Toynbee merumuskan sebuah teori kompleks mengenai kemunculan dan kejatuhan berbagai peradaban di dunia, yang kemudian dianggap sebagai salah satu pencapaian terhebat dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Ia katakan, “A society develops into a civilization when it is confronted with a challenge which it successfully meets in such a way as to lead it on to further challenges. The challenge may be a difficult climate, a new land, or a military confrontation (even being conquered). The challenge must not be so difficult as to be insurmountable or even so difficult that the society does not have sufficient human resources and energy to take on new challenges.”
Toynbee mengemukakan bahwa lahirnya suatu peradaban tidak terlepas dari adanya tantangan-tantangan tertentu yang dihadapi suatu masyarakat dan respon masyarakat tersebut terhadap tantangan-tantangan tersebut. Tantangan yang dimaksud dapat berupa perang saudara, perubahan iklim, penjajahan dan sebagainya. Apabila masyarakat berhasil mengatasi suatu tantangan tertentu, maka keberhasilan itu akan membawa masyarakat untuk berhadapan dengan tantangan yang lain. Tantangan yang berhasil diatasi melalui respon yang tepat, akan membuat pola hidup masyarakat semakin mapan dan berkembang terus menjadi sebuah peradaban.
Lalu bagaimana suatu peradaban ada yang bertahan, tapi banyak juga yang hancur? Toynbee melanjutkan teorinya: the ideas and methods for meeting the challenges for a society come from a creative minority. The ideas and methods developed by the creative minority are copied by the majority. Thus there are two essential and separate steps in meeting a challenge: the generation of ideas and the imitation/adoption of those ideas by the majority. If either of those two processes ceases to function then the civilization breaks down.
Dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, masyarakat sering kehabisan sumber daya yang kuat untuk tetap bertahan. Dalam kondisi ini masyarakat atau peradaban tersebut lambat laun akan punah, namun ada pula yang dapat bertahan. Menurut Toynbee, kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan itu dimotori oleh sekelompok kecil orang yang secara kreatif menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi-solusi baru untuk menghadapi tantangan yang ada. Ide dan solusi tersebut sangatlah tepat dan sesuai dalam menjawab tantangan yang ada, sehingga kemudian diadopsi oleh masyarakat secara keseluruhan. Sekelompok kecil orang inilah yang kemudian disebut Toynbee sebagai “The Creative Minority“.
The Creative Minority ini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki idealisme, jiwa kepemimpinan sejati, kemampuan, kemauan dan keberanian, untuk melawan arus pendapat dan perilaku umum yang kacau dan kehilangan nilai-nilai serta norma-norma hukum dan etika yang luhur. The Creative Minority ini dapat juga dimaknai sebagai kelompok pemimpin, yang merupakan golongan kecil, namun karena memiliki superioritas jiwa serta kekuatan dan keteguhan keyakinan, sanggup menunjukkan jalan dan membimbing massa yang pasif, kehilangan arah dan mengalami kebingungan.
Teori ini cukup menarik dan inspiratif bila dikaitkan dengan kepentingan kita sebagai umat Islam yang berkewajiban mempertahankan Islam dan mengejawantahkan-nya menjadi suatu karya nyata peradaban di dunia ini atau paling tidak di negeri kita ini agar misi kedatangan Islam sebagai rahmatan lil-âlamîn dapat terus terwujud dengan baik. Ada agenda besar dan terus-menerus harus dijaga vitalitasnya untuk mewujudkan ini. Berikut beberapa pemikiran berkenaan dengan masalah ini yang perlu kita realisasikan.
Sebagai bagian dari sunnatullâh akan selalu ada tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tantangan ini dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai al-balâ’ (ujian). Ujian bisa dalam bentuk apa saja, baik hal-hal yang kelihatannya menyengsarakan atau menyenangkan, seperti miskin dan kaya, dikuasai atau berkuasa, Umumnya dalam persepsi manusiawi sederhana yang dianggap tantangan adalah yang berupa kesulitan hidup. Bahkan Toynbee pun keliru memasukkan challenge hanya berupa hal-hal yang menyulitkan seperti kemiskinan, perang, bencana alam dan sebagainya. Padahal, di dalam Islam tantangan itu dalam dua bentuk di atas: yang menyulitkan dan menyenangkan. Dua-dauanya adalah tantangan dan ujian. Oleh sebab tantangan ini hal yang pasti akan dihadapi semua orang, termasuk umat Islam, maka tidak boleh ada umat Islam yang selama hidup sudah merasa selesai dengan masalah. Allah Swt. bahkan mengingatkan, Apabila kamu sudah selesai (menghadapi satu masalah), maka bersiap-siaplah (menghadapi masalah berikutnya). (QS. Al-Syarh: 7).
Menghadapi tantangan (ujian) itu butuh kesiapan mental sehingga yang paling utama adalah pengenalan terhadap masalah. Bagi Islam, seperti sudah dijelaskan di atas, tantangan itu berupa hal-hal yang menyenangkan dan menyulitkan. Pada saat muncul tantangan banyak orang yang merasa bahwa ia memang sedang menghadapi tantangan. Oleh sebab itu, banyak sudah bersiap-siap menghadapinya. Akan tetapi, banyak yang lupa bahwa saat diberi kesenangan juga sedang diberi tantangan dalam bentuk yang lain. Bahkan, ujiannya cenderung lebih berat dibandingkan dengan ujian yang berupa kesengsaraan. Oleh sebab itu, bila tidak siap mental akan muncul sikap yang sembrono dan tidak hati-hati. Akhirnya banyak yang terjerumus pada perbuatan yang pada masa sengsara sangat dibencinya. Saat sengasara, seseorang sangat benci pada orang kaya yang sombong, pelit, dan tidak suka menolong. Akan tetapi, saat ia dapat melewati masa sengsaranya dan berubah menjadi kaya, bisa saja dia menjadi sangat sombong, pelit, dan tidak suka menolong. Ini berarti ia tidak siap menghadapi ujian barunya. Walaupun dapat terus mempertahankan kekayaannya, kezhalimannya akan menyebabkan kakayaan yang dimiliki justru berbalik menjadi boomerang yang akan menghancurkan kehidupannya. Ini baru berkenaan dengan persoalan yang sifatya pribadi. Bila ditarik ke wilayah yang lebih masif dalam satu komunitas, kesiapan ini juga harus bersifat komunal. Pengenalan terhadap tantangan (ujian) yang dihadapi adalah awal mula munculnya response atas challenge yang dihadapi suatu masyarakat.
Lalu bagaimana tantangan dihadapi? Menghadapi tantangan yang paling awal adalah ilmu. Tidak ada masalah yang bisa diselesaikan tanpa pengetahuan mengenai cara menyelesaikannya. Oleh sebab itu, ilmu adalah unsur utama saat merespon tantangan-tantangan yang dihadapi. Ini juga yang ditunjukkan oleh peradaban-peradaban hebat. Semua peradaban hebat adalah peradaban yang ilmunya juga hebat. Ilmu-ilmu yang hebat menandakan keseriusan orang-orang yang berada di belakangnya di dalam menyelesaikan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Ilmu adalah syarat mutlak dalam menghadapi permasalahan.
BACA JUGA:Benarkah Isra Mi’raj Tanggal 27 Rajab?