Refleksi QS. An-Nāzi‘āt [79]: 15–26 untuk Indonesia Hari Ini
Oleh: Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I., M.Pd
Al-Qur’an tidak hanya merekam sejarah, tetapi juga memberi pelajaran moral-politik yang selalu relevan lintas zaman. Kisah Nabi Musa dan Fir‘aun dalam QS. An-Nāzi‘āt [79]: 15–26 adalah cermin abadi bagi bangsa-bangsa yang sedang berjuang melawan tirani, korupsi, dan propaganda kekuasaan. Indonesia hari ini, dengan segala dinamika politik, ekonomi, dan sosial, dapat bercermin dari drama agung ini: seorang nabi yang membawa jalan tazkiyah (penyucian diri) berhadapan dengan seorang penguasa yang mengandalkan propaganda untuk melanggengkan kekuasaan.
Panggilan Musa: Jalan Tazkiyah
- QS. An-Nāzi‘āt [79]: 15–19
هَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ ﴿١٥﴾ إِذۡ نَادَىٰهُ رَبُّهُۥ بِٱلۡوَادِ ٱلۡمُقَدَّسِ طُوًى ﴿١٦﴾ ٱذۡهَبۡ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ﴿١٧﴾ فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ ﴿١٨﴾ وَأَهۡدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخۡشَىٰ ﴿١٩﴾
Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Tuwa, "Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun), "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)? Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”
Allah memanggil Musa di lembah suci Thuwa dengan misi agung: menghadapi Fir‘aun yang telah melampaui batas. Namun dakwah Musa bukan diawali dengan hujatan, melainkan dengan tawaran lembut: “Apakah engkau mau menyucikan diri?”
Tafsir:
- Ibn Katsir menafsirkan tazkiyah sebagai pembersihan dari syirik dan kemaksiatan. Jalan perubahan sejati dimulai dari jiwa.¹
- Sayyid Qutb menekankan bahwa dakwah Musa adalah dakwah hati nurani: membangunkan kesadaran spiritual sebelum menawarkan agenda politik.²
Refleksi Indonesia:
Negeri kita tidak akan bangkit hanya dengan reformasi struktural, tetapi harus dengan reformasi moral. Jalan tazkiyah berarti: pemimpin yang membersihkan niat dari ambisi, birokrasi yang bersih dari korupsi, dan rakyat yang menjauhi budaya hedonisme serta instanisme.
Mukjizat dan Penolakan Fir‘aun
- QS. An-Nāzi‘āt [79]: 20–22
فَأَرَىٰهُ ٱلۡأٓيَةَ ٱلۡكُبۡرَىٰ ﴿٢٠﴾ فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ ﴿٢١﴾ ثُمَّ أَدۡبَرَ يَسۡعَىٰ ﴿٢٢﴾
Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menentang (Musa).
Musa menampakkan mukjizat, tanda kebesaran Allah. Tetapi Fir‘aun memilih jalan penolakan: mendustakan, mendurhakai, lalu berpaling dengan kesombongan.
Tafsir:
- Al-Tabari menjelaskan bahwa mukjizat Musa adalah tongkat yang berubah menjadi ular besar dan tangan yang bercahaya.³
- Penolakan Fir‘aun bukan karena kurang bukti, melainkan karena kesombongan politik dan kepentingan kekuasaan.
Refleksi Indonesia:
Seringkali kebenaran bukan ditolak karena lemah, tetapi karena mengancam kepentingan. Fakta korupsi, data ketidakadilan, dan suara rakyat sering diabaikan karena bentrok dengan “zona nyaman” elite.
Politik Propaganda Fir‘aun
- QS. An-Nāzi‘āt [79]: 23–24
فَحَشَرَ فَنَادَىٰ ﴿٢٣﴾ فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ ﴿٢٤﴾
“Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya), lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata, "Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi.”
Fir‘aun mengumpulkan massa dan melancarkan propaganda: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
Tafsir:
- Ibn Katsir menyebut ini puncak kesombongan: propaganda politik yang membungkus diri sebagai otoritas tertinggi.⁴
- Sayyid Qutb menyebut strategi Fir‘aun sebagai “mobilisasi propaganda”: menghimpun massa, membangun narasi, dan menutup ruang kebenaran.⁵
Refleksi Indonesia:
Fenomena propaganda politik begitu terasa hari ini. Kultus individu, pencitraan berlebihan, dan manipulasi media sering menjauhkan rakyat dari realitas. Fir‘aunisme modern tidak selalu berupa klaim ketuhanan, tapi berupa narasi absolut: “hanya kami yang bisa menyelamatkan negeri.”
Akhir Fir‘aun: Azab Dunia dan Akhirat
- QS. An-Nāzi‘āt [79]: 25–26
فَأَخَذَهُ ٱللَّهُ نَكَالَ ٱلۡأٓخِرَةِ وَٱلۡأُولَىٰ ﴿٢٥﴾ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبۡرَةً لِّمَن يَخۡشَىٰ ﴿٢٦﴾
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).”
Allah menghukum Fir‘aun dengan azab dunia dan akhirat. Kisah ini menjadi ibrah bagi siapa pun yang mau takut kepada Allah.
Tafsir:
- Al-Baghawi menyebut hukuman dunia adalah tenggelam di laut, dan hukuman akhirat adalah neraka.⁶
- Ibn Katsir menegaskan bahwa kesombongan politik selalu berakhir dengan kehinaan.⁷
Refleksi Indonesia:
Setiap rezim yang membangun kekuasaan di atas dusta, korupsi, dan propaganda pada akhirnya akan runtuh. Hukum Allah bersifat pasti: tirani tidak abadi.
Jalan Tazkiyah untuk Bangsa
QS. An-Nāzi‘āt [79]: 15–26 mengajarkan kontras abadi: Musa datang dengan jalan tazkiyah (penyucian jiwa), Fir‘aun bertahan dengan politik propaganda. Indonesia hari ini bisa memilih:
👉 Apakah kita menempuh jalan Musa: membersihkan diri, membangun moral, menguatkan iman, dan menegakkan keadilan?
👉 Ataukah kita menempuh jalan Fir‘aun: mengandalkan pencitraan, menutupi kebusukan dengan propaganda, dan menolak kebenaran?
Pilihan ada di tangan umat dan bangsa. Jalan Musa memang sulit, tetapi itulah jalan keberkahan. Jalan Fir‘aun mungkin terasa megah, tapi pasti berakhir dengan kehancuran.
Pelajaran untuk Pemuda Persis dan Bangsa Indonesia
- Lawan Fir‘aunisme Modern – Fir‘aun tidak selalu berupa raja; bisa berupa sistem korup, budaya hedonis, atau pemimpin yang menolak kritik.
- Jadilah Musa Zaman Now – Pemuda harus berani menyuarakan kebenaran dengan ilmu, integritas, dan keberanian moral.
Bangun Politik Tazkiyah – Perubahan bangsa dimulai dari diri: bersihkan hati, keluarga, organisasi, lalu masyarakat luas.
Catatan Kaki
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz 4 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 389.
- Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Juz 6 (Kairo: Dar al-Shuruq, 2003), 3738.
- Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 24 (Kairo: Dar Hijr, 2001), 104.
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz 4, 391.
- Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Juz 6, 3740.
- Al-Baghawi, Ma‘alim al-Tanzil, Juz 5 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1992), 236.
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz 4, 392.
BACA JUGA: Pesan Imam Al-Ghozali Tentang Memilih Pemimpin