Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam

oleh Redaksi

26 Januari 2025 | 14:14

Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum

Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum


 ﴿فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِٱلۡجُنُودِ قَالَ إِنَّ ٱللَّهَ مُبۡتَلِيكُم بِنَهَر فَمَن شَرِبَ مِنۡهُ فَلَيۡسَ مِنِّي وَمَن لَّمۡ يَطۡعَمۡهُ فَإِنَّهُۥ مِنِّيٓ إِلَّا مَنِ ٱغۡتَرَفَ غُرۡفَةَۢ بِيَدِهِۦۚ فَشَرِبُواْ مِنۡهُ إِلَّا قَلِيلا مِّنۡهُمۡۚ فَلَمَّا جَاوَزَهُۥ هُوَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥ قَالُواْ لَا طَاقَةَ لَنَا ٱلۡيَوۡمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِۦۚ قَالَ ٱلَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَٰقُواْ ٱللَّهِ كَم مِّن فِئَة قَلِيلَةٍ غَلَبَتۡ فِئَة كَثِيرَةَۢ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ﴾ [ البقرة: 249]  


Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku". Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya". Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar".


Ayat di atas menceritakan kisah keberhasilan pasukan Raja Thalut mengalahkan Raja Jalut. Nabi Daud as. turut bersama pasukan Thalut. Semula pasukan yang ikut bersama Raja Thalut berjumlah ribuan. Hanya saja, Thalut ragu bahwa mereka semua memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk menghadapi musuh yang sangat kuat dan tangguh, yaitu Jalut. Untuk itu, ia kemudian ingin menguji komitmen dan militansi mereka. Di tengah perjalanan melintasi gurun yang panas tentu saja semua merasa lelah dan kehausan. Saat melintasi sebuah sungai dengan air yang jernih, tentu semuanya sangat berhasrat untuk mengambil air dari sana atau bahkan mandi menyegarkan diri. Namun, inilah saatnya Thalut ingin menguji komitmen dan keteguhan mereka. Ia kemudian menyeru bahwa tidak boleh ada seorang pun yang meminum air dari sungai itu. Jika ada yang minum, maka dia harus kembali pulang. Tentara yang boleh ikut hanya yang tahan tidak minum. Dari sekian ribu pasukan, hanya tiga ratus orang lebih sedikit yang mematuhi perintah Thalut. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah pasukan Rasulullah Saw. dalam Perang Badar saat menghadapi lebih dari seribu pasukan Quraisy pimpinan Abu Jahal. Namun, walaupun jumlah Pasukan Thalut dan Pasukan Badar berjumlah jauh lebih sedikit dari lawan yang dihadapinya, Allah Swt. menakdirkan mereka menjadi pemenang. Kuncinya bukan jumlah, melainkan keyakinan yang kuat terhadap Allah Swt. bahwa mereka beramal sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah Swt. yang diwujudkan keyakinan itu dengan komitmen terhadap pemimpinnya. Oleh sebab keyakinan itulah, mereka rela mengorbankan dorongan nafsu dunawi mereka untuk meminum air dari sungai yang dilewatinya itu. Mereka yakin sekali bahwa jumlah yang kecil tidak menjadi halangan untuk mengalahkan jumlah pasukan yang lebih besar.


Isyarat Al-Quran ini sesungguhnya juga telah dialami banyak orang sehingga mudah sekali memahaminya. Dalam banyak kasus kita menyaksikan bahwa komunitas-komunitas kecil-lah yang memulai sebuah perubahan, bukan dari kumpulan yang besar. Sejarah dari masa lalu pun memperkuat teori ini sehingga ini hampir menjadi suatu hukum alam (sunnatullah) dalam kehidupan di dunia ini.


Islam hadir ke dunia ini juga bermula dari sekelompok kecil orang yang percaya kepada kenabian Muhammad Saw. Bahkan hingga hijrah ke Madinah pada tahun ke-13 dari kenabian, kurang dari 400 orang saja yang menjadi pengikut Nabi Saw Akan tetapi dari komunitas kecil inilah kemudian secara perlahan tapi pasti ditunjukkan oleh Allah Swt. kemudahan-kemudahan untuk meraih kemenangan. Hanya berselang delapan tahun dari hijrah, kota Mekah dapat ditaklukkan. Tidak lama setelah itu berbondong-bondong datang dari berbagai penujuru tanah Arab orang-orang yang menginginkan masuk menjadi barisan kaum Muslim. Setelah itu Islam berkembang ke seluruh penjuru dunia menjadi jejaring peradaban baru yang menguasai dunia.  


Dalam sejarah bangsa kita di Indonesia pun lahirnya bangsa ini diawali dengan diskusi-diskusi kecil orang-orang yang dianggap “kurang waras”. Anak-anak muda yang tidak jelas pekerjaannya apa, namun mereka adalah kaum intelektual muda yang diasah oleh bacaan dan diskusi-diskusi. Wawasannya itu yang kemudian membuat mereka menjadi “pemimpi.” Padahal pada masa itu, anak-anak muda yang berkuliah mestinya jadi kebanggaan orang tua. Lulus kuliah sudah ditunggu berbagai pekerjaan yang tinggi upahnya dan mulia derajatnya. Menjadi ambtenaar mengabdi pada pemerintah Hindia Belanda sangat terbuka. Jangan ditanya hidup pasti sejahtera. Namun, anak-anak muda kaum intelektual justru melawan arus adat masyarakat zaman Kolonial itu. Mereka memilih jalan mimpinya sendiri untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Mereka sadar bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan terjal penuh batu. Derita diasingkan dan dihambat penghidupan sudah amat sangat didasari. Ini konsekwensi memilih menjadi manusia dengan idealisme bagi masa depan bangsanya. Leiden is leijden kata Haji Agus Salim. Memimpin itu menderita.


Indonesia sebagai negara yang lahir tahun 1945 silam adalah hasil impian merdeka dari kaum muda aktivis-intelektual seperti Agus Salim, Sukarno, Natsir, Sutomo, dan lainnya. Mereka mula-mula bukan siapa-siapa. Hanya segelintir anak muda “pengangguran” karena memilih untuk tidak tunduk pada keadaan yang mengekangnya. Hanya saja mereka terdidik. Didikan yang mereka dapatkan menghasilkan ilmu yang râsikh (kuat menghujam di dalam dada). Ilmu inilah yang memunculkan ghîrah (semangat) membara penuh cita-cita mulia demi tegaknya negeri adil makmur seperti yang mereka cita-citakan. Dari sanalah muncul gerakan kecil memerdekakan Indonesia.


Kelompok-kelompok kecil di mana pun pasti ada dan mugkin jumlahnya sangat banyak. Namun tidak semuanya sanggup bertahan apalagi sampai mengembangkan suatu peradaban yang tinggi. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan: kolompok kecil seperti apa yang sanggup menjadi pionir lahirnya peradaban yang hebat atau minimal menjadi pionir lahirnya suatu karya bersama yang hebat? Jawaban ini akan kita pinjam dari teori Arnold Toynbee dalam bukunya The Study of History tentang challenge and respond dan creative minority.

BACA JUGA:

Benarkah Isra Mi’raj Tanggal 27 Rajab?

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon