Ketika dakwah sudah sampai mengakses simpul-simpul peradaban manusia (tamaddun; madînah), salah satu yang disiapkan oleh Allah Swt. adalah kemenangan dan ghanîmah. Peradaban manusia membutuhkan benda-benda penopang kehidupan, bukan hanya militansi dan semangat berkorban. Untuk masuk pada fase ini, pada awal mula Allah Swt. akan menguji para pejuang dengan kemenangan. Kekuasaan yang dahulu sulit ditembus, kini mudah diakses. Musuh-musuh yang dahulu mengintimidasi, satu per satu tunduk. Setelah itu, sumberdaya ekonomi juga mudah didapatkan seperti halnya ghanimah yang tersisa setelah peperangan dimenangkan.
Pada saat inilah ujian lebih berat akan dihadapi. Bila pada saat sulit yang dihadapi adalah musuh eksternal. Hati masih bersih berharap pertolongan dan bantuan Allah Swt. sehingga godaan setan lebih mudah untuk diatasi. Akan tetapi, ketika yang dihadapi adalah kemenangan dan kemudahan justru malah melalaikan hati. Kemenangan dan kemudahan sering dianggap sebagai “hasil” yang dituju oleh dakwah, bukan sebagai “ujian” dalam bentuk lain untuk menegakkan dakwah. Karena disangka sebagai hasil dari dakwah, akhirnya banyak yang lalai tidak lagi merasa butuh dibantu oleh Allah Swt. Tujuan dianggap sudah tercapai. Hati pun menjadi semakin melupakan Allah Swt. Pada saat itulah setan dengan leluasa membisikkan keburukan dalam hati para pejuang. Mula-mula setan akan menghembuskan ujub dan takabbur bahwa semua hasil yang didapatkan adalah hasi jerih payahnya, kekuatannya, dan kecerdasannya. Setelah itu, ia merasa bahwa ialah yang paling berhak atas kekuasaan atau harta “ghanimah” yang didapatkan dari proses dakwah tersebut.
Ketika yang berpikiran semacam ini bukan hanya seorang, tapi banyak juga yang lainnya, maka akan terjadi saling klaim. Mereka yang saling mengklaim karena dorongan keinginan berkuasa dan memiliki kekayaan akan mudah sekali terus dipanas-panasi oleh setan untuk saling menyerang satu sengan yang lain. Dari sinilah kemudian akan terjadi pesengketaan, perselisihan, perpecahan, bahkan peperangan antar-saudara. Situasi seperti ini terjadi bukan pada saat perjuangan pada masa sulit, melainkan pada masa dakwah mulai menanjak dan berpengaruh luas. Perpecahan akhirnya menyebabkan dakwah menjadi lemah. Orang-orang yang berdakwah pun menjadi lemah karena tujuan sudah berubah, bukan lagi ingin menegakkan agama Allah Swt., melainkan untuk mendapatkan bagian dari dunia.
Di sinilah kita harus kembali kepada nasihat Allah Swt. di atas. Kunci utamanya adalah “ketakwaan” pada Allah Swt. Poros utama untuk menjaga ketakwaan ini adalah kesadaran kehadiran Allah Swt. setiap saat dalam hidup kita. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan terus menghidupkan dzikrullâh. Dzikrullah yang utama didasarkan pada ilmu. Ilmu akan semakin menguatkan kesadaran dan ikatan kita pada Allah Swt. Oleh sebab itu, Imam Al-Ghazali selalu menasihatkan kepada ulil-amri (para pemangku urusan umat) untuk mewajibkan pada diri mereka untuk selalu mendengarkan nasihat, mendalami ilmu, dan menguatkan pikiran. Ilmu adalah pintu dzikrullah yang utama untuk membangun kesadaran kelemahan diri dan keagungan Allah Swt. Penjaga dzikrullah selanjutnya adalah menjaga ibadah pada Allah Swt., baik yang wajib maupun sunat.
Setelah kesadaran dijaga, maka setiap orang harus berusaha mengutamakan ukhuwwah daripada urusan ghanimah yang manfaatnya hanya sementara. Ini juga perlu kesadaran rûhiyyah yang tinggi tentang betapa menjaga ukhuwwah merupakan ibadah yang amat tinggi nilainya di hadapan Allah Swt. Menjaga hubungan antar-manusia membutuhkan usaha berat mengorbankan egoisme pribadi dan dorongan memiliki harta yang bukan haknya. Dari sinilah tingginya nilai ibadah ukhuwwah. Semakin tinggi pengorbanan diri demi menjaga ukhuwwah semakin tinggi pula nilai ibadahnya pada Allah Swt. Terjaganya ukhuwwah merupakan dasar bagi persatuan di dalam gerakan dakwah akan tetap terjaga. Persatuan dan kesatuan gerak adalah sumber kekuatan dakwah dalam menyebarkan kebaikan dan melibas kebatilan. Demikianlah pelajaran yang dapat diambil dari kisah perebutan ghanimah selepas Perang Badar yang dapat diselesaikan dengan baik oleh para sahabat yang masih mengutamakan iman dan takwa dalam hidup mereka. Wallâhu A’lam bi al-shawwâb.
BACA JUGA:Menyiapkan Creative Minority Untuk Kemajuan Peradaban Islam