Revitalisasi Kaderisasi Pemuda Persis: Dari Formalitas ke Ruh Perjuangan
Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I., M.Pd. | Kabid Pendidikan PP Pemuda Persis
Kaderisasi adalah jantung kehidupan sebuah organisasi kader. Ia bukan sekadar mekanisme pelatihan atau administrasi anggota, tetapi proses transformasi nilai yang menghubungkan antara iman, ilmu, dan amal jama‘i. Dalam konteks Pemuda Persatuan Islam (Pemuda Persis), kaderisasi merupakan pilar utama yang memastikan kesinambungan dakwah dan eksistensi gerakan tajdīd (pembaharuan) Islam.
Namun, di tengah dinamika zaman yang serba cepat dan pragmatis, makna kaderisasi perlahan memudar. Banyak kader memahami kaderisasi hanya sebatas formalitas struktural—mengikuti Tafiq, Halaqah, atau pelatihan tertentu semata-mata karena kewajiban administratif atau syarat kepemimpinan. Padahal, kaderisasi jauh lebih dalam dari itu: ia adalah proses tazkiyah, tarbiyah, dan takwin—penyucian, pembinaan, dan pembentukan manusia beriman yang siap menegakkan dakwah.
Dari Formalitas ke Substansi
Fenomena yang kerap muncul di lingkungan organisasi kader seperti Pemuda Persis adalah dua kutub ekstrem. Di satu sisi, ada kader yang menganggap jenjang kaderisasi tidak penting karena merasa “tidak akan jadi pimpinan.” Di sisi lain, ada kader yang terlalu berorientasi pada jabatan—mengejar sertifikat Tafiq semata agar memenuhi syarat menjadi ketua. Dua-duanya adalah bentuk kesalahan dalam memahami ruh kaderisasi.
Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam Qaidah Asasi Qaidah Dakhili (QA/QD) Pemuda Persis, organisasi ini adalah “organisasi kader dan harakah tajdīd.” Artinya, seluruh gerak Pemuda Persis diarahkan bukan untuk memperbanyak anggota, tetapi untuk mencetak kader yang ideologis, militan, dan berilmu sebagai penerus perjuangan dakwah.¹
Kaderisasi dalam perspektif ini adalah proses berkesinambungan dari pembentukan iman (tarbiyah ruhiyah), pembinaan ilmu (ta‘lim), hingga pembentukan amal (tanfidz). Jika kehilangan salah satu aspek ini, maka kaderisasi akan kehilangan ruhnya—tinggal kulit tanpa isi.
Aspek Semiotika dan Semantik Kaderisasi
Secara semiotik, kata kaderisasi adalah tanda (sign) yang memiliki dua sisi: penanda (signifier) dan petanda (signified). Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa tanda bukan sekadar bunyi atau tulisan, tetapi sebuah kesepakatan makna yang menautkan simbol dengan ide.²
Dalam konteks ini, kata “kaderisasi” bukan hanya menunjuk pada serangkaian pelatihan, tetapi pada makna yang lebih mendalam: transformasi dari anggota biasa menjadi kader dakwah.
Charles Sanders Peirce kemudian memperluas konsep itu dengan tiga kategori tanda: ikon, indeks, dan simbol.³
Kegiatan seperti Tafiq, Halaqah, dan Daurah adalah ikon—representasi visual dari pembinaan kader. Keikutsertaan dalam jenjang kaderisasi adalah indeks—penanda keterlibatan seorang kader dalam proses pembentukan dirinya. Sementara ruh dakwah yang diwariskan dari generasi ke generasi adalah simbol—tanda keberlangsungan manhaj perjuangan Islam.
Secara semantik, istilah kader berasal dari bahasa Prancis cadre, yang berarti kerangka, struktur, atau kelompok inti, sedangkan akhiran -isasi bermakna proses menjadikan sesuatu. Maka, kaderisasi secara leksikal berarti “proses menjadikan seseorang sebagai kader inti.”⁴
Namun dalam konteks Pemuda Persis, maknanya meluas menjadi proses pembentukan manusia berprinsip—ideologis, spiritual, intelektual, dan praksis.
Analogi Semantik: Dari Besi Mentah menjadi Baja
Kaderisasi dapat diibaratkan seperti proses penempaan besi. Awalnya, besi mentah hanya logam kasar tanpa bentuk. Tapi setelah ditempa dengan panas, pukulan, dan tekanan, ia menjadi baja yang kuat dan bermanfaat.
Demikian pula anggota baru dalam organisasi. Ia datang dengan semangat, namun masih perlu arah dan bimbingan. Melalui proses halaqah, tafiq, tarbiyah ruhiyah, dan dakwah lapangan, ia ditempa oleh disiplin, ujian, dan pengalaman hingga menjadi kader sejati—kokoh dalam iman, matang dalam ilmu, dan kuat dalam militansi.
Dengan kata lain, kaderisasi bukan sekadar “pelatihan teknis,” tapi proses transformasi nilai: dari anggota → menjadi kader inti → lalu menjadi pemimpin umat.
Ruh Perjuangan: Ruh Wahyu yang Menghidupkan Gerakan
Kaderisasi sejati tidak akan hidup tanpa ruh perjuangan, dan ruh perjuangan tidak akan tumbuh tanpa wahyu. Dalam al-Qur’an, Allah ﷻ menyebut wahyu itu sendiri sebagai ruh, karena ia menjadi sumber kehidupan bagi hati dan akal manusia:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dari perintah Kami. Sebelumnya engkau tidak mengetahui apa itu Kitab dan apa itu iman, tetapi Kami jadikan wahyu itu cahaya yang dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.”(QS. Asy-Syūrā [42]: 52)
Menurut Ibn Kathīr, yang dimaksud dengan “rūḥan min amrinā” adalah wahyu Allah yang menghidupkan hati setelah sebelumnya mati, sebagaimana ruh jasmani menghidupkan tubuh.⁵
Al-Ṭabarī menjelaskan bahwa wahyu dinamakan ruh karena ia menjadi daya hidup bagi ilmu dan iman.⁶
Sedangkan al-Qurṭubī menafsirkan bahwa wahyu disebut ruh sebab ia menghidupkan akal dan hati sebagaimana ruh menghidupkan jasad.⁷
Dari sini kita memahami bahwa kaderisasi yang tidak menumbuhkan hubungan dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah kaderisasi tanpa ruh—hidup secara organisatoris tapi mati secara spiritual. Karena itu, revitalisasi kaderisasi berarti menghidupkan kembali ruh wahyu dalam setiap jenjang pembinaan kader.
Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam ayat lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (QS. Al-Anfāl [8]: 24)
Menurut tafsir al-Qurṭubī, yang dimaksud dengan “mā yuḥyīkum” adalah iman dan al-Qur’an — karena dengannya manusia memperoleh kehidupan sejati: kehidupan hati, ilmu, dan amal.⁸
Kader Ideal: Antara Ashabiyah dan Mujtahid Dakwah
Kader ideal Pemuda Persis adalah mereka yang tidak hanya menjadi penggerak organisasi, tetapi juga pengemban misi dakwah dan peradaban Islam. Pedoman Kaderisasi Pemuda Persis merumuskan profil kader ideal sebagai gabungan dari tiga sifat utama:
- Ashābun wa Ḥawāriyyūn — pemuda yang ikhlas menjadi pengamal, pendakwah, dan pembela Islam di mana pun berada.
- Mujāhid — pejuang yang bersungguh-sungguh memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan istiqamah.
- Mujaddid — pembaharu yang memiliki pandangan tajam dan metode ilmiah dalam menjawab tantangan zaman.
- Mujtahid — kader yang berani berpikir, menggali, dan menafsirkan realitas dengan panduan ilmu dan syariat.⁹
Mereka inilah generasi yang diharapkan menjadi rūḥul-jam‘iyyah (jiwa organisasi), bukan sekadar pengisi struktur.
Penutup
Revitalisasi kaderisasi berarti mengembalikan makna kaderisasi kepada hakikatnya: proses penempaan spiritual, intelektual, dan moral yang berpijak pada wahyu.
Pemuda Persis tidak membutuhkan kader yang sekadar aktif dalam rapat, tetapi kader yang hidup dengan ruh wahyu—yang membaca al-Qur’an bukan hanya dengan lisan, tapi dengan tindakan; yang berdakwah bukan sekadar lewat kata, tapi lewat keteladanan.
Dengan ruh perjuangan inilah kaderisasi kembali menemukan maknanya: bukan sekadar jalan menuju jabatan, tetapi jalan menuju keberkahan dan kemuliaan perjuangan Islam.
Catatan Kaki
- Qaidah Asasi Qaidah Dakhili (QA/QD) Pemuda Persis (Bandung: PP Pemuda Persis, 2021), 3.
- Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (London: Duckworth, 1983), 67.
- Charles S. Peirce, Collected Papers of Charles Sanders Peirce, Vol. 2 (Cambridge: Harvard University Press, 1931), 247.
- Le Petit Robert de la Langue Française (Paris: Le Robert, 2018), 912.
- Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 7 (Beirut: Dār al-Fikr, 1999), 204.
- Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Juz 22 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1992), 16.
- Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 16 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), 23.
- Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 8 (Beirut: Dār al-Fikr, 2006), 149.
- Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam, Pedoman Kaderisasi Pemuda Persis 2021–2026 (Bandung: PP Pemuda Persis, 2021), 14.
BACA JUGA:Kapan Menggerak-Gerakan Telunjuk Ketika Tasyahud ?