Oleh: Dr. Dedeng Rasyidin, M.Ag
A. Pengertian
Kata Tsamûd berasal dari kata al-Tsamadu artinya, al-Mâ-u al-Qalîlu al-Ladzi lâ mâdata lahu (air sedikit yang tidak ada sumber -materinya-) Dari kata al-Tsamadu kemudian ditimbangkan pada wazan Fa’ûl sehingga menjadi Tsamûd. Dari kata itu muncul kata lain, misalnya kata matsmûd artinya,
كَثُرَ عليه السُؤَالُ حتىّ فَقَدَ ماَدَّةَ مَالِهِ.
“Banyak meminta sehingga menghabiskan sumber hartanya”
Menurut sebagian pendapat, kata Tsamûd itu bukan bahasa Arab (‘Ajami) Dan yang lain berpendapat kata itu dari bahasa Arab namun telah dilupakan Sharafnya (perubahan kata) hal ini karena telah menjadi nama kabilah (Al-Raghib, tt; 78 dan Muhyidin Darwis, II:581). Sebelum nama kabilah, Tsamûd itu nama orang yaitu, Tsamûd bin ‘Amir bin Iram bin Sam bin Nûh As (Al-Maraghi, III:197 dan al-Darwis, II:581). Sedangkan hubungannya dengan Nabi Shalih As yang diutus Allâh Swt ke kaum Tsamûd, Nabi Shalih As merupakan keturunan kaum Tsamûd, yaitu Shalih ibnu ‘Ubaid bin Asif bin Masih bin ‘Ubaid bin Hadzir bin Tsamûd. Ia hidup selama 280 tahun dan antara Nabi Shalih As dengan Nabi Hûd As 100 tahun (Shawi, II:102-103). Lalu dari nama orang menjadi nama satu kabilah. Hal ini karena kemasyhurannya (Shawi, II:273). Kaum Tsamûd merupakan nenek moyang bangsa Arab kuno yaitu al-‘Arab al-Baidah (Al-Wadlih, I:732). Dan mereka (Tsamûd) adalah kaum ‘Âd yang ke dua, mereka keturunan orang yang beriman kepada Nabi Hûd As, Nabi bagi kaum ‘Âd, sementara orang yang kafir di masa Nabi Hûd As telah dibinasakan Allâh Swt (Shawi, III:221). Tempat mereka di kota Hijir (Al-hijr 80), antara Syam dan Hijaz (Al-Darwis, II:581), Al-Harmain (hal, 398) menyebutkan Al-Hijr itu tempat yang terletak di Wadi al-Qura antara Madinah dan Syria. Menurut Shawi (III:222) Kaum Tsamûd itu berumur panjang-panjang, diantara mereka ada yang berumur 300 tahun sampai dengan 1000 tahun. Karena itu mereka membuat rumah di dalam gunung-gunung yang mereka pahat, Firman Allâh, al-Syuara 149,
وَتَنحِتُونَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا فَارِهِينَ.
“Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk di jadikan rumah-rumah dengan rajin” (Qs. Al-Syu’ara [26]:149) Kemudian rumah-rumah mereka menjadi rusak sebelum umur mereka berakhir.
B. Keutamaan ni’mat Allâh Swt bagi Tsamûd
Di dalam al-Qur’ân kisah kaum Tsamûd, antara lain diungkapkan Allâh Swt dalam Surat, al-A’râf [7]:73-79, Hûd [11]:61-68, al-Syuara [26]:141-159, al-Naml [27]:45-53, al-Qamar [54]:23-32, dan al-Hijir [15]:80-85.
Al-Qur’ân menjelaskan bahwa kaum Tsamûd telah diberi ni’mat lebih oleh Allâh Swt, ni’mat-ni’mat itu antara lain,
1. Mereka menjadi pewaris, pengganti kaum ‘Âd. Al-A’raf: 43,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَآءَ مِن بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي اْلأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا ءَالآءَ اللهِ وَلاَتَعْثَوْا فِي اْلأَرْضِ مُفْسِدِين.
“Dan ingatlah olehmu di waktu Allah menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum A'ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan”. (Qs. Al-A’râf [7]:74)
Al-Maraghi (III:8,197) menjelaskan, mereka hidup telah menetap tidak mengembara terlebih dahulu, karena meneruskan dan mewarisi kaum sebelumnya yaitu kaum ‘Âd (al-Hadharah), kehidupan mereka sangat ma’mur, dan dengan gedung-gedungnya yang indah dan kokoh (al-‘Umrâni), ditambah dengan badan yang kokoh dan kuat seperti pendahulunya ‘Âd (al-Quwwah)
2. Mereka membuat istana-istana di tanah yang datar, al-A’raf 74,
تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا.
“Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar” (Qs. Al-A’râf [7]:74)
Al-Maraghi (III:8,197) menyebutkan, mereka pandai membuat gedung-gedung yang megah (qushurân zaĥiyatân), pandai membangun rumah bertingkat (daurân ‘âliyah), diberi Allâh dalam teknik bangunan (shinâ’ah), pandai membuat batu bata -batako- (dharabu al-Libn), pandai membuat bata bakar (harqu al-Âjir), membuat bahan kapur (istimâlu al-Jashi), mengukir kayu dan memperindah bangunan. Kata qushurân yang artinya istana (gedung) seakar kata dengan al-Qashru (pendek), disebut demikian karena pendeknya tangan orang miskin untuk menjangkaunya (Shawi, II:103).
3. Mereka memahat gunung-gunung lalu dibuat rumah-rumah untuk tempat tinggal mereka. Al-A’raf 74,
وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا.
“Dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah”. (Qs. Al-A’râf [7]:74)
Mahmud Hijaji (I:733) menyebutkan, Allâh telah memberi ilmu pada mereka keahlian memahat gunung, dan memberinya kekuatan dan kesabaran dalam mengerjakannya. Ibnu al-Jauzi (III:224) mengutip perkataan Wahab bin Munbih yang menyebutkan, Seorang laki-laki Tsamûd membangun sebuah rumah selama 100 tahun, kemudian rumah itu dihancurkan, lalu dibangun lagi selama 100 tahun, dihancurkan lagi, kemudian dibangun lagi 100 tahun, akhirnya mereka merasa bosan dengan itu, lalu memahat gunung dijadikan rumah. Kaum Tsamûd punya gedung dan istana di daratan, dan punya rumah-rumah di dalam gunung. Mereka tinggal di rumah dalam gunung pada musim hujan, sehingga tidak kedinginan dan kehujanan, tinggal di istana (gedung) tanah daratan pada musim yang lainnya, untuk bekerja dan bercocok tanam (Al-Maraghi, III:197)
4. Dalam surat Hûd 61 Allâh menyebutkan kenikmatan lain yang diberikan pada mereka, yaitu kemakmuran di bumi,
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ.
“Dan kepada Tsamûd (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)”. (Qs. Hûd [11]:61)
Al-Maraghi (IV:12,53) menafsirkan kalimat di atas, yaitu mereka hidup subur makmur (‘Ammârun), mereka ahli pertanian (Zarrâun), mereka ahli dalam membuat bahan bangunan (Shannâun), ahli dalam teknik bangunan (Bannânun) Dan Ibnu al-jauzi (IV:123) menambah-kan, mereka diberi Allâh umur yang panjang, 300 tahun sampai dengan 1000 tahun.
5. Selain kemakmuran bagi dirinya, Allâh telah menjadikan kemakmuran tanah tinggal mereka, Al-Syuara 147-149,
فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {} وَزُرُوعٍ وَنَخْلٍ طَلْعُهَا هَضِيمٌ {} وَتَنحِتُونَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا فَارِهِينَ.
“Di dalam kebun-kebun serta mata air, (.:) dan tanam-tanaman dan pohon-pohon korma yang mayangnya lembut. (.:) Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk di jadikan rumah-rumah dengan rajin” (Qs. Al-Syu’ara [26]:147-149)
Tempat tinggal mereka dipenuhi dengan kebun-kebun, mata air, tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut, buah-buahan, rijki yang banyak dan daerah yang aman (Al-Maraghi, VII:19,91)
BACA JUGA:Fir’aun, Sosok Pemimpin Sombong Dalam Al-Quran (Bagian Satu)