Oleh: Ustaz Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA (Ketua bidgar Dakwah PW PERSIS Aceh, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh di Internatiomal Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh di Fakultas Syari'ah UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Anggota Ikatan Ulama dan Da'i Asia Tenggara)
Setiap menjelang pergantian tahun Masehi yaitu pada malam Tahun Baru Masehi tepatnya tengah malam pukul 00.00, sebahagian umat Islam termasuk di Indonesia merayakan Tahun Baru Masehi dengan menghadiri perayaannya, membakar mercon, kembang api, lilin, hiburan, pesta dan hura-hura lainnya pada malam tersebut serta menyambutnya dengan ucapan selamat tahun baru.
Bahkan perayaan Tahun Baru Masehi dimeriahkan dengan berbagai macam maksiat seperti syirik, bid'ah, khurafat, tahayul, konser lagu dan musik, ikhtilath (percampuran laki-laki dan perempuan non mahram), joget, dansa, mabuk-mabukkan, pacaran, zina, meninggalkan shalat Shubuh, dan lainnya.
Perayaan Tahun Baru Masehi merupakan hari raya agama Romawi dan Nashrani/kristen yang dinyatakan oleh Islam sebagai kekufuran.
Menurut Islam, penganut agama selain Islam disebut kafir. Dan orang yang mati dalam kekufuran akan masuk neraka dan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.
Inilah ajaran dan aqidah Islam yang wajib diyakini oleh seorang muslim.
Dalam Islam, tidak ada keistimewaan malam atau hari Tahun baru. Semua hari, bulan dan tahun itu sama di sisi Allah, kecuali hari-hari dan bulan-bulan yang disebutkan keutamaan dan keistimewaannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adapun hari-hari yang memiliki keistimewaan dan keutamaan yaitu Hari Raya Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Hari 'Arafah, Senin, Kamis, Jum'at, hari kesembilan dan kesepuluh bulan Muharram, hari kesebelas, kedua belas dan kelima belas setiap bulan Hijriyyah, belas bulan sepuluh hari awal Dzulhijjah dan sepuluh malam/hari terakhir Ramadhan.
Dan bulan yang memiliki keistimewaan dan keutamaan yaitu Ramadhan, Sya'ban, dan bulan-bulan Haram yaitu Muharram, Rajab, Dzulqaidah, dan Dzulhijjah.
Oleh karena itu, pada malam Tahun Baru, tidak disyariatkan ibadah tertentu seperti shalat, zikir dan doa khusus pada malam penghujung tahun atau awal tahun baru, karena semua ini tidak ada dalilnya yang shahih.
Mengkhususkan ibadah tertentu perlu dalil yang shahih. Bila tidak, maka ini perbuatan bid'ah yang dilarang dan dikecam dalam agama.
Orang-orang Nashrani menggunakan lonceng untuk memanggil jama'ahnya ketika beribadah.
Orang-orang Yahudi menggunakan terompet untuk memanggil jama'ahnya ketika beribadah.
Orang-orang Majusi menggunakan api untuk memanggil jama'ahnya ketika beribadah. Ini semua syi'ar dan ritual agama mereka.
Pada malam Tahun Baru Masehi tepatnya pukul 00.00, sebagian umat Islam menggunakan ketiganya dalam satu waktu mengikuti orang-orang kafir dalam merayakan Tahun Baru Masehi.
Lonceng dibunyikan, terompet dibunyikan, dan lilin, mercon dan kembang api dinyalakan.
Maka pada malam itu sebahagian umat Islam mengikuti ritual dan syiar tiga agama kafir sekaligus yaitu Nashrani, Yahudi dan Majusi.
Mengingat persoalan ini sangat penting dan sering menjadi persoalan di tengah umat Islam pada setiap akhir tahun, maka penulis perlu menulis tulisan ini untuk menjelaskan sejarah perayaan Tahun Baru Masehi dan hukum memperingati atau merayakannya dalam Islam.
Tulisan ini merupakan jawaban terhadap persoalan umat Islam ini dan sekaligus bantahan terhadap orang-orang yang membolehkan perayaan Tahun Baru Masehi dengan cara apapun dan bentuk apapun termasuk ucapan selamat tahun baru.
Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi
Menurut Wikipedia, perayaan Tahun Baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah Mesir, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir kuno.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.
Nama Januari diambil dari nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan belakang.
Penduduk Romawi meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk.
Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli.
Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Tahun Masehi baru dihitung dan ditetapkan sejak kelahiran Isa Al-Masih dari Nazaret, yang mulai diadopsi di Eropa Barat pada sekitar abad ke-8.
Sejak itulah setiap tanggal 31 Desember malam akan dilakukan malam pergantian tahun baru dengan segala perayaan yang dilakukan negara-negara di seluruh belahan dunia.
Inilah sejarah perayaan Tahun Baru Masehi. Dengan demikian, jelaslah bahwa perayaan Tahun baru Masehi merupakan perayaan agama atau kegiatan ritual para penganut kepercayaan pagan (penyembah berhala) Romawi kuno untuk memuja para dewa mereka dan penganut Kristen untuk memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih yang dikenal dalam agama Nashrani/Kristen dengan sebutan Yesus Kristus.
Dalam ajaran Nashrani, Yesus Kristus merupakan salah satu Tuhan dari tiga Tuhan yang disembah yang dikenal dengan ajaran trinitas yaitu Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Ibu (Bunda Maria) dan Tuhan Anak (Yesus Kristus).
Oleh karena itu, peringatan atau perayaan Tahun Baru Masehi mengandung kesyirikan dan kekufuran yang diharamkan dalam Islam.
Bahkan bisa berpotensi membatalkan keimanan atau keislaman seseorang. Maka peringatan atau perayaan ini bertentangan dengan Islam.
Namun, sangat disayangkan sebagian umat Islam ikut-ikutan memperingati atau merayakan Tahun Baru Masehi dengan berbagai cara dan bentuk.
Tentu perilaku sebahagian umat Islam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang menyerupai atau mengikuti aqidah, dan ritual serta syi'ar termasuk hari Raya orang-orang kafir karena mengandung kesyirikan dan kekufuran dan melarang perbuatan mubazir dan maksiat lainnya padanya.
Terlebih lagi, ini persoalan aqidah yang tidak boleh dicampur adukkan antara kebenaran agama Islam dengan kesyirikan dan kekufuran agama selain Islam.
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi
Menyambut dan merayakan Tahun Baru Masehi dengan cara apapun dan bentuk apapun seperti menghadiri perayaannya, membagi hadiah, mengucapkan selamat Tahun Baru, meniup terompet, membakar mercon, kembang api dan lilin, menggelar konser musik dan lagu, ikhtilath, joget/dansa, pacaran, mabuk-mabukan dan sebagainya, semua ini bertentangan dengan Islam.
Maka hukumnya haram berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' para ulama.
Bahkan perbuatan ini bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim karena membenarkan dan meridhai perbuatan kesyirikan dan kekufuran yang ada pada agama kafir.
Adapun alasan dan dalil keharaman perayaan Tahun Baru Masehi di antaranya yaitu:
Pertama, Allah ta'ala melarang kita mengikuti atau meniru aqidah dan ritual serta Hari Raya penganut kepercayaan pagan (penyembah berhala) Romawi dan agama lainnya.
Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang melarang dan mengecam mengikuti atau menyerupai aqidah dan ritual orang-orang kafir yaitu:
Allah ta'ala berfirman: “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36).
Allah ta'ala berfirman: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada akan ada bagi pelindung dan penolong dari Allah.” (Q.S. Al-Baqarah: 120).
Allah ta'ala berfirman: “Kamu tidak mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Q.S. Al-Mujadalah: 22).
Allah ta'ala berfirman: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (Q.S. Al-Baqarah: 42).
Allah ta'ala berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am: 82)
Allah ta'ala berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Q.S. Al-Kafirun: 6)
Kedua, Perayaan Tahun baru Masehi merupakan bagian ritual/ibadah dalam agama Romawi untuk memuja dewa Janus yang diyakini sebagai dua wajah yaitu satu wajah yang menghadap ke depan sebagai simbol tahun baru dan satu wajah lagi yang menghadap ke belakang sebagai simbol tahun lalu.
Keduanya merupakan filosofi pergantian tahun. Jadi, perayaan Tahun Baru Masehi itu perayaan orang-orang kafir Romawi untuk memuja dewa mereka.
Maka hukumnya bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim. Ia menjadi sama seperti orang kafir Romawi penyembah dewa.
Ketiga, Perayaan Tahun baru Masehi juga merupakan perayaan orang-orang kafir Nashrani untuk memperingati dan merayakan kelahiran Yesus Kristus yang dijadikan sebagai awal tahun Masehi.
Ini berarti pengakuan terhadap Yesus kristus sebagai anak Tuhan sebagaimana yang yang diyakini oleh orang-orang Nashrani dan pengakuan terhadap kebenaran agama Nashrani yang mengandung kesyirikan dan kekufuran.
Maka hukumnya bisa membatalkan keimanan atau keislaman seorang muslim. Ia menjadi sama seperti orang kafir Nashrani.
Allah ta'ala berfirman: "Sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam.” Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. (Q.S. Al-Maidah: 72).
"Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih." (Q.S. Al-Maidah: 73).
Keempat, Perayaaan Tahun Baru Masehi mengandung berbagai macam maksiat seperti syirik, bid'ah, khurafat, tahayul, khurafat, perbuatan mubazir dengan membakar mercon, kembang api dan lilin, ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan, konser musik dan lagu, joget dan dansa, pacaran, zina, mabuk-mabukkan, dan sebagainya.
Semua maksiat ini diharamkan dalam Islam.
Kelima, Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk mengikuti atau meniru aqidah dan ritual atau Hari Raya agama selain Islam dengan ancaman yang keras yaitu bukan umatnya.
Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud dan Ahmad)
Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: “Bukanlah golongan kita orang yang menyerupai diri dengan selain kita. Janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya salam orang Yahudi adalah mengisyaratkan dengan jari dan salam orang nasrani dengan melambaikan telapak tangan.” (H.R. At-Tirimizi)
Keenam, Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya mengenai fenomena mengikuti tradisi dan ritual orang-orang kafir agar umat Islam mewaspadai dan menghindarinya.
Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk (mengikuti) ke dalamnya. Mereka (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah mereka kaum Yahudi dan Nashrani.? Lalu beliau berkata, Siapa lagi kalau bukan mereka". (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketujuh, Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memperingati atau merayakan Tahun Baru Masehi.
Begitu pula para sahabat dan para ulama tabi'in serta para ulama tabiut tabi'in. Dengan demikian, memperingati atau merayakan tahun baru Masehi bukan ajaran Islam.
Perayaan Tahun Baru Masehi merupakan bid’ah yang dilarang dalam agama Islam.
Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam menegaskan bahwa amalan bid'ah ditolak oleh Allah ta'ala. Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada petunjuk daripadanya, maka amalannya tertolak.” (H.R. Al- Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat imam Muslim, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan dari petunjuk kami maka amalannya tertolak.” (H.R. Muslim)
Bahkan, Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam mengancam perbuatan bid’ah sebagai bentuk kesesatan dengan sabda beliau: “Wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat sunnah tersebut. Dan hendaklah kalian menjauhi segala perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmizi)
Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan itu adalah kitab Allah (Al-Qur'an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah). Dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (H.R. Muslim)
Imam An-Nasa'i rahimahullah menambahkan: "Dan setiap kesesatan itu masuk neraka." (H,R. An-Nasa'i)
Kedelapan, Perayaan Tahun Baru dengan suara terompet, mercon dan kembang api sangat menganggu orang lain yang sedang tidur terlebih lagi orang-orang sakit dan anak-anak kecil dan bayi.
Islam melarang perbuatan yang dapat mengganggu orang lain dan perbuatan yang mendatangkan mudharat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan orang lain." (H.R. Ad-Dharuquthni, al-Hakim, Ibnu Majah dan lainnya)
Kesembilan, Perayaan Tahun Baru Masehi merupakan perbuatan sia-sia. Tidak ada manfaat sedikitpun.
Justru perbuatan ini mendatangkan banyak mudharat terhadap dunia (harta) dan agama (aqidah) si pelaku maupun orang lain.
Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan yang tidak bermanfaat."(H.R. At-Tirmizi dan Ibnu Majah)
Para ulama melarang merayakan Perayaan hari-hari Raya orang-orang kafir termasuk Tahun Baru Masehi.
Di antara mereka yaitu Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sebagaimana beliau jelaskan dalam kitabnya Ahkam Ahli Dzimmah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti ucapan selamat Natal, Tahun Baru, dan sebagainya, pent.) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”
Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah.
Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.
Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah: 1/441)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan orang-orang kafir dengan kesepakatan para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqaha dalam kitab-kitab mereka.
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,, “Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.” Umar juga berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1/723-724)
Sebagai penutup, untuk menghindari terjerumus kepada keharaman perayaan Tahun Baru Masehi, maka sebaiknya umat Islam tidak melakukan acara/kegiatan apapun terkait dengan Tahun Baru meskipun acara/kegiatan keagamaan seperti zikir, doa, dan tabligh/ceramah.
Agar tidak terkesan merayakannya. Para ulama menyebutkan kaidah Fiqh: "Dar'ul mafasid muqaddam min jalbil mashalih" (meninggalkan keburukan lebih baik dari mendatangkan kemaslahatan).
Begitu pula agar kita tidak mencampur yang haq dan yang batil. Ini dilarang dalam agama.
Mari kita senantiasa bertakwa kepada Allah ta'ala dengan mengerjakan segala perintah Allah ta'ala dan meninggalkan segala larangan-Nya, termasuk larangan mengikuti aqidah, ritual dan syiar orang-orang kafir seperti perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi.
Semoga Allah ta'ala senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita dan menjaga kita dari segala maksiat, kesesatan dan kekufuran. Aamiin!
[]