kajian atau pembahasan intelektual agar tidak melenceng atau salah paham terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari. Selain itu, metode ini juga membantu para Kader menjadi pribadi yang selalu terbuka dengan ide baru dan terus berusaha mencari kebenaran, meskipun harus melalui proses yang panjang dan terkadang sulit.


Lebih jauh, pendekatan dialektis ini sangat strategis di tengah dunia kampus yang plural dan dinamis. Sebab bisa membantu kader HIMI Persis menemukan solusi yang inklusif, adaptif, dan relevan dengan zaman, tanpa kehilangan akar keislamannya. Oleh karena itu, membangun karakter ilmiah bukan hanya digaungkan semata dalam pergerakan, melainkan kerja intelektual yang harus menjadi nadi pergerakan dan mesti terus dibudayakan sejak menempuh proses KABAH (Kaderisasi Anggota Baru HIMI Persis).


Responsif

Jika ilmiah adalah fondasi kognitif yang meneguhkan cara berpikir kader, maka responsif adalah wujud praksis yang menggerakkan langkah. Memang biasanya diksi ini sering kali disalahpahami sebagai sinonim dari “reaktif”, padahal keduanya berbeda. 


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reaktif adalah sikap yang segera atau cepat bereaksi terhadap sesuatu yang muncul atau terjadi. Anthony Giddens menyebut reaktif sebagai perilaku impulsif yang cenderung tidak mengontrol responnya terhadap situasi. Artinya, reaktif cenderung spontan, emosional, dan serba tergesa tanpa pertimbangan matang. 


Sementara menurut KBBI, responsif adalah cepat merespons, bersifat menanggapi, cepat tanggap, tergugah hati, atau bersifat memberi tanggapan (tidak masa bodoh). Dilansir dari Narasi Gerakan HIMI Persis, sikap responsif adalah kesadaran akan tugas yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kepekaan yang tajam dalam menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dan memahami makna tanggungjawab adalah ciri utama kepribadiannya. Dalam beberapa literatur disebutkan bawa responsif justru lahir dari kesadaran penuh, kepekaan sosial, dan keberanian mengambil tindakan yang terukur. Di sinilah responsif bermakna sebagai etos gerakan cepat membaca tanda zaman, peka terhadap realitas, dan sigap menghadirkan solusi yang relevan.


Seorang kader yang responsif bukan hanya pandai mengeluh atas masalah yang ada, melainkan berinisiatif mencari jalan keluarnya. Ambil contoh isu-isu yang dekat dengan realitas perempuan seperti kekerasan berbasis gender, ketidakadilan ekonomi, atau diskriminasi di ruang publik. Gerakan yang responsif tidak berhenti pada kutukan moral, tetapi mengkaji akar masalah secara ilmiah, lalu menyusun agenda gerakan yang nyata dan solutif.


Lebih jauh, konsep ini selaras dengan etika sosial Islam yang menempatkan fardhu kifayah sebagai tanggung jawab kolektif. Semangat inilah yang menggerakkan kader HIMI Persis untuk menjadi pelopor perubahan, penggerak peradaban (direct of civilization) yang tanggap dan sigap melihat peluang kebaikan melalui organisasi. Gerakan yang responsif berarti gerakan yang hidup dan dinamis, tidak terjebak dalam rutinitas internal semata, melainkan harus berdenyut bersama denyut umat, memberi kontribusi yang nyata, dan menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan umat.


Dalam lingkup kekaderan, responsif berarti kesiapan kader untuk merespons dengan cepat, tepat, dan positif setiap arahan kebijakan dari qiyadah organisasi. Semangat keterlibatan aktif dan rasa tanggung jawab inilah yang memperkuat pertumbuhan HIMI Persis. Begitu juga dalam lingkup kejam’iyyahan, responsif berarti hadirna kepatuhan dan loyalitas kader untuk hadir di medan yang diperlukan oleh Persis sebagai induk jam’iyyah


Visioner

Terakhir, Visioner adalah puncak dari dua elemen sebelumnya. Jika “Ilmiah” adalah fondasi dan “Responsif” adalah mesin, maka “Visioner” adalah kompas yang menentukan arah ke mana gerakan ini hendak di bawa. Sikap visioner ini tidak hanya tentang bermimpi besar, tetapi juga tentang kemampuan untuk mengonseptualisasi dan merealisasikan masa depan yang diinginkan.


Dalam konteks gerakan mahasiswa, visioner berarti kemampuan dalam merumuskan gerakan yang tidak hanya relevan untuk saat ini, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang dan berkelanjutan. Dalam teori psikologi, ini bisa dihubungkan dengan goal-setting theory (dikemukakan oleh Edwin A. Locke pada tahun 1968 dan dikembangkan bersama Gary Latham), di mana tujuan yang spesifik, menantang, dan terukur akan mendorong kinerja yang lebih baik. Namun, Visioner di sini melampaui sekadar penetapan target saja, tapi kemampuan untuk melihat gambaran besar dan menghubungkan setiap tindakan kecil dengan tujuan akhir yang mulia sesuai yang dicita-citakan organisasi.


Buku Narasi Gerakan HIMI Persis mencatat bahwa seorang kader visioner setidaknya memiliki sepuluh indikator utama yakni mencakup kemampuan untuk membayangkan tujuan yang jelas dan terukur (visualizing), berpikir jauh ke depan melampaui kondisi saat ini (futuristic thinking), menyusun rencana dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi (foreseeing), menetapkan strategi yang spesifik sekaligus menyiapkan alternatif cadangan (proactive planning), mencari solusi kreatif dalam menghadapi tantangan (creative thinking), berani mengambil risiko secara bijak dan menjadikan kegagalan sebagai peluang (calculated risk-taking), menyelaraskan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi (strategic alignment), membangun kerja sama yang harmonis dengan berbagai pihak (collaborative engagement), terus belajar dan mengembangkan diri melalui pengkaderan serta pengetahuan baru (continuous learning), dan meyakini perubahan sebagai keniscayaan bagi pertumbuhan diri maupun organisasi (embracing change). Sepuluh butir inilah yang membentuk profil kader visioner, bukan sekadar wacana, tetapi karakter yang ditempa melalui proses panjang kekaderan.


Akhirnya, slogan gerakan HIMI Persis yakni Ilmiah, Responsif, Visioner, tidak bisa dipahami secara terpisah. Ketiganya adalah satu tarikan napas yang saling melengkapi, yakni ilmu sebagai pijakan, responsif sebagai gerak nyata, dan visioner sebagai arah jangka panjang. Slogan ini adalah janji sejarah. Janji bahwa HIMI Persis tidak hanya hadir sebagai penonton, melainkan sebagai penggerak peradaban. Janji yang dipegang teguh adalah bahwa setiap kader yang dibentuk di sini mampu tampil sebagai sosok yang unggul dalam intelektualitas, kuat menghadapi tantangan sosial, dan berani bermimpi dengan visi jauh ke depan.


Salam.. 

Ilmiah, Responsif, Visioner!






BACA JUGA:

HIMI PERSIS Didorong Gagas Konsep Advokasi Perempuan Berbasis Al-Qur’an dan As-Sunnah