Klarifikasi Insiden Mina

oleh Reporter

06 Oktober 2015 | 13:36

Ada dua istilah di dalam ajaran Islam yang digunakan sebagai manifestasi sifat Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim-Nya (Maha Pengasih & Penyayang) Allah. Yang pertama disebut nikmat dan yang kedua disebut musibat. Meski demikian, namun dalam pandangan manusia kedua istilah ini dipersepsikan dalam “kemasan” berbeda. Kemasan pertama menggambarkan kebahagiaan, kemudahan, suka cita, dan kesuksesan. Sedangkan kemasan kedua menggambarkan kesedihan, kesusahan, duka cita, dan kegagalan. Persepsi “beda kemasan” ini tidak terlepas dari tabi’at manusia yang selalu menginginkan kenikmatan dan tidak menghendaki kesusahan. Sifat dan tabi’at ini telah digambarkan oleh Allah di dalam Al-Quran: إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19); Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah; dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” QS. Al-Ma’arij:19-21 Ayat ini dengan jelas menggambarkan sifat dan tabi’at manusia, yaitu apabila ditimpa kesusahan dan kekurangan, mereka takut, gelisah dan tidak menerima. Tetapi ketika diberi kenikmatan, mereka sama-sekali tidak ingat siapa sebenarnya yang memberikan semua itu. Orang yang beriman harus mampu melampaui sifat dan tabiat insaniyahnya, karena bagi orang beriman, kedua kemasan ini merupakan uji kualifikasi keimanan kita. Apakah ketika diberikan kenikmatan akan syukur ataukah kufur? Sedangkan ketika terkena musibat, apakah akan sabar atau putus asa? Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ujian Allah yang diberikan kepada manusia itu tidak hanya berupa kegagalan tetapi juga berupa kesuksesan, Allah Swt. Berfirman: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” QS. Al-Anbiya:35 Namun sebenarnya ujian dalam bentuk kenikmatan, kebahagiaan, dan kesuksesaan jauh lebih berat dibandingkan ujian dalam bentuk kesusahan dan kegagalan. Karena itu tidak sedikit manusia yang mampu istiqamah ketika diuji oleh kesusahan, namun lupa diri ketika diuji oleh kesenangan, bahkan dia tidak menyadari bahwa kesenangan itu juga merupakan ujian dari Allah. Fenomena sifat Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim-Nya (Maha Pengasih & Penyayang) Allah itu demikian kentara pada musim haji di tahun ini (1436 H/2015 M), baik bagi jamaah haji sebagai tamu Allah (dhuyuf ar-Rahmaan), keluarga yang di tinggalkan di tanah airnya masing-masing maupun kaum muslim di seluruh dunia. Sejak keberangkatan dari rumah masing-masing, para calon jamaah haji yang sekira 2 juta orang itu, saya yakini tidak mengetahui apa yang akan terjadi “di depan”. Mereka tentu tidak mengira akan datang beragam peristiwa di tanah suci, apalagi dapat menduga bahwa mereka akan menjadi “umat pilihan Allah yang disapa” oleh sifat Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim-Nya (Maha Pengasih & Penyayang) dalam wujud duka (musibat). Yang jelas, mereka semua meyakini bahwa apa pun yang berada “di depan” dapat terjadi dengan kuasa Allah. Karena itu, mereka datang ke tanah suci dengan niat semata-mata hendak mematuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, sehingga pantas berharap agar ibadah hajinya termasuk haji mabrur, sebagaimana terlukis dalam doa, yang telah mereka pelajari sejak bimbingan manasik haji di tanah air, yang diucapkan setelah melempar jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah: اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا “Ya Allah, jadikanlah ia sebagai haji mabrur dan dosa yang terampuni.” Mereka telah mengetahui bahwa melempar jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijjah itu dilakukan oleh Nabi saw. pada waktu dhuha, sehingga mereka berusaha mengambil waktu itu karena hendak meneladani Nabi saw. tentu saja dengan satu harapan agar mereka termasuk orang-orang senantiasa patuh terhadap pedoman manasik haji Nabi saw. Didasari atas keyakinan, motivasi, dan harapan di atas itulah, pada pagi hari Kamis, 10 Dzulhijjah 1436 H/24 September 2015 M, sejumlah jamaah haji yang tergabung dalam JKS 61 (embarkasi Jakarta Bekasi kloter 61) telah bersiap-siap menuju Jamarat yang terletak kira-kira 3,5 kilometer dari maktab mereka (7) yang berada di Mina Jadid. Dengan diiringi lantunan talbiah: LABBAIKA ALLAHUMMA LABBAIK LABBAIKA LAA SYARIKA LAKA LABBAIK INNAL HAMDA WAN NI’MATA LAKA WAL MULK LAA SYARIKA LAK. (“Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tak ada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan segala nikmat adalah kepunyaan-Mu. Demikian pula segala kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”), para jamaah yang masih mengenakan ihram itu berangkat ke Jamarat untuk melempar jumrah aqabah hari pertama. Rombongan jamaah haji, yang berusaha ingin meneladani manasik haji Nabi saw. itu, sebanyak 347 orang, terbagi ke dalam 8 rombongan (2-9) dan 31 regu. Masing-masing rombongan terdiri atas 45 orang kecuali rombongan 9 (31 orang). Rombongan itu dipimpin oleh Ustad Acep Saifudin, yang dalam perjalanan menuju jamarat itu berada di belakang. Mereka berangkat ke jamarat melalui Jalan King Fahd, sebagai Jalur “resmi” yang harus dilintasi oleh jamaah haji Indonesia menuju Jamarat. Jalur tersebut sesuai dengan pengaturan yang diberlakukan oleh Pemerintah Arab Saudi. Sekitar jam 06 pagi waktu setempat, pada saat tiba di persimpangan jalan antara Jalan 223—yang menjadi penghubung antara Jalan King Fahd dan Jalan 204—dan jalan yang menuju terowongan Mina Muaisim 3, kelima rombongan (2,3,5,6,7) berhasil melaju dengan tenang, namun tidak demikian dengan tiga rombongan (4,8,9) yang di belakang. Karena tanpa diduga sebelumnya, ketiga rombongan itu dihentikan oleh petugas Arab Saudi (Askar). Mereka dilarang lewat jalan ke terowongan, dan diminta berbelok ke kiri Jalan 223. Semula, pemimpin rombongan itu menolak dan ngotot untuk terus berjalan. Namun, askar tetap tidak memperbolehkan, sehingga mereka pun mengalah demi kemabruran haji, karena mereka sadar terhadap pedoman manasik, bahwa jamaah haji yang sedang ihram terlarang berbicara kotor, bertengkar, dan berkelahi (QS. Al-Baqarah:197). Saat mereka diminta berbelok ke kiri, Jalan 223, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di ujung sana (jalan 204). Mereka tidak kenal siapa askar “yang mengantar” mereka menuju musibah di jalan 204 itu. Mereka pun tidak tahu, mengapa “yang terpilih” untuk berbelok itu hanya orang-orang yang berada dalam rombongan 4,8,9. Mereka hanya tahu kondisi jalan sudah sangat padat sehingga jamaah harus saling berhimpitan. Tak berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba dari arah belakang ada ratusan orang berkulit hitam (Afrika) masuk ke jalan yang lebarnya hanya enam meter. Jamaah sudah mulai panik. Ustadz Acep, sebagai pemimpin rombongan, mencoba menenangkan. Keadaan menjadi tambah kacau, karena dari depan berlawanan arah muncul ratusan orang berwajah Arab. Mereka juga merangsek maju. Mereka berbalik arah karena pintu besi jamarat tiba-tiba ditutup. Akhirnya terjadi dorong-dorongan. Jamaah sudah berusaha minggir, namun terus terjepit hingga banyak yang berjatuhan dan terinjak-injak. Dengan segenap kemampuan yang ada, Ustadz Acep yang juga terinjak-injak saat kejadian itu, berusaha menolong jamaahnya. Di saat yang sama, Apep Wahyudin, ketua rombongan (karom) 4, berjuang untuk bangkit setelah jatuh karena terinjak pinggangnya oleh jamaah dari negara lain (Afrika). Orang yang menginjak Apep sudah terlepas kain ihramnya. Apep berteriak help me… help me. Apep akhirnya menarik tangan orang kulit putih yang membantunya untuk bangit. Apep selanjutnya menarik istrinya. Apep, untuk berjalan satu langkah pun susah karena istrinya masih terhimpit. Akhirnya Apep kembali dan menarik istrinya serta berusaha minggir. Sampai di pinggir Apep pingsan karena kelelahan. Dari 45 orang jamaah dalam rombongannya (rombongan 4), hanya tinggal 21 jamaah yang tersisa. Perjuangan berat dialami pula oleh Ustadz Sulwan Kosasih, ketua rombongan (karom) 9. Beliau terus terjepit hingga sudah melemas karena kekurangan oxygen dan dehidrasi hebat. Laa ilaaha ilallaah, hanya itu yang teringat dan terucap lemah karena beliau merasa malakal maut sudah mau menjemput. Terasa tetesan darah masuk mulut dari gigi yang patah tanpa bisa mengusap karena kedua tangan terjepit. “Saya ikhlas ya Allah jika takdir maut menjemput di sini. Tapi jika masih mempercayai untuk hidup berikan saya kekuatan untuk menyelamatkan diri,” gumam hatinya sambil berucap: Laa haula wa laa quwwata illaa billaah Tak lama kemudian, kekuatan dahsyat itu tiba-tiba muncul. Tangan, kaki, dan badan yang semula terjepit tanpa daya, seperti enteng terlepas dan tangan meraih besi-besi tenda itu. Beliau tidak tahu, entah dengan cara bagaimana dapat naik ke atap itu dengan mudah tanpa digelantungi orang-orang di bawah. Allaahu Akbar, sampai di atas beliau hanya bisa merendam diri dalam kubangan air semprotan yang sudah kotor dan sesekali memeras kain ihram untuk minum dengan air comberan itu, dan beliau tak ingat apa-apa lagi hingga sebuah botol berisikan air mineral menimpa gigi dan mulut. Beliau sadar masih hidup dan ketika botol dibuka, tiba-tiba saya dipegang oleh orang-orang yang berada di sisi kiri dan kanan dalam keadaan seperti sedang sekarat. Beliau berikan mereka minum bergantian, hingga mata mereka terbuka dan tersenyum karena sudah mendapatkan minum. Kini beliau mengalami kehausan hebat. Beberapa botol yang dilempar dari bawah tak ada yang tepat di tangan hingga tiba-tiba ada orang yang memberi air minum ke mulut. Alhamdulillah, hingga terdengar adzan zhuhur atau sekitar 4 jam, beliau tetap berada di atas atap yang sangat terik. Musibah dahsyat itu dialami pula oleh, Irfan Firdaus, ketua regu (karu) 4 rombongan 8. Dia bersama tujuh kerabatnya berhaji bersama. Setelah kejadian hanya tiga orang yang selamat. Irfan hanya mampu menarik dua orang, istri dan kakak perempuannya. Sedangkan kakak laki-laki dan istrinya tidak bisa dia tarik. Dia lihat kakak laki-lakinya pingsan dan dibawa mobil Askar. Sedangkan istrinya lebih parah lagi. Adiknya dan seorang temannya malah tidak dia lihat sama sekali. Musibah yang dialami seluruh jamaah dalam tiga rombongan (4,8,9), hingga membagi jamaah itu menjadi syahid, luka, dan lost contact, jika kita raba melalui sifat dan tabiat kita sebagai manusia, tentu saja sangat memilukan, karena di situ terdapat kesedihan, kesusahan, dan kesakitan. Musibah ini, bisa jadi “berefek negatif” terhadap sebagian orang untuk mengurungkan niatnya pergi ke tanah suci. Namun jika kita raba melalui sifat Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim-Nya (Maha Pengasih & Penyayang) Allah, di sana kita akan temukan kemulian dan kebanggaan, yang “berefek postif” terhadap sebagian orang yang antusias mengharapkan kemuliaan itu. Dikatakan mulia, karena musibah ini mereka alami di saat mereka sedang menjadi “tamu Allah”. Mereka berada di situ karena sedang berusaha mematuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Dengan musibah itu, mereka yang syahid telah dipertemukan dengan surga Allah. Mereka yang terluka, lukanya telah berbuah pahala. Mereka yang belum diketahui keberadaannya (lost contact) sedang berada dalam perlindungan Allah. Jika akhirnya kematian merupakan putusan yang terbaik menurut Allah, niscaya Allah segera “umumkan” kematiannya. Begitu pula jika hidup sebagai yang terbaik menurut Allah, niscaya Allah “mengembalikan” mereka kepada keluarganya. Mereka dikatakan jamaah yang membanggakan, karena mereka berjuang antara hidup dan mati di tengah himpitan orang banyak yang tinggi besar dan terinjak-injak, justru saat mereka hendak mematuhi seruan Allah dan Rasul-Nya dengan penuh harapan agar ibadah hajinya termasuk haji mabrur, hingga pembelokkan arah ke jalur 204 oleh askar dapat kita maknai bahwa mereka adalah umat terpilih yang layak mendapatkan “kemuliaan Allah” dalam musibah itu. Kita sebagai saudara, sahabat, dan keluarga mereka tentu sangat bersedih dan berlinang air mata. Namun tentu saja kesedihan itu akan kita kelola sesuai dengan keridhaan Allah agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan limpahan karunia dan petunjuk-Nya dalam musibah ini. By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Reporter: Reporter Editor: admin