Dakwah di antara Simbol, Ritus, dan Struktur Sosial
Tiar Anwar Bachtiar
Dakwah, seperti dijelaskan sebelumnya, berhubungan langsung dengan perubahan. Dakwah memberikan visi perubahan menuju arah tertentu, yaitu berjalan menuju Allah Swt. sehingga kebudayaan pun diarahkan sepenuhnya agar berjalan menuju Allah Swt. Dalam pandangan hidup Islam, perjalanan menuju Allah Swt. merupakan misi utama hidup manusia. Perjalanan ini akan memberikan efek kebahagiaan (happiness) di dunia dan di akhirat kelak sebagai terminal akhir kehidupan manusia. Masalah selanjutnya yang harus dijelaskan adalah bagaimana agar misi ini menjadi bagian inheren dalam kebudayaan agar manusia dapat menjalankannya dengan ringan dan sesuai dengan tabiat kemanusiaannya?
Aspek-aspek kebudayaan manusia, baik pemaknaan (ide), tindakan, maupun karya-kriya, akan berkumpul pada tindakan budaya yang selalu ada dalam seluruh kompleks kebudayaan, yaitu pada simbol, ritual, dan struktur sosial. Simbol adalah objek, gambar, gestur, suara, atau suatu kegiatan tententu yang berdasarkan kesepakatan (konvensi) komunitas tertentu diasosiasikan dengan makna tertentu. Misalnya warna pelangi di kalangan feminis diasosisikan dengan pengakuan terhadap banyak oreintasi seksual dan gender selain laki-laki dan perempuan atau dikenal dengan istilah LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer); sarung sebagai simbol santri; mobil mewah sebagai simbol kekayaan; salib sebagai penanda Kristen, dan sebagainya. Dalam satu simbol terdapat ide (makna), tindakan, dan benda. Di dalam simbol inilah berpadu tiga unsur kebudayaan secara bersamaan dalam kadar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Menggabungkan objek, tindakan, dan makna, “ritual” adalah jenis khusus dari tindakan berpola yang dilakukan secara berulang yang dihubungkan dengan sutau makna tertentu yang disepakati dalam satu komunitas. Di dalam ritual terkandung “simbol” dan “peran” yang direpresentasikan oleh gestur tubuh, musik, dan gerakan tertentu. Ritual biasanya dilakukan oleh orang-orang khusus yang sudah terbiasa atau terlatih melakukannya, baik secara individual maupun kelompok. Suatu ritual menyatukan di dalamnya: simbol, praktik, dan pandangan hidup (worldview).
Ritual ini ada yang bersifat umum (publik) yang dilakukan melibatkan masyarakat secara terbuka. Ini disebut sebagai common ritual. Contohnya ritual lebaran pada komunitas Muslim. Ini kategori ritual umum. Ritual ini pada mulanya adalah ketentuan syariat. Syariatnya sesungguhnya hanya sebatas melaksanakan shalat dua rakat dan khutbah Idul Fitri pada setiap tanggal 1 syawal. Tuntutan syariat ini kemudian berkembang menjadi ritual yang mengandung berbagai makna kultural. Dalam ritual kolosal ini muncul antara lain: mudik (pulang kampung), berkunjung ke rumah orang tua atau ke makam mereka bila telah meninggal, saling mengunjugi antar tetangga dan saudara, suguhan untuk tamu di semua rumah, dan makan makanan khas bersama seperti ketupat, opor, rendang, dan sebagainya. Ritual kolosal ini mengandung banyak simbol seperti baju baru, hadiah dan makanan lebaran; praktik seperti saling berkunjung antar saudara dan tetangga; serta pandangan hidup seperti pentingnya keluarga dan sedekah.
Selain ada ritual umum seperti di atas, ada juga ritual khusus yang diselenggarakan untuk merayakan pencapaian tertentu. Ritual ini disebut juga sebagai rite of passage (ritual peralihan) seperti wisuda kelulusan sekolah, walimah pernikahan, upacara kematian, syukuran rumah baru, dan sebagainya. Dalam setiap ritual-ritual khusus ini terkandung berbagai unsur budaya, baik yang tampak (tangible) seperti benda-benda dan praktik tindakan maupun yang tidak tampak (intangible) sepeti nilai-nilai dan pandangan hidup. Dalam walimah pernikahan ada aspek syar’i yang tidak berubah sebagai ketentuan agama yang disebut akad nikah dengan berbagai ketentuannya. Aspek syar’i ini sebetulnya ringan saja. Justru pelaksanaan ritual “walimah”-nya inilah yang mengandung dorongan budaya yang sangat kuat. Misalnya setting tempat dan panggung, penyediaan makanan untuk tetamu, serta siapa tamu yang diundang menjadikan walimah menjadi penanda budaya tertentu seperti status sosial, status ekomoni, dan kehormatan keluarga. Pengaturan acara juga sering menunjukkan ideologi tertentu yang dianut oleh penyelenggara. Walimah yang memisahkan tempat laki-laki dan perempuan, walimah yang mengundang penyanyi perempuan seksi dengan iringan organ tunggal, walimah yang mengundang ustadz untuk berceramah, dan sebagainya menjadi penanda ideologi dari penyelenggara kegiatan tersebut.
Hal selanjutnya yang menjadi agregasi berbagai unsur kebudayaan dan selalu ada sepanjang sejarah manusia adalah struktur sosial. Struktur sosial dalam setiap unit kebudayaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan karena manusia membutuhkannya untuk mengatur berbagai aktivitas yang rutin dan menempatkan peran setiap orang dalam aktivitas tersebut. Di rumah harus jelas mana ayah, ibu, dan anak. Ketiganya sama-sama manusia. Kalau di satu rumah tidak diperjelas posisi struktural masing-masing, maka akan terjadi kebingungan siapa harus melakukan apa. Oleh sebab itu harus ada “struktur sosial” yang merelasikan satu orang dengan yang lain, baik dalam relasi vertikal maupun horizontal. Setiap bentuk relasi struktural ini akan mengandung aspek-aspek pandangan hidup, tindakan, dan benda-benda tertentu yang dibuat untuk kepentingan struktur ini.
Aspek struktural inilah yang merelasikan secara langsung kebudayaan dengan kekuasaan (politik). Di dalam relasi struktural tidak bisa dihindarkan terdapat relasi hirarkis, vertikal, atas bawah. Relasi vertikal ini menyebabkan timbulnya “kekuasaan” dalam hubungan antar-manusia. Ini merupakan tabiat dari hidup manusia, karena dengan adanya kekuasaan struktur sosial memiliki kekuatan yang mengikat agar tidak berjalan tanpa arahan dan kendali. Tanpa adanya kekuasaan bawahan-bawahan dari seorang atasan tidak akan menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan posisi masing-masing. Dengan adanya kekuasaan yang dimiliki atasannya, bawahan ini dapat “dipaksa” untuk menjalankan tugasnya secara tepat. Memang di sisi lain, kekuasaan juga dapat menjadi negatif dan merusak manakala digunakan oleh manusia-manusia zhalim dan pendukung kezhaliman. Jika itu terjadi, sudah saatnya pemilik kekuasaan zhalim itu harus digeser dan digantikan oleh pemilik kekuasaan lainnya. Pada saat itulah terjadi dinamika struktur sosial yang sering disebut “perebutan kekuasaan”. Oleh sebab realitas kebudayaan seperti ini adanya, maka tidak akan ada satupun kebudayaan yang dapat dipisahkan dari kekuasaan. Kekuasaan adalah keadaan yang inheren melekat pada kebudayaan.
BACA JUGA:Mengenal Identitas Kebudayaan (Bagian Satu)