Densus 88: Reorientasi atau Bubar!

oleh Reporter

04 April 2016 | 09:40

Artawijaya  Katakanlah (Muhammad),’Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu; yaitu jangan mempersekutukannya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang member rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.” (Al-An’am:151). Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror kembali menjadi sorotan umat Islam. Kali ini terkait dengan kematian Siyono, seorang warga dan juga imam masjid di desa Pugong, Klaten, Jawa Tengah. Siyono ditangkap oleh aparat Densus 88 bersenjata lengkap usai melaksanakan shalat maghrib berjamaah pada selasa (8/3). Ketika ditangkap, Siyono dalam keadaan sehat. Namun pada Jumat (11/3) Siyono dikabarkan meninggal dunia saat menjalani pemeriksaan dan diminta menunjukkan anggota kelompok lainnya yang “diduga” bagian dari jaringan teroris. Siyono pun pulang ke rumah dalam keadaan sudah menjadi jenazah dengan kondisi ada bekas luka penganiayaan di beberapa bagian tubuhnya. Sejak didirikan pada tahun 2004, cara kerja Densus 88 selalu menuai kritikan, khususnya dari kaum muslimin. Bukan kali ini saja Densus 88 melakukan aksi penegakan hukum yang berakibat pada hilangnya nyawa manusia di luar proses pengadilan. Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis data ada 118 “terduga” teroris yang tewas tanpa proses hukum. (www.republika.co.id, 12 Maret 2016).  Inilah yang disebut dengan extra judicial killing, yaitu pembunuhan terhadap seseorang oleh otoritas pemerintahan tanpa adanya proses hukum atau proses yang legal. Padahal, aturan hukum di negeri menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), bahwa siapa saja yang “diduga/didakwa” melanggar hukum tidak boleh dieksekusi oleh aparat penegak hukum, sampai pengadilan bisa membuktikan bahwa ia bersalah atau ada keputusan hukum yang tetap (incracht). Prinsip ini harusnya dipegang teguh oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak ada keadilan yang dilanggar. Karena setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama (equality before the law). Tindakan extra judicial killing, memberantas terorisme dengan cara melanggar hukum, justru mengarah pada “state terrorism (terorisme negara)” terhadap rakyat. Tak hanya itu, tindakan tersebut bahkan bisa memicu aksi-aksi pembalasan, karena aparatur pemerintah dianggap zalim. Keadaan seperti ini menjadi lingkaran kekerasan yang tidak berujung, yang berakibat pada terancamnya stabilitas nasional. Allahyarham Dr. Mohammad Natsir dalam buku “Demokrasi di Bawah Hukum” menyatakan bahwa stabilitas hidup bernegara di antaranya bergantung pada tegaknya keadilan dan terjaminnya hak asasi manusia. “Kestabilan hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan. Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian dari masyarakat bisa mengakibatkan rusaknya kestabilan bagi masyarakat keseluruhan, sebab rasa keadilan adalah unsur fitrah.” (M. Natsir, 2002:9) Para founding fathers (pendiri bangsa) ini sepakat bahwa  Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat), bukan Negara Kekuasaan (machtstaat). Negara ini tegak berdiri berlandaskan hukum, menjadikan hukum sebagai panglima;  di mana tidak boleh ada upaya-upaya kekuasaan di luar hukum yang berusaha merusak tatanan bangsa ini. Tidak boleh ada lembaga negara yang merasa super body, bertindak semaunya tanpa mengindahkan aturan-aturan yang ada, melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, merusak tatanan keadilan, dan mencampakkan UUD 1945, sebagaimana sila kedua dari Pancasila; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Islam tidak setuju dengan cara-cara terorisme; baik terorisme yang dilakukan oleh negara “state terrorism” sebagaimana yang dilakukan oleh penjajah Israel terhadap Palestina, ataupun terorisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengatasnamakan agama. Bahkan dalam medan perang sekalipun, Islam memiliki etika dalam menghargai kemanusiaan, agama dan kemaslahatan umum. Tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, orangtua, dan pemuka agama. Tidak boleh merusak lingkungan, rumah ibadah, dan fasilitas umum. Indonesia adalah daarusalam (negeri yang damai), bukan daarul harb (wilayah perang), di mana pemerintah masih memberikan keluleluasaan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT. Tentu semua itu belum berjalan secara sempurna, tetapi semuanya membutuhkan proses yang membutuhkan perjuangan dakwah yang konsisten, yang tetap mengedepankan cara-cara yang damai. Islam tidak mengajarkan cara fasad (merusak) dalam upaya menegakkan syariat-Nya.   Peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Dalam Islam, membunuh jiwa manusia haruslah dilakukan dengan cara-cara dan kondisi  yang dibenarkan. Tidak boleh dilakukan atas dasar semata-mata kebencian, balas dendam, dan cara-cara lain yang bathil. Islam membenarkan ditumpahkannya darah dalam hukum qishash, rajam, murtad, dan jihad qital fii sabilillah. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh otoritas pemerintah yang berdaulat, bukan oleh individu atau kelompok masyarakat. Allah SWT memperingatkan kita semua untuk berhati-hati dalam menumpahkan darah manusia, sebagaimana firman-Nya: “Barang siapa yang  membunuh jiwa manusia bukan karena pembalasan pembunuhan (qishash), atau karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah ia membunuh semua orang (karena berarti mengobarkan semangat bunuh membunuh); dan barang siapa menjaga kehidupan seorang maka ia bagaikan menghidupkan semua manusia.” (Al-Maaidah:32) “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya. Dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya, dan disediakan baginya adzab yang sangat dahsyat.” (An-Nisaa’: 93) Rasulullah SAW juga mengingatkan bagi siapa saja, khususnya mereka yang berkuasa agar tidak gampang menghilangkan nyawa orang, kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda,”Jika kalian memerintah, maka berbuat adillah! Jika kalian membunuh, maka (lakukanlah) dengan cara yang baik (dibenarkan), karena sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik, dan Dia menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Ausath hadits nomor 5735, Shahih Al-Jami’, 1/ 194). Apa yang ditulis dalam bulletin ini adalah upaya untuk memberikan tadzkirah kepada pemerintah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta upaya melakukan amar makruf nahyi mungkar terhadap segala kekeliruan dalam pemberantasan terorisme. Selain itu, tulisan ini juga adalah upaya menunaikan hak sesama muslim, untuk menjaga darahnya, hartanya, dan kehormatannya agar tidak mendapatkan perlakuan zalim, terutama oleh mereka yang memegang kekuasaan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,“Muslim satu dengan lainnya itu bersaudara, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh merendahkannya, dan tidak boleh membiarkannya dihina orang lain. Takwa itu letaknya di sini (sambil menunjuk dada beliau dan diucapkan tiga kali). Cukuplah sebagai kejahatan seseorang, kalau ia menghina saudaranya sesama muslim. Semua hak seorang muslim terhadap sesama muslim haram; darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)   Bagaimana Sebaiknya Densus 88? Saya secara pribadi yakin bahwa di dalam tubuh Densus 88 masih terdapat Muslim yang percaya pada peringatan-peringatan Allah Swt. di atas sehingga diharapkan dengan mengingat teguran-teguran Allah Swt. di atas mereka dapat sadar atas kekeliruan yang mereka lakukan selama ini. Hanya saja, kalau melihat para pengambil kebijakan di Densus 88 selama ini, banyak sekali yang non-Muslim yang pasti tidak akan mengindahkan teguran-teguran Allah Swt. di atas dan ketentuan penanganan terorisme dalam Islam di atas. Belum lagi kelau analisis lebih diperdalam lagi tentang banyaknya kepentingan pragmatis di tubuh Densus 88. Banyak pesanan asing yang mengendalikan lembaga negara ini. Seperti sudah dikatakan di atas, menangani terorisme adalah tugas negara yang sangat penting untuk menjamin keamanan warganya. Akan tetapi, kalau tindakannya seperti yang dipraktikkan Densus 88 selama ini, justru malah kontra-produktif dengan tujuan didirikannya detasemen khusus ini. Masyarakat bukan merasa aman dengan kehadirannya, melainkan malah merasa selalu terancam. Kenyamanan masyarakat, terutama masyarakat Muslim, dalam menjalankan hak-hak konstitusionalnya yang salah satunya adalah menjalankan ajaran agama menjadi sangat terganggu dengan kehadiran Densus 88. Densus 88 yang seharusnya anti-teror, malah menjelma menjadi terror baru. Seandainya para pemangku kewenangan, dalam hal ini Presiden melalui Menhan dan Kapolri, tidak dapat menertibkan Densus 88, maka tidak ada cara lain selain harus membubarkan istitusi yang sangat mungkin telah terkontaminasi banyak sekali kepentingan asing yang berusaha merusak bangsa ini. Detasemen ini harus segara diganti dengan institusi yang sungguh-sungguh dapat menjaga masyarakat dari keresahan dan teror sehingga tercipta keamanan yang sesungguhnya bagi masyarakat. Bila ini tidak segera ditindaklanjuti, gelombang kekecewaan masyarakat bisa berakumulasi menjadi gerakan anti-pemerintah yang juga sangat berbahaya bagi ketahanan negara. Wallahu a’lam bish-shawab Penulis adalah anggota Dewan Tafkir PP Persis
Reporter: Reporter Editor: admin