Pesan Imam Al-Ghozali Tentang Memilih Pemimpin

oleh Ismail Fajar Romdhon

01 Januari 2025 | 21:55

Ustaz Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum


Sekalipun pesan Imam Ghazali kepada Muhammad bin Maliksyah sudah berlalu lebih dari sembilan ratus tahun yang lalu, namun relevansinya masih sangat kuat. Kepemimpinan memang fenomena yang abadi sehingga problematikanya tidak banyak berubah. Hampir sama di setiap generasi. Kepemimpinannya sendiri merupakan anugerah sekaligus ujian dari Allah Swt. bagi siapa saja yang diberi oleh Allah Swt. Disebut anugerah karena melalui kekuasaan seseorang dapat diantarkan menuju surga Allah Swt. dengan cepat. Syaratnya kekuasaan digunakan untuk menggapai ridha Allah Swt., bukan untuk mengejar dunia. Wujudnya adalah keadilan dalam menggunakan kekuasaan. Kekuasaan digunakan untuk membela agama Allah Swt. dan mewujudkan kesejahteraan rakyat seluas-luasnya, bukan digunakan untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Indikatornya adalah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya sesuai aturan dan menghindari korupsi.


Ungkapan di atas terdengar sangat stereotyping dan membosankan. Tapi demikianlah semestinya karena kebalikan dari itu kekuasaan akan dengan sangat mudah mengantarkan ke neraka. Pasalnya para pemegang kekuasaan dihadapkan pada godaan yang amat sangat berat: kemudahan mengakses kesenangan duniawi. Penguasa dengan sangat mudah mengakses uang rakyat melalui pajak, kekayaan tetap negara, sumber daya alam, dan sebagainya. Dia dapat mengotak-atik kebijakan agar mendapatkan jatah besar dari uang rakyat. Dengan uang ia dapat membeli segala kesenangan dunia. Dengan begitu amat mudahlah bagi penguasa untuk melakukan kemaksiatan. Pada saat kemaksiatan mudah dilakukan, tapi mampu ditahan dan ditepis, tentu yang melakukannya harus melawan dorongan nafsu diri sendiri dengan perjuangan yang amat sulit dan keras. Manusia itu senang puja puji; penguasa bisa mendapatkannya dengan mudah. Nafsu manusia senang wanita; dengan kekuasaan mudah pula didapatkan. Nafsu manusia senang menikmati sandang, pangan, dan properti yang mewah-mewah; tidak sulit bagi penguasa untuk menikmati itu semua. Akan tetapi, untuk mendapatkan semuanya harus ada yang dikorbankan, yaitu kepentingan rakyat. Dia harus melakukan kecuarangan dan membuang kamus “adil” dari dalam dirinya. Dari sinilah dosa besar kekuasaan yang akan mengantarkan ke neraka terjadi.


BACA JUGA: Iman Pangkal Kekuasaan