Hasud yang Diperbolehkan: Memahami Ghibthah dan Munafasah dalam Islam

oleh Redaksi

10 April 2025 | 08:58

Hasud yang Diperbolehkan: Memahami Ghibthah dan Munafasah dalam Islam

HASUD YANG DIPERBOLEHKAN

Oleh: Jajang Hidayatullah

(Sekbid Pendidikan PP. Pemuda Persis/staf pengajar PPI 153 Al-Firdaus)


Allah SWT dalam menciptakan makhluknya, khususnya manusia meliputi dua unsur; pertama unsur khalqun yaitu fisik, kedua unsur khuluqun yaitu non fisik (akhlak). Dalam bahasa yang popular disebut dengan istilah unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dipandang sebelah mata, bahkan kita tidak boleh memberikan perhatian berlebihan dengan tidak adil. Sebagaimana fisik membutuhkan nutrisi dan energy, maka unsur non fisik pun membutuhkan asupan-asupan nutrisi pula, tentu saja dengan karakter yang berbeda. Begitu pula sebagai mana fisik selalu mengidap penyakit, maka unsur non fisik pun sering kali terserang penyakitnya yang khas. Dengan demikian, ketika dua unsur ini terjangkit penyakitnya, maka ikhtiar penanganan untuk diobati adalah sebuah keniscayaan dilakukan.


Satu diantara hal penyakit akhlak/rohani atau unsur non fisik yang perlu penanggulangan khusus adalah sifat hasud.


Definisi Hasud


Dalam kitabnya Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhu shalihin Min Kalami Sayyidil Mursalin, Abu Zakaria Muhyidin Yahya An-Nawawi menyatakan bahwa sikap hasud adalah: 


تَمَنِّي زَوَالِ النِّعْمَةِ عَنْ صَاحِبِهَا سَوَاءٌ كَانَتْ نِعْمَةَ دِيْنٍ أَوْ دُنْيَا  


“Menginginkan hilangnya nikmat dari si pemiliknya, baik berupa nikmat agama ataupun dunia” (Nuzhatul Muttaqin II: 301).


Manusia selalu memiliki kecenderungan bahkan ketertarikan kepada capaian-capaian orang lain, baik itu capaian berupa nikmat dunia maupun capaian keshalehan berupa nikmat agama. Sehingga seringkali dengan dorongan itu, terjadilah persaingan-persaingan antar umat manusia baik secara personal maupun komunal. Ketika persaingan itu terekspresikan dengan sehat dan positif maka itu merupakan situasi lumrah yang merupakan bagian dari tabiat manusia itu sendiri. Tapi apabila persaingan itu bentuknya negatif, sampai kepada pengrusakan dan juga penghilangan nikmat, wibawa dan harga diri si pemiliknya, maka inilah hakikat dari pada sikap hasud. Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan: 


أَنَّ الطِّبَاعَ مَجْبُولَةٌ عَلَى حُبِّ التَّرَفُّعِ عَلَى الْجِنْسِ فَإِذَا رَأَى لِغَيْرِهِ مَا لَيْسَ لَهُ أَحَبَّ أَنْ يَزُولَ ذَلِكَ عَنْهُ لَهُ لِيَرْتَفِعَ عَلَيْهِ أَوْ مُطْلَقًا لِيُسَاوِيَهُ وَصَاحِبُهُ مَذْمُومٌ إِذَا عَمِلَ بِمُقْتَضَى ذَلِكَ مِنْ تَصْمِيمٍ أَوْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ وَيَنْبَغِي لِمَنْ خَطَرَ لَهُ ذَلِكَ أَنْ يَكْرَهَهُ كَمَا يَكْرَهُ مَا وُضِعَ فِي طَبْعِهِ مِنْ حب الْمَنْهِيَّاتِ


Sesungguhnya manusia mempunyai tabiat selalu ingin mengungguli orang lain, sehingga apabila ia melihat orang lain memiliki sesuatu yang yang tidak dimilikinya, maka ia akan berharap benda tersebut lepas dari tangannya, dengan demikian ia akan lebih unggul atau paling tidak ia akan menyamainya. Orang yang mempunyai sifat semacam ini adalah orang yang tercela, jika hal itu terdetik dalam hati atau diungkapkan dengan perkataan dan perbuatannya. Oleh karena itu. sifat tersebut harus dijauhi sebagaimana larangan-larangan lainnya. (Fathul Bari, 1/166).


Maka, ketika hasud masih terbesit dalam hati, belum berbuah menjadi ucap dan sikap maka itu tidak menjadi dosa. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini: 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ


Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi Saw Beliau bersabda “Sesungguhnya Allah akan memaafkan dari umatku apa-apa yang dibisiki oleh hatinya, selama tidak dilakukan atau diucapkan“. (HR. Bukhari, no. 2528).


Lebih lanjut Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulusalam, menyatakan: 


...ثُمَّ الحَاسِدُ إِنْ وَقَعَ لَهُ الخَاطِرُ بِالحَسَدِ فَدَفَعَهُ وَ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي دَفْعِهِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ بَلْ لَعَلَّهُ مَأْجُوْرٌ فِي مُدَافَعَةِ نَفْسِهِ فَإِنْ سَعَى فِي زَوَالِ نِعْمَةِ الْمَحْسُودِ فَهُوَ بَاغٍ.


…Kemudian orang yang hasud itu jika terlintas hasud pada dirinya, lalu ia menahannya (tidak melakukan tindakan apapun) dan mencurahkan segala kemampuannya dalam menahannya, maka tidak ada dosa atasnya, bahkan barangkali dia akan diberi pahala dalam penahanan dirinya itu. Akan tetapi jika dia berusaha untuk menghilangkan nikmat dari orang yang dihasudi (baik dengan ucapan ataupun perbuatan) maka dia adalah orang yang baghin (Dzalim). (Subulus Salam IV: 181).


Hasud yang diperbolehkan


Dalam sebuah hadits dinyatakan: 


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَالاً فَسُلِطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الحَقِّ وَرَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا. 


Dari Abdullah Bin Mas’ud Ia berkata: Nabi Saw bersabda : “tidak ada hasad kecuali dalam dua hal : (kepada) seseorang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menghabiskannya dalam jalan hak, dan (kepada) seseorang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkannya” (HR. Bukhari, No. 73).

Mengenai hadits ini Imam Nawawi menjelaskan: 


قَالَ الْعُلَمَاءُ : الْحَسَدُ قِسْمَانِ : حَقِيقِيٌّ وَمَجَازِيٌّ ، فَالْحَقِيقِيُّ : تَمَنِّي زَوَالِ النِّعْمَةِ عَنْ صَاحِبِهَا ، وَهَذَا حَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ مَعَ النُّصُوصِ الصَّحِيْحَةِ . وَأَمَّا الْمَجَازِيّ فَهُوَ الْغِبْطَةُ وَهُوَ أَنْ يَتَمَنَّى مِثْلَ النِّعْمَةِ الَّتِي عَلَى غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ زَوَالِهَا عَنْ صَاحِبِهَا ، فَإِنْ كَانَتْ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا كَانَتْ مُبَاحَةٌ ، وَإِنْ كَانَتْ طَاعَةً فَهِيَ مُسْتَحَبَّةٌ.  


Para Ulama berkata: “Hasud itu da dua; Haqiqi (sebenarnya) dan Majazi (Kiasan): Yang Haqiqi ialah Menginginkan hilangnya nikmat dari si pemiliknya dan ini hukumnya haram berdasarkan kesepakatan para ulama disertai nash-nash (dalil-dalil) yang shahih. Adapun yang Majazi maka dia adalah Ghibthah yaitu menginginkan nikmat yang ada pada orang lain tanpa disertai keinginan menghilangkannya dari si pemiliknya. Jika tentang urusan dunia maka hukumnya mubah (boleh) tapi jika tentang ketaatan maka (hukumnya) Sunat (Syarah Muslim an Nawawi VI : 97).


kalau diperhatikan hadits diatas, termasuk penjelasannya dari imam Nawawi, ternyata hasad yang dibolehkan itu adalah hasud majazi, yaitu sifat ketertarikan terhadap pencapaian orang lain tanpa ada niat menghancurkannya. Atau dalam istilah imam Bukhari menamakannya dengan ghibthah. Untuk istilah ghibthah ini, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani menyebutkan satu riwayat sebagaimana berikut: 


قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: «الْغِبْطَةُ مِنَ الْإِيمَانِ , وَالْحَسَدُ مِنَ النِّفَاقِ, وَالْمُؤْمِنُ يَغْبِطُ وَلَا يَحْسِدُ, وَالْمُنَافِقُ يَحْسِدُ وَلَا يَغْبِطَ, وَالْمُؤْمِنُ يَسْتُرُ وَيَعِظُ وَيَنْصَحُ وَالْفَاجِرُ يَهْتِكُ وَيُعَيِّرُ وَيُفْشِي»


Fudhail bin Iyad berkata: “Ghibthah adalah bagian dari iman. Sedangkan hasad adalah bagian dari kemunafikan. Seorang mukmin punya sifat ghibthah, sedangkan ia tidaklah hasud. Adapun orang munafik punya sifat hasud dan tidak punya sifat ghibthah. Seorang mukmin menasehati orang lain secara diam-diam. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasa ingin menjatuhkan dan menjelek-jelekkan orang lain.” (Hilyatul Auliya’, 8: 95).


Ibnu Hajar Al-Asqalani menambahkan istilah lain bagi sifat hasud yang dibolehkan itu dengan istilah munafasah. Berikut penjelasannya:


وَاسْتَثْنَوْا مِنْ ذَلِكَ مَا إِذَا كَانَتِ النِّعْمَةُ لِكَافِرٍ أَوْ فَاسِقٍ يَسْتَعِينُ بِهَا عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ تَعَالَى فَهَذَا حُكْمُ الْحَسَدِ بِحَسَبِ حَقِيقَتِهِ وَأَمَّا الْحَسَدُ الْمَذْكُورُ فِي الْحَدِيثِ فَهُوَ الْغِبْطَةُ وَأَطْلَقَ الْحَسَدَ عَلَيْهَا مَجَازًا وَهِيَ أَنْ يَتَمَنَّى أَنْ يَكُونَ لَهُ مِثْلُ مَا لِغَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَزُولَ عَنْهُ وَالْحِرْصُ عَلَى هَذَا يُسَمَّى مُنَافَسَةً فَإِنْ كَانَ فِي الطَّاعَةِ فَهُوَ مَحْمُود وَمِنْه:


Sifat hasad dibolehkan jika nikmat tersebut dimiliki oleh orang kafir atau fasik yang dijadikan sebagai sarana untuk berbuat maksiat kepada Allah. Ini adalah definisi atau hukum hasad ditinjau dari segi hakikatnya. Adapun yang dimaksud dengan hasad dalam hadits di atas adalah ghibthah. Maksud ghibthah adalah perasaan ingin memiliki sesuatu yang dimiliki orang lain tanpa ada perasaan ingin menghilangkannya dari pemiliknya. keinginan semacam ini disebut dengan istilah munafasah (persaingan), jika Munafasah ini dilakukan untuk ketaatan, maka termasuk perbuatan yang mulia, sebagaimana firman Allah SWT: 


... وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ


Artinya: “… untuk yang demikian itu hendaklah orang berlomba-lomba” (QS. Al-Muthafifin: 26).


وَإِنْ كَانَ فِي الْمَعْصِيَةِ فَهُوَ مَذْمُومٌ وَمِنْهُ: 


Sedangkan jika persaingan itu dilakukan dalam kemaksiatan maka termasuk perbuatan tercela, sebagaimana hadits berikut ini: 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا


Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu; janganlah mencari-cari kesalahan; janganlah saling bersaing; janganlah saling mendengki; janganlah saling memarahi; dan janganlah saling membelakangi (memusuhi)! Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Muslim, no. 4646).


وَإِنْ كَانَ فِي الْجَائِزَاتِ فَهُوَ مُبَاحٌ


Tapi jika dalam hal-hal yang diperbolehkan, maka hukumnya menjadi mubah. (Fathul Bari, 1/166-167).


Hasud Penyebab Muflis


Sifat hasud, tepatnya hasad haqiqi adalah sifat tercela dan penyakit akhlak yang harus ditanggulangi dan disembuhkan mengingat akibat yang ditimbulkannya begitu sangat memilukan. Diantara efek dari sifat hasud itu adalah jadi penyebab tergerusnya atau hilangnya amal shaleh yang kita ikhtiarkan. Dalam sebuah hadits disebutkan: 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَ الحَسَدَ فَإِنَّ الحَسَدَ يَأْكُلُ الحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الحَطَبَ.


Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “Jauhilah oleh kalian hasud, karena sesungguhnya hasud itu akan memakan (menghilangkan) pahala kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR. Abu Daud No.490).


Bahkan secara tegas Rasulullah SAW menyebutkan bahwa sifat hasud yang merupakan bentuk kedzaliman akan menyebabkan muflis (kebangkrutan amal shaleh). Sebagaimana hadits berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ


Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut) itu? Maka para sahabat menjawab: orang yang bangkrut ialah yang tidak mempunyai dirham (uang) dan harta. Maka Rasul bersabda: “al Muflis ialah golongan umatku yang pada hari kiamat datang dengan membawa ganjaran sholat, shaum dan zakat. (akan tetapi disamping itu) dia pernah mencaci, pernah menuduh, dan mencuri harta orang lain, mengucurkan darah seseorang dan memukul seseorang, maka diambilah dari kebaikannya untuk kebaikan mereka. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum melunasi kesalahannya. Maka diambilah kesalahan mereka (orang yang pernah didzalimi) dan dibebankan padanya. Lalu ia dilemparkan ke neraka." (HR. Muslim, No. 2581).


Demikianlah sekelumit tentang ketentuan sifat hasud. Semoga kita bisa menghindarinya. Kalaupun kita mau tertarik atau bersaing dengan pencapaian orang lain, baik itu capaian harta atau agama, maka pastikan itu hasud majazi, ghibtoh atau munafasah yang didasari amal shaleh. Wallahu a’lam bishawab.


BACA JUGA:

Ketum PP PERSIS: Perkuat Akhlak, Integritas, dan Sinergitas Kader

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon