Sunnah Itu Bukan Sekadar Tambahan
Banyak orang mengira sunnah hanya soal ibadah tambahan: shalat dhuha, puasa Senin-Kamis, atau zikir setelah shalat. Padahal, sunnah dalam Islam bermakna lebih luas: segala ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah ﷺ yang menjadi pedoman hidup.
Al-Qur’an menegaskan:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharap rahmat Allah, hari akhir, dan banyak mengingat Allah.” (QS. al-Aḥzāb 33:21).
Imam al-Ṭabarī menafsirkan ayat ini sebagai perintah bagi setiap muslim untuk menjadikan Rasulullah ﷺ teladan dalam seluruh aspek kehidupan, baik spiritual maupun sosial.¹ Dengan demikian, sunnah bukan sekadar ibadah tambahan, melainkan blueprint gaya hidup Islami.
Sunnah Versi Generasi Z dan Milenial
Hari ini, generasi muda hidup di tengah derasnya arus digitalisasi. Survei APJII (2023) menyebutkan bahwa 70,9% pengguna internet di Indonesia adalah kelompok usia 13–34 tahun, mayoritas di antaranya adalah generasi Z dan milenial.² Kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh tren media sosial, dari TikTok hingga Instagram.
Di tengah budaya “likes, views, dan followers” sebagai standar eksistensi, sunnah hadir sebagai standar hidup alternatif yang lebih otentik. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan ibadah mahdhah, tapi juga lifestyle:
- Manajemen waktu: membagi waktu untuk ibadah, keluarga, dan dakwah.
- Komunikasi: berbicara jelas, singkat, santun, penuh makna—lebih powerful daripada sekadar “caption aesthetic”.
- Kesehatan: pola makan sederhana, pola tidur teratur, anjuran olahraga seperti berkuda, memanah, dan berenang; mirip dengan konsep “healthy lifestyle” modern.
Bagi generasi Z dan milenial, sunnah ini bukan sekadar ritual kuno, tapi gaya hidup yang selalu relevan dan sustainable.
Sunnah sebagai Identitas di Tengah Krisis Moral
Di tengah banjir informasi, banyak pemuda kehilangan arah moral. Data BKKBN (2022) menunjukkan peningkatan perilaku seks bebas di kalangan remaja, sementara Kemenkes (2023) melaporkan kenaikan kasus kecanduan gawai dan gangguan mental akibat media sosial.³
Rasulullah ﷺ pernah memperingatkan:
“Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. al-Bukhārī, no. 5063; Muslim, no. 1401).
Imam al-Nawawī menegaskan bahwa sunnah yang dimaksud mencakup seluruh ajaran Nabi ﷺ, baik akidah, ibadah, maupun akhlak.⁴ Artinya, sunnah adalah marker identitas. Di tengah krisis moral zaman now, sunnah menjadi filter yang menyelamatkan pemuda dari ikut hanyut dalam tren merusak.
Sunnah dalam Gerakan Pemuda Persis
Gerakan Pemuda Persis sejak awal berdiri menjadikan sunnah sebagai DNA organisasi. Sunnah bukan hanya slogan, tapi diterapkan dalam:
- Ibadah: perbaikan shalat sesuai tuntunan Nabi ﷺ. Baik yang wajib dan yang sunat, dan selalu berjama’ah di masjid.
- Dakwah: memakai kaidah sunnah, argumentatif berdasar wahyu, bijak, dan berbasis ilmu, bukan sekadar viral.
- Organisasi: selalu mengacu pada QA/QD Pemuda Persis, taat pimpinan, musyawarah, kepemimpinan kolektif, dan disiplin.
Dengan sunnah, kader Pemuda Persis tampil beda: berakar pada ajaran salaf, tapi lincah menjawab tantangan zaman.
Sunnah = Relevan, Bukan Beban
Sebagian anak muda menganggap sunnah ribet atau tidak nyambung dengan dunia modern. Padahal, sunnah justru fleksibel. Ibn al-Qayyim berkata:
“Syariat Islam dibangun atas hikmah dan kemaslahatan. Apa pun yang membawa pada keadilan, rahmat, dan maslahat, maka itu bagian dari syariat.”⁵
Artinya, sunnah tidak kaku. Sunnah justru menjadi solusi gaya hidup yang sehat, adil, dan relevan—lebih tahan lama dibanding tren yang cepat basi.
Penutup
Bagi milenial dan zilenial Pemuda Persis, sunnah adalah lifestyle Islami yang membentuk identitas, menjaga orisinalitas, dan menjadi GPS hidup di tengah arus globalisasi budaya. Sunnah bukan nostalgia sejarah, tapi kompas jalan hidup. Dengan menjadikan sunnah sebagai gaya hidup, kader Pemuda Persis akan tampil otentik, mandiri, dan menjadi trendsetter dakwah di zamannya.
Catatan Kaki
- Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (Kairo: Dār Hajr, 2001), 20:260.
- Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Laporan Survei Internet Indonesia 2023 (Jakarta: APJII, 2023), 18.
- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Laporan Profil Remaja Indonesia 2022 (Jakarta: BKKBN, 2022), 22; Kementerian Kesehatan RI, Laporan Kesehatan Remaja 2023 (Jakarta: Kemenkes, 2023), 45.
- Yaḥyā ibn Sharaf al-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1972), 9:176.
- Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I‘lām al-Muwaqqi‘īn (Beirut: Dār al-Jīl, 1973), 3:11.
BACA JUGA:Islam, Dakwah dan Kebudayaan (Bagian Tiga) : Perubahan dan Rekayasa Kebudayaan