Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam

oleh Redaksi

26 Januari 2025 | 14:14

Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum

Sayangnya dalam hal kesiapan mental untuk mengenali masalah dan usaha-usaha menggali ilmu untuk menghadapinya tidak dapat dilakukan secara massif oleh semua anggota masyarakat atau komunitas tertentu. Hampir tidak ditemukan dalam satu komunitas besar atau masyarakat yang semuanya mengambil peran dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Akan ada segelintir orang berperan sebagai penggeraknya. Penggerak inilah yang disebut sebagai fi’ah qalîlah (kelompok minor) dalam Al-Quran atau minoritas kreatif (qillah khallâqah). Bila bersifat alamiah, maka mereka adalah penggerak biasa. Bila dipersiapkan dikenal dengan istilah “kader”. Oleh sebab itu, tugas selanjutnya yang sangat penting dalam menggerakkan peradaban adalah menyiapkan minoritas kreatif ini.


Apa yang harus disiapkan untuk minoritas kreatif ini? Persiapan untuk kelompok kecil ini yang utama adalah kekuatan mental dan kekohan karakter (akhlak). Tanpa karakter dan mental yang kokoh tidak ada sense of crisis, kesadaran adanya masalah di depan mata. Pembinaan karakter dan mental yang paling utama dibangun dengan agama (ad-dîn). Ajaran Islam yang dibawa Nabi Saw. dengan tujuan utama menyempurnakan akhlak manusia (liutammima makârimal-akhlaq) memiliki kemampuan sangat kuat dan teruji oleh sejarah untuk melahirkan manusia-manusia berakhlak tinggi, berkarakter kuat, dan bermental baja sehingga dapat menjadi pemangku tegaknya peradaban Islam pada setiap masa.


Setelah mentalitas yang kuat, maka selanjutnya pembinaan serius bagi kelompok minoritas kreatif ini adalah pembinaan keilmuan yang kuat sesuai dengan perkembangannya. Di sinilah peran strategis perguruan-perguruan tinggi Islam. Hanya saja, kini perguruan-perguruan tinggi terlalu berorientasi pada pasar sehingga boleh dikatakan “gagal” menciptakan creative minority dengan keilmuan yang kokoh dan distingtif. Perguruan tinggi yang beroreintasi pada pasar hanya mengejar besaran jumlah mahasiswa, bukan kemampuan dari mahasiswa itu sendiri. Semakin banyak jumlah mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan merasa semakin bonafid dan keren. Padalah, pada saat yang sama, terlalu banyaknya jumlah mahasiswa yang seringkali tidak sebanding dengan infrastruktur kampus yang dimiliki, orientasi kampus hanya sekedar meluluskan dengan standar yang biasa-biasa saja bahkan cenderung rendah. Inilah yang tidak memungkinkannya kampus-kampus Islam melahirkan creative minority yang akan menopang peradaban Islam di masa yang akan datang.


Melihat kenyataan ini semestinya kampus-kampus atau gerakan-gerakan Islam harus memikirkan adanya program-program khusus yang secara ideal ditujukan untuk menggembleng kader-kader yang akan menjadi creative minority. Para peserta program ini diseleksi sedemikian rupa untuk mendapatkan kader paling memadai. Pembiayaan program ini disiapkan khusus dari berbagai sumber, terutama wakaf kaum Muslim. Kurikulumnya harus disiapkan dalam bentuk pembinaan akhlak dan mentalitas mahasiswa sekaligus membina disiplin keilmuan tertentu yang harus mereka kuasai. Pelatihan kepemimpinan juga harus menjadi bagian dari proses ini agar lulusannya siap untuk menjadi pemimpin di manapun mereka nantinya berada. Tidak lupa mereka juga harus ditempa dengan latihan-latihan lapangan sehingga teruji kemampuan komunikasi, adaptasi, leadership, dan usaha-usahanya untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam.


Melalui generasi-generasi seperti inilah, bukan generasi instant dan pragmatis, kita dapat berharap peradaban Islam dapat terus bertahan dan maju. Sebab, generasi semacam inilah yang akan memulai hidup mereka dengan mimpi. Mimpi-mimpi adalah modal utama untuk keluar dari suatu krisis. Mimpi-mimpi akan menciptakan dunia baru tidak seperti yang tengah dihadapi. Gambaran dunia baru itu akan mengundang lahirnya alternatif-alternatif solusi bagi persoalan yang tengah dihadapi. Dari sinilah akan tumbuh peradaban yang distintif. Orang-orang penuh idealisme semacam inilah yang juga nantinya akan terus dapat menyangga perkembangan peradaban ini. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb


BACA JUGA:

Benarkah Isra Mi’raj Tanggal 27 Rajab?

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon