Moh. Natsir, Ketua PB PERSIS Yang Kedua

oleh Redaksi

14 Februari 2025 | 10:45

Oleh: Pepen Irpan Fauzan dan Firman Solihin

Oleh: Pepen Irpan Fauzan dan Firman Solihin


Selama ini sudah umum dipahami terkait sejarah Persatuan Islam (PERSIS), bahwa di era Kolonial Belanda periode awal 1923 hingga 1942, Jam’iyyah PERSIS dipimpin oleh KHM. Zamzam (1894-1952 M). Dengan dukungan para “Saudagar Bandoeng” asal Palembang, KHM. Zamzam mendirikan PERSIS pada 12 September 1923 dan sekaligus menjadi ketuanya yang pertama. Jabatannya dianggap berakhir pada tahun 1942 disebabkan Jam’iyyah PERSIS dibubarkan balatentara Jepang. Mayoritas kader PERSIS pun tidak lagi aktif di Jam’iyyah pada waktu itu, karena terlibat langsung dalam proses revolusi fisik. Ketika Jam’iyyah ini dideklarasikan aktif kembali pada April 1948, maka kepemimpinannya sudah beralih. Pemimpin baru PERSIS hadir, yakni KHM. Isa Anshary (1916-1969 M). Bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia—rentang waktu 1948 hingga 1960—Jam’iyyah PERSIS dipimpin KHM. Isa Anshary, fakta sejarah ini tampaknya sudah tidak diragukan lagi.    


Namun demikian, ada sebuah data sejarah yang menggelitik pikiran para aktivis Jamiyyah puritan ini. Pada rubrik “Iqra” majalah Risalah, No. 54, Januari 1968, dimuat tulisan dari seorang tokoh panutan ummat: Bapak Mohamad Natsir (1908-1993 M). Di samping konten tulisan Pak Natsir—berjudul “PERSIS Selalu Menempatkan Dirinja Sebagai Ummat Da’wah”—yang sangat bernas, lebih dari itu ada secuil keterangan sejarah yang dilekatkan pada tokoh Mosi Integral NKRI itu. Redaktur Risalah menyebutkan identitas Pak Natsir, sang tokoh Perdana Menteri RI pertama itu, dengan jabatannya semasa dulu di jamiyyah PERSIS. Tercatat dengan hurup besar, jabatannya itu adalah “Bekas Ketua Umum PP Persatuan Islam” (Risalah, No. 54/1968, hlm. 12).


Tentu saja, secuil keterangan ini sangat berharga, namun sekaligus juga tidak bisa langsung dipercayai begitu saja. Sumbernya berasal dari zaman (waktu) yang berbeda dan juga otomatis sebagai orang kedua, sehingga statusnya bukan sumber sejarah primer. Oleh karena itu perlu penguatan data sejarah dari sumber-sumber sezaman, sehingga valid sebagai fakta sejarah—apakah itu fakta keras ataupun hanya fakta cair.   


Jika kita menelisik biografi Pak Natsir, keterangan jabatannya di Jam’iyyah PERSIS pada masa Kolonial Belanda memang suka disebutkan. Namun tidak satupun yang menyebut Pak Natsir pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP PERSIS. Para penulis biografi Pak Natsir, seperti Endang Saefudin Anshary atau Ajip Rosidi, tentunya bertanya langsung padanya. Jabatan yang tertulis dalam buku-buku biografinya itu adalah sebagai Direktur Pendidikan Islam (PENDIS) pada 1932-1940, selain sebelumnya sebagai pengelola Pembela Islam bersama Tuan A. Hassan. Sebagai contoh, lihat misalnya 80 Tahun M. Natsir: Pesan Perjuangan Seorang Bapak buah karya A. W. Pratiknya dan Endang SA (1989: 129-130). Sedangkan dalam karya Dadan Wildan, Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia (2000: 245), secara tegas menyebut jabatan Natsir sebagai Wakil Ketua PB PERSIS.


Kedua data ini tentulah harus diperhatikan, karena ditulis dan dipublikasikan pada saat para saksi sejarah itu sendiri masih ada. Pun ketika tulisan pada majalah Risalah 1968 di atas—dengan embel-embel jabatan sebagai “Bekas Ketua Umum”—tentu saja diketahui oleh Pa Natsir. Termasuk oleh tokoh-tokoh PERSIS lainnya yang pernah mengalami PERSIS era Kolonial, seperti Ustaz E. Abdurrahman (1912-1983), Ustaz Eman Sar’an (1916-2002), dan lainnya. Dalam hal ini, tidak ada ralat pada majalah nomor berikutnya. Oleh karena itu, tanda tanya besar pun muncul: data mana yang lebih valid? Tulisan ini membedahnya secara komprehensif.


M. Zamzam dan M. Natsir: Sepasang Pemimpin


Ketika M. Zamzam mendirikan dan mengembangkan PERSIS di Bandung, ia sangat terbantu dengan kehadiran Tuan A. Hassan (1887-1956 M). Namun demikian, posisi Tuan Hassan lebih sebagi “guru utama” PERSIS, bukan dalam konteks manajerial keorganisasian. Waktu itu, PERSIS masih berupa “komite”—semacam yayasan/paguyuban—yang berkonsentrasi dalam bidang pengajaran Islam. Oleh karena itu, kedudukan Tuan Hassan sebagai guru PERSIS menempati posisi yang signifikan (untuk penjelasan ini, lihat Pepen I. F., Pola Kaderisasi Gerakan Islam Puritan: Studi Kritis Atas Persatuan Islam, 2020: 247-258).   


M. Natsir adalah anak muda yang dididik dan dikader oleh Tuan A. Hassan melalui studi klub yang diadakan oleh Komite PERSIS di Gang Belakang Pagade selama periode 1927-1930. Natsir semakin tumbuh berkembang ketika diajak juga berkontribusi di Komite Pembela Islam sejak tahun 1929. Baik PERSIS maupun Pembela Islam, kedua komite tersebut dipimpin oleh M. Zamzam. Sembari membantu kedua komite itu, Natsir mengelola sebuah organisasi pelajar: Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung dalam rentang waktu 1930-1932. Mulai tahun 1932, setelah selesai memimpin JIB, Natsir kemudian berakrobat membangun komite sendiri yang bergerak di bidang pendidikan formal (partikelir). Namanya Komite Pendidikan Islam—yang kemudian lebih dikenal dengan akronim “PENDIS”. 


Keberhasilan Natsir dalam membangun PENDIS mengagumkan banyak pihak, termasuk M. Zamzam. Ketika aktivitas Komite Pembela Islam menurun pada tahun 1934 dan akhirnya bubar pada tahun 1935, PERSIS justru mendapatkan momentum untuk berkembang. Pada April 1934 diadakanlah Konferensi PERSIS yang pertama di Bogor. Natsir pun diminta untuk memberikan ceramah pada Konferensi itu. Ceramah bersejarah tentang “ideologi Pendidikan Islam” (Rosidi, 1990: 54). Ceramah Natsir ini pun menggugah para aktivis senior PERSIS. Sehingga, melalui Konferensi itu, PERSIS memutuskan untuk lebih memperluas garapannya. 


Terjadilah transformasi gerakan PERSIS, dari semula hanya “paguyuban” dengan fokus pada pengajaran menjadi gerakan massa (Ormas). Sebagai Hoofd Bestuur (Pengurus Besar), PERSIS mengikat cabang-cabang di tingkat Kota Distrik dan “kring-kring” di tingkat jama’ah—jika pada masa kini, “kring” ini setingkat dengan Pimpinan Ranting wilayah perdesaan. Pada level pimpinan, ada jabatan Voorzitter (Ketua), Vice-Voorzitter (Wakil Ketua), Secretarissen (Sekretaris), Penningmeester (Bendahara), dan Comissarissen (Pengawas). Dibentuklah organ-organ PERSIS, seperti Persatuan Islam Bahagian Sekolah, Bahagian Tabligh, Bahagian Pustaka, dan Bahagian Isteri (Persistri). 


Kelengkapan organisasi semakin disempurnakan dengan dibentuknya “Madjlis Agama”, sebuah lembaga yang berisi tujuh orang ulama PERSIS, pada 24 Agustus 1934. Fungsinya sebagai wadah urun-rembug para ulama PERSIS untuk memeriksa urusan (hukum) agama, sementara penyiaran hasil kajiannya melalui Bahagian Pustaka (penjelasan lengkapnya, lihat Iber Anyar, 2022: 42-47). Menurut Ustaz E. Abdurrahman, untuk menjaga hasil-hasil keputusan para ulama PERSIS—yang tergabung dalam wadah “Madjlis Agama” (red.)—inilah kemudian diputuskan diangkat sebuah komite di bawah organ Persatuan Islam Bahagian Tabligh yang waktu itu dipimpin oleh H. Azhari Rawi. Komite ini disebut “Dewan Hisbah” yang didirikan pada tahun 1935. 


Ustaz E. Abdurrahman menjelaskan: “Pada tahun 1935, Almarhum Al-Ustadz A. Hassan mengangkat beberapa orang anggota Persatuan Islam di Bandung menjadi anggota Dewan Hisbah, yaitu pelengkap bahagian tabligh. Dari antara yang diangkat menjadi anggota Dewan Hisbah pada waktu itu ialah Sdr. Rd. Arsotenoyo dan Sdr. M. Encir yang dibantu beberapa orang lagi yang saya sudah tak ingat lagi nama-namanya. Tugasnya bukan bertabligh, atau memberi fatwa dan menjawab masalah-masalah, tapi mengawasi pelaksanaan dan mengusahakan agar Qanun dan putusan-putusan Jamiyyah, fatwa dan masalah yang sudah jelas keterangannya dita’ati dengan seragam, tidak dikhianati. Ruang gerak dan kesempatan untuk melakukan bid’ah dan maksiat di kalangan anggota diusahakan supaya menjadi sempit” (Risalah No. 126, Desember 1973, hlm. 301).


Kelengkapan perangkat organisasi ini dikukuhkan pada Konferensi PERSIS yang kedua bulan Desember 1935 di Bandung. Termasuk di antara putusan Konferensi kedua ini adalah amanat untuk mendirikan sebuah Pesantren Persatuan Islam sebagai lembaga kaderisasi mubalig PERSIS (Al-Lisaan No. 4, 1936, hlm. 35). Pesantren modern ini diresmikan pada 4 Maret 1936 yang dipimpin langsung Tuan Hassan. Sekolah-sekolah PENDIS—dari mulai jenjang Frobelschool (TK), HIS (SD), MULO (SMP), hingga Kweekschool (sekolah guru) yang asalnya dikelola komite tersendiri—kemudian diintegrasikan dalam Persatuan Islam Bahagian Sekolah. Ketua Bahagian Sekolah waktu itu adalah A. A. Banaama, sementara Direktur PENDIS tetap dijabat oleh Natsir. Pengintegrasian PENDIS pada Persatuan Islam Bahagian Sekolah dikukuhkan melalui Konferensi PERSIS ketiga pada Desember 1936 (Al-Lisaan No. 13, 1936: 37). 


BACA JUGA: Mengenang 74 Tahun Mosi Integral Mohammad Natsir
Cuplikan Tulisan Pa Natsir yang diberi identitas oleh Redaksi Risalah sebagai “Bekas Ketua Umum PP PERSIS” (Sumber: Majalah Risalah No. 54, Januari 1968)
Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon