Bonus Demografi dan Janji Kemerdekaan yang Belum Selesai

oleh -

20 Agustus 2025 | 17:27

Zaeni Abdul Rahim

Oleh: Zaeni Abdul Rahim (Peneliti ekonomi dan aktivis PERSIS)


Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, kita kembali disadarkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir perjuangan, tetapi awal dari tanggung jawab besar untuk menyejahterakan rakyat. Salah satu mandat kemerdekaan yang kini sedang dihadapi adalah bagaimana kita mengelola bonus demografi, sebuah peluang emas yang hanya hadir sekali dalam sejarah bangsa.


Dalam dunia ekonomi pembangunan, istilah bonus demografi kerap dielu-elukan sebagai momen emas suatu bangsa menuju transformasi ekonomi dan sosial. Bonus ini terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar daripada usia non-produktif.


Indonesia, negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, tengah berada di ambang peluang tersebut. Lebih dari 65 persen rakyat Indonesia saat ini berada dalam usia produktif. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi sinyal sejarah bahwa bangsa ini sedang diberi window of opportunity yang tidak datang dua kali.


Namun, peluang bukan jaminan. Bonus demografi adalah potensi, bukan otomatisasi kemajuan. Dan seperti semua potensi, ia bisa menjadi keuntungan atau justru berubah menjadi beban.


Potret Demografi Indonesia


Saat ini, Indonesia tengah menikmati momen langka yang hanya akan hadir satu kali dalam perjalanan sebuah bangsa. Berdasarkan proyeksi BPS tahun 2020-2050, penduduk usia produktif telah mendominasi sejak 2012 dan terus meningkat hingga kini, dan puncaknya bonus demografi di prediksi terjadi dalam dekade 2030, hingga berakhir pada tahun 2040.


Apabila proyeksi ini berjalan lancar, maka seharusnya tahun 2045 merupakan puncak Indonesia Emas, menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan pendapatan per kapita mencapai 30 dollar AS.


Untuk meraih visi besar tersebut, kita perlu memahami kondisi demografi Indonesia secara jernih. Berdasarkan data BPS (2025), secara demografi, Indonesia saat ini dihuni oleh lebih dari 284 jiwa, dengan komposisi 196 juta penduduk (69 persen) berada dalam rentang usia produktif (15-64 tahun), dan lebih dari 88 juta jiwa (31 persen) tergolong dalam kategori usia tidak produktif.


Komposisi tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai rasio ketergantungan (dependency ratio), yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia tidak produktif dengan mereka yang berada di usia produktif. Rasio ini mencapai 45,02 persen, artinya setiap 100 orang produktif hanya menanggung sekitar 45 orang yang tidak bekerja secara ekonomi.


Angka tersebut menandakan bahwa rasio ketergantungan Indonesia berada pada titik yang relatif menguntungkan. Mayoritas penduduk berada pada fase usia yang secara teori mampu bekerja, berinovasi, berkontribusi secara ekonomi, dan menjadi penopang kehidupan sosial.


Meskipun Indonesia tengah menikmati periode bonus demografi, faktanya distribusi struktur usia produktif tidaklah merata di seluruh wilayah. Beberapa daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan kesiapan lebih baik dibanding wilayah-wilayah seperti NTT, Maluku, dan Papua yang masih menghadapi tantangan kualitas SDM dan tingginya ketergantungan.


Karena itu, strategi bonus demografi harus berbasis wilayah dan tidak bersifat seragam. Daerah tertinggal butuh dukungan kebijakan afirmatif agar dapat turut menikmati peluang demografis yang sama.

BACA JUGA:

Ketua PW PERSIS Jakarta Ungkap Arti Kemerdekaan Sejati

Reporter: - Editor: Fia Afifah Rahmah