Nabi Ayyub As selamat dari ujian
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ.
Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allâh[42].
ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ.
(Allâh berfirman): Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum[43].
Al-Maraghi menafsirkan surat al-Anbiya 84 yaitu Allâh mengijabah doa Nabi Ayyub dan menyembuhkan kemadharatannya dan apa yang telah menimpa Nabi Ayyub itu merupakan satu ujian dari Allâh[44]. Bagaimana Allâh menyembuhkan Nabi Ayyub? Hal itu dijelaskan pada surat Shâd 42. Terhadap ayat itu, Ibnu al-Jauzi menafsirkan Nabi Ayyub disuruh Allâh untuk menginjakkan kakinya ke tanah, kemudian ia menginjakkannya lalu memancarlah mata air. Air itu terdiri dari air untuk mandi dan air untuk minum[45]. Menurut al-Hasan, Ayyub menggerakkan kakinya lalu memancar mata air yang dingin lalu ia mandi, kemudian ia berjalan sekitar 40 sikut lalu menggerakkan kakinya lagi lalu memancarlah air dan ia meminum padanya. Sementara Shawi (III:104) menjelaskan, bahwa Allâh memerintahkan untuk menggerakkan kakinya pada tanah lalu memancar, lalu keluar mata air, dan menyuruhnya untuk mandi lalu hilanglah semua penyakit yang ada dari luar. kemudian Ayyub berjalan 40 langkah dan disuruh untuk menggerakkan kakinya ke bumi yang kedua kali, kemudian memancar mata air, lalu ia meminumnya, maka hilanglah semua penyakit yang ada di batinnya, lalu dia menjadi sehat seperti semula[46]. Pada bagian lain Shawi menjelaskan salah satu dari mata air itu memancar air yang hangat dan yang lainnya memancar air yang dingin. Kemudian Nabi Ayyub mandi dengan air hangat dan ia minum dari air lainnya (dingin)[47]. Al-Maraghi menjelaskan bahwa air itu menunjukkan air yang mengandung belerang yang berfaidah untuk menghilangkan penyakit di mana air itu berfaidah untuk digunakan bagi penyakit dzahir (bagian luar) dan dapat pula digunakan untuk diminum, untuk menyembuhkan penyakit kulit, seperti pemandian air hangat, dan penyakit-penyakit yang ada di dalam seperti air yang mengandung manisan[48]. Al-Suyuthi mengutip riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas menyebutkan,
فتنحى أيّوبَ فَجَلَسَ فىَ نَاحِيَةٍ وَجَاءَتِ امْرَأَتُهُ فَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقَالَتْ: يَاعَبْدَ اللهِ أَيْنَ الْمُبْتَلِيُ الَّذِي كَانَ هَهُنَا لَعَلَّ الكِلاَبَ ذَهَبَتْ بِهِ وَالذِّئَابَ؟ وَجَعَلَتْ تَكَلَّمُهُ سَاعَتٍ فَقَالَ: وَحَيْكِ ..! أَنَا أَيُّوْبُ قَدْ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ جَسَدِيْ.
Allâh menyembuhkan Ayyub lalu ia duduk di suatu tempat, kemudian datanglah istrinya, ia (istri) tidak mengenalnya, lalu istrinya berkata wahai hamba Allâh mana orang yang diuji yang ada di sini? Apakah mungkin anjing dan serigala telah membawanya? Terjadi percakapan dengannya beberapa saat, kemudian Ayyub berkata, aduh engkau, aku adalah Ayyub, Allâh telah mengembalikan jasadku padaku[49].
Nabi Ayyub As Dapat Ni'mat Lebih Besar
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ.
Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allâh[50].
وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنَّا وَذِكْرَى لِأُوْلِي الْأَلْبَابِ.
Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan ) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dam pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran[51].
Ibnu al-Jauzi menyebutkan, bahwa Nabi Ayyub As setelah diuji Allâh dengan hilangnya harta, anak dan sakit badannya, Allâh Swt mengembalikan pada Ayyub As keluarganya, yaitu anak-anaknya, dan dilipat gandakan bilangan mereka. Menurut Ibnu al-Jauzi ada 4 pendapat tentang ini,
- Pendapat Ibnu Mas’ud yang menyebutkan, bahwa Allâh Swt. menghidupkan keluarganya, dan memberinya anak di dunia dengan jumlah yang berlipat. Istri Ayyub As melahirkan 7 anak laki-laki dan 7 anak perempuan, lalu berkembang tambah banyak.
- Hisam menyebutkan, anak-anak Ayyub As telah hilang dan tidak mati, lalu Allâh mendatangkannya lagi di dunia dan di akhirat juga seperti itu.
- Al-Zujaj berpendapat, Ayyub As diberi keluarganya dan yang sepertinya di akhirat nanti[52].
Al-Maraghi menafsirkan bahwa Allâh Swt, memberi-kan kepada Ayyub As di dunia jumlah keluarga yang sama dan ditambah lagi yang sepertinya, lalu dari anak-anaknya lahir keturunan yang berlipat ganda[53]. Dan pada bagian lain al-Maraghi menjelaskan, bahwa Allâh Swt mengumpulkan keluarganya setelah bercerai berai, lalu Allâh Swt menjadikan keturunannya lebih banyak hingga berlipat[54]. Al-Maraghi menulis khulashah (ringkasan), bahwa Ayyub As diuji dirinya, anak dan hartanya. Maka ia diuji dengan sakit, binasa anak-anaknya, hilang hartanya sebagai imtihan dan ikhtibar baginya. lalu hilang kemadharatannya dan sembuh sakitnya serta diberi anak-anak yang mulia dan berlipat ganda serta keadaan dan hartanya juga menjadi sediakala[55]. Ia tidak menjelaskan berapa banyak hartanya juga anak-anaknya sebagaimana Alquran tidak menjelaskannya.
Shawi menyebutkan dalam uraiannya, Istri Ayyub As melahirkan setelah itu 26 anak (laki dan wanita), masing-masing dari mereka melahirkan 3 atau 7 anak, dan Allâh memberinya gudang gandum dan gudang syair hingga hartanya menjadi melimpah ruah[56].
Ali Al-Shabuni menjelaskan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata anak-anak Ayyub As telah mati terdiri dari 7 laki-laki 7 perempuan, ketika ia telah sembuh dari sakitnya mereka dihidupkan kembali untuk Ayyub As. Menurut al-Shabuni, tidak ada orang yang telah mati dikembalikan lagi ke dunia, maka yang benar ialah, Allâh telah mengganti dari istrinya anak-anak Ayyub As seperti yang telah hilang[57].
Nabi Ayyub As Memenuhi Janjinya
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِب بِّهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ.
Dan ambillah dengan tanganmu seikat(rumput), maka pukullah dengan itu (isterimu) dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta'at (kepada Rabbnya)[58].
Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa Allâh Swt berkata kepada Ayyub As agar mengambil seikat ranting kecil, lalu pukulkan kepada istrinya untuk memenuhi janjinya, dan tidak boleh melanggar sumpah (janji)[59]. Selanjutnya al-Shabuni menyebutkan pendapat para Mufassir, kenapa Ayyub As diperintah Allâh Swt untuk memukul istrinya dengan seikat ranting. Adapun sebabnya, Nabi Ayyub As telah berjanji (sumpah) untuk memukul istrinya 100 pukulan jika sembuh dari sakitnya. Hal itu karena, istri Ayyub As mengurus dan menjaganya saat Ayyub sakit. Ketika ujian semakin bertambah berat dan waktu semakin lama, Syetan berbisik pada istri Ayyub As, sampai kapan engkau akan bersabar? lalu istri Ayyub datang kepada Ayyub As dan berkata, Sampai kapan ujian ini? lalu Ayyub marah padanya atas perkataannnya itu, dan bersumpah jika Allâh Swt menyembuhkannya ia akan memukulnya (istrinya) 100 pukulan. Maka atas itu, Allâh menyuruhnya mengambil seikat ranting kecil yang padanya ada 100 batang ranting, lalu dipukulkan pada istrinya satu kali pukulan saja, dengan cara itu maka bebaslah janjinya. Kenapa istrinya tidak dipukul 100 pukulan tapi hanya satu pukulan saja dengan satu ikatan ranting yang terdiri dari 100 batang? Hal ini merupakan rahmat Allâh bagi Ayyub As dan istrinya yang senantiasa menjaganya dan bersabar atas ujian terhadap suaminya. Kata al-Shabuni ini adalah merupakan al-Faraj wa al-Makhraj (kelonggaran dan jalan keluar) bagi orang yang bertaqwa dan tha’at kepada Allâh Swt. Menurut Shawi hukum ini adalah kekhususan bagi Nabi Ayyub As sebagai kasih sayang terhadap istrinya, adapun dalam syariat kita, tidak bebas kecuali dengan 100 pukulan[60]. Ibnu al-Jauzi mengutip pendapat Ibnu katsir yang menafsirkan bahwa Ayyub As pernah marah terhadap istrinya karena ia mendapatkan dari istrinya sesuatu yang dikerjakan (yang Ayyub As tidak senang)[61]. Ada pendapat yang mengatakan bahwa istri Ayyub telah menjual untaian rambutnya dengan roti, lalu diberikan untuk makannya Ayyub As lalu dimarahinya dan berjanji jika disembuhkan Allâh Swt akan memukulnya 100 pukulan. Ketika sembuh, maka tidaklah pantas khidmat istrinya yang sempurna, kasih sayang dan kebaikan yang lebih terhadap suaminya mesti menerima pukulan. Untuk itu Allâh menyuruhnya mengambil seikat yang padanya terdiri 100 batang lalu dipukulkan kepadanya satu kali pukulan, lalu bebas dari janji dan telah menyempurnakan nadzarnya.
Al-Darwis mengutip pendapat al-Qurthubi yang menyebutkan, sebab Ayyub As berjanji itu ada 4 pendapat,
- Ibnu Abbas, yang menyebutkan, Iblis mendatangi istri Ayyub menyerupai seorang dokter, istri Ayyub minta kepadanya untuk mengobati Ayyub, dan Iblis pun menyanggupinya. lalu disampaikan pada Ayyub, dan berkata bahwa itu adalah Syaitan, lalu berjanji untuk memukulnya.
- Sa’id bin al-Musib menyebutkan, istri Ayyub membawa roti yang lebih dari biasanya. Ayyub takut ia berkhianat, lalu berjanji untuk memukulnya.
- Yahya bin salam yang berkata, bahwa syetan menyesatkan istrinya, agar menyembelih anak kambing sebagai taqarub (bakti) kepadanya yaitu syetan nanti akan sembuh, setelah disampaikan pada Ayyub, ia berjanji akan memukulinya.
- Istri Ayyub menjual untaian rambutnya dengan dua buah roti besar saat tidak ada sesuatu yang dapat dibawa kepada Ayyub, sedang Ayyub jika akan berdiri suka bergantung padanya, karena itu ia berjanji untuk memukulinya[62].
Al-Maraghi menjelaskan, kata al-Dhigtsu dalam ayat di atas adalah seikat kecil dari rumput dan tumbuhan. Allâh menyuruh Ayyub As mengambil seikat kecil dari tumbuhan atau rumput lalu dipukulkan padanya, dengan itu maka menjadi bebaslah janjinya. Menurut al-Maraghi, Alquran tidak menjelaskan kepada kita terhadap apa Ayyub telah berjanji, dan kepada siapa telah berjanji? Dan para rawi menjelaskan bahwa ia berjanji pada istrinya Rahmah binti Ifraim untuk memukulnya 100 pukulan jika sembuh, sedangkan istrinya pernah pergi untuk satu hajat, lalu ia terlambat. Allâh memberi rukhshakh untuk mengambil ikatan kecil dan dipukulkan padanya. Dengan ini menjadi bebas janjinya rahmat bagi Ayyub dan istrinya atas bakti dan senantiasa melakukan kewajiban rumah saat Ayyub sakit[63].
Ibrah bagi ummat
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan Allâh menjelaskan kisah Nabi Ayyub As itu untuk jadi peringatan, wa dzikrâ li al-‘Âbidîn (untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allâh)[64]. Pelajaran dan suri tauladan dalam bersabar saat diuji Allâh, innâ wajadnâhu shâbirân ni’ma al-‘Abdu innahu awwâb, (Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta'at (kepada Rabbnya)[65]. Ia seorang yang sabar, hamba yang baik dan amat ta’at kepada Allâh Swt.
Abdul Wahab al-Najjari menyebutkan, bahwa Ayyub As itu seorang yang masyhur dalam beristiqamah, taqwa dan shabar, karena itu ia digelari dengan al-Shadiq dan dijadikan sebagai contoh dalam kesabaran[66]. Ibnu al-jauzi mengutip perkataan Muhammad bin Ka’ab yang mengatakan, siapa yang mendapat ujian maka hendaklah ingat terhadap apa yang telah menimpa kepada Nabi Ayyub As. Dan berkatalah,
إنّهُ قَدْ أَصَابَ مَنْ هو خَيْرٌ مِنِّي.
Sesungguhnya (ujian itu) telah menimpa kepada orang yang lebih baik daripada aku[67].
Al-Maraghi menyebutnya kisah Ayyub itu sebagai tadzkirah bagi hamba agar bersabar sepertinya yang selanjutnya diberi pahala sebagaimana Nabi Ayyub mendapatkan balasan yang baik di dunia dan akhirat[68]. Dalam bagian lain Al-Maraghi mengutip satu riwayat yang menyebutkan setiap kali Nabi Ayyub mendapatkan musibah ia berkata,
اَللَّهُمَّ أَنْتَ أَخَذْتَ و أَنْتَ أَعْطَيْتَ.
Ya Allâh, Engkau telah mengambilnya dan engkau telah memberinya
Dan saat bermunajat, Nabi Ayyub As mengucapkan,
إلَهِي قَدْ عَلِمْتَ أَنّهُ لَمْ يُخَالِفْ لِسَانِي قَلْبِي وَلَمْ يَتَّبِعْ قَلْبِي بَصَرِي وَلَمْ يُلْهِنِي مَامَلَكَتْ يَمِيْنِي وَلَمْ آكُلْ إِلاَّ وَمَعِيْ يَتِيْمٌ وَلَمْ أَبِتْ شَبْعَانٌ وَلاَ كَاسِيًا وَمَعِي جَائِعٌ أَوْ عُرْيَانٌ.
Tuhanku! Engkau telah mengetahui sesungguhnya lidahku tidak menyalahi hatiku dan hatiku tidak mengikuti penglihatanku dan apa yang dimiliki tangan kananku tidak melalaikanku dan aku tidak makan kecuali bersamaku ada anak yatim dan aku tidak tidur dalam kenyang dan tidak mengenakan pakaian sementara bersamaku ada orang lapar atau tidak berpakaian (telanjang)[69].
Al-Darwis menyebutkan hikmah dari kisah Ayyub As yaitu,
دِيوانٌ حافِلٌ عَن الصَبْرِ علي البَلاَء - وَعَدَمُ البَطَرِ في الرُخَاء.
Gudang yang penuh dengan kesabaran saat mendapat ujian - dan tidak salah menempatkan kemewahan dunia[70].
Ali al-Shabuni mengutip perkataan al-Qurthubi yang menyebutkan bahwa kisah Ayyub As itu merupakan pelajaran bagi hamba-hamba, jika mereka ingat akan ujian Ayyub, kepahitan dan kesabarannya, mereka dapat menempatkan dirinya dalam kesabaran terhadap kerasnya dunia sebagaimana yang dilakukan Ayyub As, maka hamba tersebut hamba yang paling utama (afdhal) pada zamannya[71]. Pada bagian lain al-Shabuni mengatakan, sebaik-baik hamba itu adalah Ayyub As, ia senantiasa kembali kepada Allâh, bertaubat, tetap taat dan beribadah[72].
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras lil Alfadh al-Quran al-karim, Dar al-Ma'rifah, baerut, Lubnan, 1992.
Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir ,II, III, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Baerut- Lubnan, 1998.
Muhyidin al-Darwis, 'I'rab Alquran wa Bayanuhu ,V, VI , Dar Ibnu Katsir, Baerut,2001.
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, VI,VIII, Dar al-Fikr, Baerut, Lubnan, 1974.
Ahmad Shawi al-Maliki, Hasiyah al-'Alamah al-shawi, III, Dar Fikr, Baerut,1993.
Jalaludin al-Suyuthi, Al-Dur al-Mantsur, V, VII, Dar al-Fikr, Baerut, Lubnan,1992.
Ali Bin Muhamad al-jauzi, Zad al-Masir fi Ilmi Tafsir, V, VII, Al-Maktabah al-Islamiyah, baerut, 597 H.
Abd al-Wahab al-Najari, Qishash al-Anbiya, Dar al-Fikr, Baerut, tanpa tahun.
________________________
[42] Qs. Al-Anbiya [21]:84.
[43] Qs. Shâd [38]:42.
[44] Al-Maraghi, Op. Cit. VI [17]:60.
[45] Al-Jauzi, Op. Cit. VII:142.
[46] Shawi, Op. Cit. III:104.
[47] Ibid, III:444.
[48] Al-Maraghi, Op. Cit. VIII [23]:124.
[49] Al-Suyuthi, Op. Cit. VII:193.
[50] Qs. Al-Anbiya [21]:84.
[51] Qs. Shâd [38]:43.
[52] Al-Jauzi, Op. Cit. V:378.
[53] Al-Maraghi, Op. Cit. VI [17]:61.
[54] Ibid, VIII [23]:125.
[55] Ibid, VI [17]:61.
[56] Shawi, Loc. Cit.
[57] Al-Shabuni, Op. Cit. II:186.
[58] Qs. Shâd [38]:44.
[59] Al-Shabuni, Op. Cit. III:44.
[60] Shawi, Op. Cit. III:444.
[61] Al-Jauzi, Op. Cit. VII:143.
[62] Muhyidin al-Darwis, Op. Cit. VI:471.
[63] Al-Maraghi, Op. Cit. VIII [23]:124-126.
[64] Qs. Al-Anbiya [21]:84.
[65] Qs. Shâd [38]:44.
[66] Al-Najari, Loc. Cit.
[67] Al-Jauzi, Op. Cit. V:379.
[68] Al-Maraghi, Op. Cit. VI [17]:61.
[69] Ibid, VIII [23]:126.
[70] Muhyidin al-Darwis, Op. Cit. V:67.
[71] Al-Shabuni, Op. Cit. II:186.
[72] Ibid, II:44.
BACA JUGA: Tafsir Al-Furqon Surat Al-Baqoroh Ayat 16-20