Hal yang menyelamatkan mereka adalah masih kuatnya kepercayaan mereka kepada Rasulullah Saw. Mereka masih yakin bahwa Rasulullah Saw. dibimbing selalu oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. juga sangat mereka percaya sudah tidak punya lagi ambisi duniawi sehingga mereka percaya bahwa beliau dapat menyelesaikan urusan duniawi secara adil. Akhirnya mereka mengaduklan masalahnya kepada Rasulullah Saw. Benar saja, setelah beliau menerima wahyu Allah Swt. dalam surat Al-Anfal di atas para sahabat semakin percaya pada beliau akhirnya mau tunduk kepada keputusan beliau. Ini bukan hanya sekedar karena kepercayaan, tetapi juga karena yang disampai Rasulullah Saw. dalam ayat tersebut sangat masuk di akal mereka.
Pertama, mereka diingatkan bahwa rampasan perang itu hanyalah nafl (bonus), bukan yang pokok. Pada ayat ini, ghanimah diungkapkan dengan kata anfâl (jamak dari nafl) yang artinya kelebihan atau bonus, bukan yang pokok. Dengan ungkapan ini saja, kita diajak berpikir bahwa ghanimah bukanlah hal yang utama dalam sebuah peperangan atau perjuangan apapun. Ada atau tidak ada ghanimah semestinya tidak mengaruhi kualitas semangat dan amal dalam perjuangan. Sejak perjuangan dicanangkan, ghanimah bukanlah tujuan. Bilapun ada anggap saja sebagai bonus seperti petani yang mencangkul di sawah mendapatkan belut. Tentu saja tidak mengapa belut diambil. Tetapi jangan gara-gara ada belut, lantas mencangkulnya tidak fokus lagi untuk meratakan dan merapikan tanah persiapan menanam. Ia malah terus mencangkul tidak tentu arah hanya untuk mendapatkan belut yang lain. Saat belut yang dicari ternyata tidak lagi ditemukan, kecewalah ia. Lahan pesawahan hancur, mencangkul ditinggalkan. Ini semacam penataan niat dan orientasi dalam perjuangan. Semua perjuangan harus berfokus pada niat awalnya. Perang adalah mengalahkan musuh. Dakwah adalah menyebarkan agama. Ukuran keberhasilannya adalah konsistensi dalam apa yang tengah diperjuangkan. Jika di dalam prosesnya ternyata ada “ghanimah” itu hanyalah bonus yang boleh diambil sebagai anugerah dari Allah Swt.
Kedua, rampasan perang itu hakikatnya milik Allah Swt. sehingga secara hakiki, siapapun tidak boleh merasa paling berhak atas ghanimah tersebut. Mereka yang datang berperang bukan bertujuan mencari ghanimah. Tujuan utamanya adalah mencari ridha Allah Swt. Oleh sebab itu, saat ghanimah didapatkan, biarkanlah ghanimah itu tetap menjadi milik Allah Swt. Kalaupun nantinya akan dibagi-bagikan, maka pembagiannya harus diserahkan pada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Status ghanimah ini hampir sama dengan harta warisan yang pembagiannya diserahkan kepada Allah Swt., karena hakikatnya ia adalah milik Allah Swt. yang kepemilikannya hilang karena telah meninggal dunia. Ghanimah pun asalanya harta milik orang lain yang kepemilikannya hilang karena ditinggalkan atau mati terbunuh di medan tempur. Kesadaran bahwa harta-harta semacam ini adalah milik Allah Swt. dan bila dibagikan harus tunduk sepenuhnya pada aturan Allah Swt., bukan mengikuti hawa nafsu sendiri adalah asasi. Inilah yan dijelaskan kemudian oleh Allah Swt. dalam rangkaian ayat tersebut.
Ketiga, takwa dan ketaatan pada Allah Swt. adalah pokok utama sikap orang beriman. Untuk menghindari dominasi hawa nafsu dalam menghadapi harta, apalagi seperti rampasan perang, sikap yang harus didahulukan adalah ketakwaan pada Allah Swt. Wujud ketakwaan adalah keikhlasan diri hanya mencari rishi Allah Swt. dan kemauan tunduk pada aturan Allah Swt. di dalam amal zhahir ketakwaan akan tercermin pada kemauan melaksanakan semua perintah Alah Swt. dan menjauhi semua larangannya. Ketakwaan adalah mentalitas utama seorang mukmin. Ketakwaanlah yang akan mengingatkannya pada tujuan utama hidup yang sedang dijalaninya. Sebab tanpa ketakwaan, orang yang bergelut dengan harta benda, apalagi dalam jumlah yang banyak mudah terjerumus pada jalan sesat; menjadikan harta sebagai barometer keberhasilan dan tujuan dari kehidupan. Tanpa istrumen ketakwaan manusia akan segera menjadi penghamba dan pemuja dunia.
Keempat, hubungan antar-sesama muslim lebih penting daripada mendapatkan ghanimah. Dalam konteks harta umum yang akan dibagikan hak-haknya kepada publik seperti ghanimah ini, Allah Swt. mengingatkan hal yang lebih tinggi nilainya, yaitu hubungan baik antar-sesama saudara dan manusia (ishlâh dzât al-bain). Di dalam hidup bermasyarakat hubungan baik adalah modal utama. Sebab, dengan hubungan baik antar-sesama anggota masyarakat akan timbul “jejaring pengaman social” yang alami. Saat ada masyarakat yang terkena musibah, butuh pertolongan, dan sebagainya, tidak akan sulit mereka mendapatkan pertolongan dari sesamanya. Berbeda bila terjadi persengketaan dan permusuhan. Tentu antar-warga masyarakat akan saling diam dan saling membiarkan urusan masing-masing. Sulit untuk saling membantu. Allah Swt. mengingatkan posisi ini karena “perebutan” ghonimah berpotensi memecah belah umat dan masyarakat. Seringkali timbul hasad, dengki, dan permusuhan karena merasa ada ketidakadilan dalam pembagian ghanimah ini. Oleh sebab itu, tiga hal di atas harus diperhatikan saat ghanimah didapatkan agar pembagian yang dilakukan oleh pemimpin yang diatur bedasarkan ketentuan dari Allah Swt. dapat diterima dengan ikhlas dan lapang dada.
Dari kisah di atas, pelajaran kekinian apa yang dapat kita ambil, terutama dalam konteks membangun kekuatan jam’iyyah dan umat? Kita semua walaupun tidak menghadapi perang seperti masa Rasulullah Saw. pada hakikatnya sama-sama tengah berjuang menegakkan agama Allah Swt. melalui gerakan dakwah. Gerakan dakwah bukan gerakan untuk menumpuk harta benda atau meraih kekuasaan. Harta dan kuasa dalam dakwah hanyalah alat untuk menopangnya. Kaidah ini sangat dipahami oleh para aktivis dakwah sehingga pada mulanya semua paham bahwa keberhasilan dakwah ukurannya adalah seberapa luas aturan dan ajaran Allah Swt. bisa diterima dan dijalankan oleh umat. Tegaknya agama Allah Swt. adalah hal yang utama. Bukan yang lainnya.
Dalam perjalanan perjuangan dakwah seperti yang dialami Rasulullah Saw., hampir semua memulai dengan modal yang minim. Kesulitan, kemiskinan, tekanan, dan intimidasi seringkali terjadi pada awal mula suatu gerakan dakwah dicanangkan. Pada masa ini umumnya soliditas di antara para pejuang masih timggi. Tingkat pengorbanan demi tegaknya dakwah juga sangat besar. Biasanya hasil binaan dalam periode semacam ini adalah kader-kader dengan melitansi yang tinggi, siap menghadapi situasi sesulit apapun. Seperti itulah kader-kader hasil didikan Rasulullah Saw. di Mekah. Tidak ada yang tidak mengakui militansi dan kemampuan kepemimpinan kaum Muhajirin yang ditempa sangat keras di Mekah. Akan tetapi, dakwah tentu saja harus terus bekembang. Suatu saat kesabaran, konsistensi, dan husnuzhan billâh akan mengantarkan dakwah pada fase berikutnya, seperti Rasulullah Saw. diantarkan pada Periode Madinah. Periode Madinah adalah ibarat dari mulai bergeraknya dakwah dari masa sulit menuju masa lebih berat karena diberi kemudahan untuk masuk ke dalam berbagai relung-relung peradaban manusia.
BACA JUGA:Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam